Sejak naik
tahta tahun 1894, Sultan Jamalul Kiram II melakukan segala cara untuk mendapat
keturunan. Ia menikahi lebih 100 wanita Tausug, tapi tak satu pun memberinya anak.
Pada 7 Juni 1936, Jamalul Kiram II mengembuskan nafas terakhir, meninggalkan
tahta Kesultanan Sulu tanpa pewaris yang sah.
Criselda
Yabes, dalam Sabah as the last gold coin,
menulis kematian Jamalul Kiram II – bersamaan dengan menguatnya kolonialisme AS
dan munculnya gagasan Persemakmuran Filipina – menandai akhir Kesultanan Sulu
sebagai entitas politik. Hajjah Dayang Dayang Piandao – cucu Sultan Jamalul
A’Lam – tidak mungkin menggantikan Jamalul Kiram II, karena tradisi Tausug
tidak menghendaki perempuan sebagai pemimpin.
Jamalul
Kiram II dimakamkan di Maimbung – ibu kota Kesultanan Sulu. Makamnya terabai,
dihinakan pemerintah Filipina dan penduduk Katolik, karena dianggap
melambangkan masa lalu yang buruk. Tahun 2010, AB Filipina membangun markas
detasemen marinir di lokasi makam, dan di sisi lainnya terdapat budi daya
sayur-mayur, serta sebuah pasar kecil tempat masyarakat sekitar berniaga.
Tidak ada
lagi jejak Astana, atau istana, yang pernah menjadi spektrum sebuah kerajaan.
Maimbung, sejak kematian Jamalul Kiram II, kehilangan martabatnya sebagai pusat
budaya dan kerajaan Islam. Yang ada adalah jalan-jalan kumuh, berdebu, kotor, dan
kehidupan perbanditan.
Tiga Sultan
Bukan kali
pertama Kesultanan Sulu kehilangan pemimpin tanpa pewaris yang sah. Tahun 1894,
Sultan Badaruddin II wafat tanpa meninggalkan pewaris. Hajjah Amina, permaisuri
Sultan Badaruddin, sedang mengandung anak ketujuh ketika sang suami
mengembuskan nafas terakhir.
Enam anak
Sultan Badaruddin II dari rahim Hajjah Amina, laki-laki dan perempuan,
meninggal akibat sakit sebelum mencapai usia dewasa. Harapan para datu, atau
bangsawan, adalah Amina melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi
penerus Sultan Badaruddin II.
Ruma
Bichara, parlemen kesultanan yang berisi para pemuka agama dan bangsawan,
sepakat mengangkat Jamalul Kiram II – adik Sultan Badaruddin II – sebagai
sultan. Jamalul Kiram II tahu dirinya hanya sultan sementara. Ketika Amina
melahirkan anak laki-laki, dia harus melepas tahtanya saat putra Sultan
Badaruddin II dewasa.
Yang
terjadi adalah Hajjah Amina melahirkan seorang bayi perempuan, dan diberi nama Dayang
Dayang Piandao. Dayang Dayang adalah gelar tertinggi di dalam istana Kesultanan
Sulu, dan hanya putri pertama sultan boleh menggunakannya.
Dua tahun
setelah pengangkatan Jamalul Kiram sebagai sultan, Spanyol memprovokasi
sejumlah datu untuk memproklamirkan Harun ar-Rashid sebagai penguasa. Harun
ar-Rashid adalah keturunan langsung Alimuddin I, sultan ke-19 Sulu.
Terdapat
dua kepemimpinan di Kesultanan Sulu. Spanyol relatif sukses memecah para datu,
tapi gagal membenturkannya. Harun ar-Rashid tidak pernah mendapat dukungan Ruma
Bichara dan mayoritas rakyat Kesultanan Sulu.
Ketika
Harun ar-Rashid gagal meyakinkan rakyat Sulu bahwa dirinya adalah pewaris sah
tahta kesultanan, Spanyol melepaskan dukungan. Spanyol membujuk Ar-Rashid turun
tahta tahun 1894 dan diam-diam mengakui Jamalul Kiram.
Ar-Rashid
tidak punya pilihan selain meninggalkan Maimbung, dan berlayar menuju Pulau
Palawan. Lima tahun kemudian, tepatnya April 1899, Ar-Rashid meninggal dunia.
Jamalul
Kiram II mengadopsi Dayang Dayang Piandao sebagai anak, dan memberinya nama
Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram. Ia juga menikahi Hajjah Amina. Jamalul
Kiram II berharap dari rahim Amina akan lahir seorang anak laki-laki keturunannya,
yang mewariskan tahta Kesultanan Sulu.
Sebelum
menikahi Hajjah Amina, Jamalul Kiram telah memiliki beberapa istri, tapi tak
satu pun memberinya anak. Ia menikah lagi, beberapa kali, tapi tak juga
mendapat keturunan. Jamalul Kiram II coba mempersiapkan Dayang Dayang Piandao
sebagai penerusnya, tapi Ruma Bichara tidak menghendaki Kesultanan Sulu
dipimpin seorang wanita.
Ketika
Sultan Jamalul Kiram II mulai sakit-sakitan, kekhawatiran melanda seluruh datu
dan sharif di sekujur Kesultanan Sulu. Sebagian memilih wait and see, tapi lainnya menjalankan agenda politinya sendiri.
Di Parang,
pada 11 April 1936 – atau kurang dua bulan sebelum Jamalul Kiram II meninggal
dunia – sejumlah datu mengangkat Sultan Bomid-din I,
saudara termuda Sultan Badaruddin II, sebagai Sultan Sulu. Ruma Bichara di
Maimbung, dan para datu di wilayah Kesultanan Sulu lainnya, tidak mengakui
pengangkatan itu.
Kebingungan
melanda istana Kesultanan Sulu pasca kematian Jamalum Kiram. Sekali lagi Ruma
Bichara harus memutuskan siapa yang berhak menjadi penerus tanhta Kesultanan
Sulu. Setelah melewati berbagai pertemuan,
dan idukung banyak datu, Ruma Bichara mengangkat Muwallil Wasit II – adik
Jamalul Kiram II – sebagai sultan.
Ruma
Bichara coba membujuk para datu dan sharif di Parang untuk membatalkan
pengangkatan Sultan Bod-din I, dan menerima Muwallil Wasit II sebagai sultan.
Upaya itu gagal total. Akibatnya, Muwallil Wasit II tidak bisa segera dilantik.
Pembicaraan
antara para datu di Parang dan Maimbung menemui jalan buntu. Ruma Bichara di
Maimbung akhirnya memutuskan untuk segera melantik Muwallil Wasit II. Namun
sebelum pelatintikan berlangsung, dan enam bulan setelah Ruma Bichara melakukan
pemilihan, Muwallil Wasit II terbunuh.
Pengadilan
Tinggi Borneo Utara memperkeruh suasana dengan mengeluarkan dua keputusan
bertolak belakang. Pertama, pada 16 Agustus 1937, pengadilan yang berkedudukan
di Kinabalu itu memutuskan Hajjah Dayang Dayang Pinandao Kiram II – keturunan
langsung Sultan Badaruddin II, yang menyewakan Sabah ke North Borneo British
Company – sebagai pewaris pemerintahan dan seluruh properti yang pernah
dikuasai almarhum Jamalul Kiram II.
Dua
tahun kemudian, Pengadilan Tinggi Borneo Utara mengakui posisi Muwallil Wasit
II sebagai penerus Jamalul Kiram II, dan ahli waris yang sah atas wilayah
Sabah. Dua keputusan Pengadilan Tinggi Borneo Utara itu dikeluarkan oleh hakim
yang sama, yaitu Hakim McKaskie.
Sejak
kematian Muwallil Wasit II, Kesultanan Sulu memiliki tiga sultan. Pertama,
Sultan Bomid-din I yang berkedudukan di Parang. Kedua, Amirul Umara I – suami
Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram – yang berkedudukan di Maimbung. Ketiga, Jainal
Abirin – lahir sebagai Datu Tambuyong – berkuasa di Patikul.
Bomid-din
tidak didukung siapa pun. Saat Jepang datang, Amirul Umara I – dikenal pula
dengan nama Amil Bangsa – diakui kekaisaran negeri Matahari Terbit. Jainal
Abirin didukung Amerika Serikat (AS).
Amirul
Umara dan Jainal Abirin ‘bertahta’ sampai 1950. Umara kehilangan pengaruh
setelah Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram meninggal dunia, tak lama setelah
usai Perang Dunia II. Seperti pamannya, Piandao tidak memiliki anak, dan
meninggalkan keluarga yang cakar-cakaran.
Tidak
ada cerita tentang Abirin sampai enam dekade setelah 1950. Kisah tentang Abirin
muncul kembali, ketika Aga Muhlach – host
acara travel Pinoy Explorer di
TV5 Filipina – menemukan seorang pria tua di rumah jompo Patikul yang mengaku
keturunan Abirin.
Ketika
difilmkan, lelaki yang tak disebutkan namanya itu duduk di depan rumah jompo tertutup
pohon kepala di pinggir pantai. Ia menjadi history
teller tentang nasib tragis Kesultanan Sulu, pemberontakan dan konflik
bersenjata.
Namun
suaranya tidak didengar. Di sekelilingnya, anggota keluarga Kiram yang
berkeliaran di sekujur Kepulauan Sulu, Palawan, dan Tawi Tawi, mendirikan
‘kantor’ perkrutan tentara, menenggelamkan anak-anak muda Tausug romantisme
masa lalu, dan menanamkan obsesi akan kemungkinan membangkitkan kembali
Kesultanan Sulu.
Sultan Palsu
Setelah
Umara dan Abirin lengser, Bomid-din menjadi satu-satunya penguasa Kesultanan
Sulu. Namun itu tidka berlangsung lama. Para datu dan sharif di Maimbung tetap
tidak mengakui Bomid-din, dan mengangkat Moh. Esmail E.
Kiram I -- Esmail E Kiram I adalah putra tertua
Muwallil Wasit II
--sebagai sultan.
Sejak
kematian Jamalul Kiram II, pemerintah Filipina – sebagai penerus kekuasaan AS –
sultan-sultan berikut. Situasi berubah setelah 1950. Manila, suka atau tidak,
harus mengakui bahwa Kesultanan Sulu masih ada.
Terjadi
pertarungan antara Bomid-din dan Esmail E Kiram I, untuk mendapatkan pengakuan
Manila. Esmail E Kiram I memenangkannya. Pada 12 September 1962, Presiden
Diosdado Macapagal secara resmi memberikan kekuasaan atas Kesultanan Sulu
kepada Esmail E Kiram I.
Sepuluh
tahun kemudian, President Ferdinand Marcos mengeluarkan
dokumen yang menyatakan Manila mengakui eksistensi Kesultanan Sulu,
pemerintahan Kesultanan Sulu, dan Sultan Moh. Esmail E. Kiram sebagai penerus
Raja Muda Muwallil Wasit.
Tahun
1974, sepeninggal Esmail E Kiram I, Ruma Bichara mengangkat Moh.
Mahakuttah A. Kiram. Presiden Marcos mengeluarkaan Momorandum Order 427 tahun
1974, yang menyatakan Mahakuttah adalah pewaris sah Kesultanan Sulu dan
pemerintah berkewajiban mendukung penobatannya pada 24 Mei 1974.
Pada saat penobatan, Datu Muedzul Lail Tan Kiram
– yang baru berusia 8 tahun – duduk disamping Mahakuttah dan menjadi Rajah
Mudah dari Sulu. Mahakuttah menjadi sultan Sulu terakhir yang diakui resmi oleh
Ruma Bichara dan Manila, dan berkuasa sampai 1986.
Sebelum
kematian Mahakuttah A Kiram, Moh. Punjungan Kiram –
adik bungsu Esmail E Kiram I – yang menjadi crown
prince Sultan Esmail E Kiram I—mengklaim diri sebagai sultan pada 1980. Padahal,
ia hanya crown prince. Jika sultan
wafat dan putra mahkota belum dewasa, Punjungan Kiram dinobatkan menjadi sultan
untuk masa transisi.
Punjungan
sempat mengasingkan diri ke Malaysia. Ketika kembali, ia menantang Mahakuttah A
Kiram memperebutkan tahta. Punjungan Kiram gagal.
Dari
Keluarga Abirin, muncul Aguimuddin Abirin yang
menggunakan gelar sultan antara 1980 sampai 1983. Persoalan menjadi pelik, dan
benar-benar membingungkan, karena Jamalul Kiram III – putra tertua Punjungan
Kiram – ternyata pernah dilantik sebagai sultan sementara antara 1974 sampai
1982, tapi tak diakui Manila.
Tahun 1983, Jamalul Kiram III ditunjuk sebagai
sultan tapi baru dilantik tahun 1986. Pada tahun yang sama Muedzul Lail Tan
Kiram, pewaris tahta ayahnya, juga dilantik sebagai sultan. Jamalul Kiram
‘berkuasa’ sampai 1990, Lail Tal Kiram disebut sultan oleh pendukungnya sampai
2012.
Di luar ‘istana’-nya, mereka yang mengklaim diri
sebagai sultan bermunculan. Mohammad Akijal Atti mengaku sultan antara 1990
sampai 1999. Ismael Kiram II, putra kedua Punjungan Kiram dan adik Jamalul
Kiram III, mengaku sultan sejak 1999 sampai saat ini.
Tahun 2004, Muedzul Lail Tan Kiram menunjuk Fuad
Kiram sebagai Sultan Sabah. Saat diangkat, Fuad Kiram menandatangani dokumen
pengakuan yang berbunyi dirinya mengakui Muedzul Lail Tan Kiram
sebagai satu-satunya penguasa Kesultanan Sulu dan Sabah.
Dua tahun kemudian, Lail Tan Kiram
mencabut pengangkatan atas diri Fuad Kiram. Lail Tan Kiram menemukan bukti Fuad
Kiram mengkorup gelar, dengan menyebut diri sultan Sulu dan Sabah. Fuad tidak
peduli. Dia masih menggunakan gelar itu sampai saat ini.
Entah berapa sultan lagi yang akan muncul di
Kesultanan Sulu dalam beberapa dekade mendatang. Yang pasti, setelah Jamalul
Kiram II menyerahkan negaranya kepada AS lewat Carpenter Agreement 1915,
Kesultanan Sulu tidak ubahnya pepesan kosong.
Sultan Sulu & Sabah yg sebenarnya ialah Sultan Sariful Eric S (Sultan) Ombra Amilbangsa (sila lihat pasport filipina baginda no:H691657-tertera nama d atas).Manakala pasport(H26856249) n KPT(511006-12-5491) d Malaysia ialah S (Sultan) Eric Bin S (Sultan) Ombra.Baginda sultan juga tlh menandatangani ikrar mmbatalkan tuntutan filipina ke atas Sabah d zaman PM DS Abdullah Badawi.Ayahanda Sultan Eric (Sultan Ombra) d syaki tlh d racun oleh Presiden Marcos krn baginda Sultan ingin memasukkan Sulu ke dalam Malaysia.Anda faham?Sudah terang lagi bersuluh siapakah Sultan Sulu & Sabah yg sebenarnya.Wassalm.
BalasHapusTerima kasih atas informasinya. Wassalam.
Hapusmenarik cerita kerajaan sulu ini, apakah amilbangsa ini putra dari dayang dalos. mohon pencerahannya?
BalasHapussiapa itu dayang siti sye rah, syeh ali basa, dayang kanung,
BalasHapusAssalamualaikum, Maaf mau tanya apakah anda mengenal sejarah dari Datu Tan Perana Lela Bin Sultan Moh Pulalun Kiram. Sekian dan Terimakasih. Wassalamu'alaikum
BalasHapus