Rabu, 10 April 2013

Tragedi Kesultanan Sulu



Sejak naik tahta tahun 1894, Sultan Jamalul Kiram II melakukan segala cara untuk mendapat keturunan. Ia menikahi lebih 100 wanita Tausug, tapi tak satu pun memberinya anak. Pada 7 Juni 1936, Jamalul Kiram II mengembuskan nafas terakhir, meninggalkan tahta Kesultanan Sulu tanpa pewaris yang sah.

Criselda Yabes, dalam Sabah as the last gold coin, menulis kematian Jamalul Kiram II – bersamaan dengan menguatnya kolonialisme AS dan munculnya gagasan Persemakmuran Filipina – menandai akhir Kesultanan Sulu sebagai entitas politik. Hajjah Dayang Dayang Piandao – cucu Sultan Jamalul A’Lam – tidak mungkin menggantikan Jamalul Kiram II, karena tradisi Tausug tidak menghendaki perempuan sebagai pemimpin.

Jamalul Kiram II dimakamkan di Maimbung – ibu kota Kesultanan Sulu. Makamnya terabai, dihinakan pemerintah Filipina dan penduduk Katolik, karena dianggap melambangkan masa lalu yang buruk. Tahun 2010, AB Filipina membangun markas detasemen marinir di lokasi makam, dan di sisi lainnya terdapat budi daya sayur-mayur, serta sebuah pasar kecil tempat masyarakat sekitar berniaga.

Tidak ada lagi jejak Astana, atau istana, yang pernah menjadi spektrum sebuah kerajaan. Maimbung, sejak kematian Jamalul Kiram II, kehilangan martabatnya sebagai pusat budaya dan kerajaan Islam. Yang ada adalah jalan-jalan kumuh, berdebu, kotor, dan kehidupan perbanditan.


Tiga Sultan

Bukan kali pertama Kesultanan Sulu kehilangan pemimpin tanpa pewaris yang sah. Tahun 1894, Sultan Badaruddin II wafat tanpa meninggalkan pewaris. Hajjah Amina, permaisuri Sultan Badaruddin, sedang mengandung anak ketujuh ketika sang suami mengembuskan nafas terakhir.

Enam anak Sultan Badaruddin II dari rahim Hajjah Amina, laki-laki dan perempuan, meninggal akibat sakit sebelum mencapai usia dewasa. Harapan para datu, atau bangsawan, adalah Amina melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi penerus Sultan Badaruddin II.

Ruma Bichara, parlemen kesultanan yang berisi para pemuka agama dan bangsawan, sepakat mengangkat Jamalul Kiram II – adik Sultan Badaruddin II – sebagai sultan. Jamalul Kiram II tahu dirinya hanya sultan sementara. Ketika Amina melahirkan anak laki-laki, dia harus melepas tahtanya saat putra Sultan Badaruddin II dewasa.

Yang terjadi adalah Hajjah Amina melahirkan seorang bayi perempuan, dan diberi nama Dayang Dayang Piandao. Dayang Dayang adalah gelar tertinggi di dalam istana Kesultanan Sulu, dan hanya putri pertama sultan boleh menggunakannya.

Dua tahun setelah pengangkatan Jamalul Kiram sebagai sultan, Spanyol memprovokasi sejumlah datu untuk memproklamirkan Harun ar-Rashid sebagai penguasa. Harun ar-Rashid adalah keturunan langsung Alimuddin I, sultan ke-19 Sulu.

Terdapat dua kepemimpinan di Kesultanan Sulu. Spanyol relatif sukses memecah para datu, tapi gagal membenturkannya. Harun ar-Rashid tidak pernah mendapat dukungan Ruma Bichara dan mayoritas rakyat Kesultanan Sulu.

Ketika Harun ar-Rashid gagal meyakinkan rakyat Sulu bahwa dirinya adalah pewaris sah tahta kesultanan, Spanyol melepaskan dukungan. Spanyol membujuk Ar-Rashid turun tahta tahun 1894 dan diam-diam mengakui Jamalul Kiram.

Ar-Rashid tidak punya pilihan selain meninggalkan Maimbung, dan berlayar menuju Pulau Palawan. Lima tahun kemudian, tepatnya April 1899, Ar-Rashid meninggal dunia.

Jamalul Kiram II mengadopsi Dayang Dayang Piandao sebagai anak, dan memberinya nama Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram. Ia juga menikahi Hajjah Amina. Jamalul Kiram II berharap dari rahim Amina akan lahir seorang anak laki-laki keturunannya, yang mewariskan tahta Kesultanan Sulu.

Sebelum menikahi Hajjah Amina, Jamalul Kiram telah memiliki beberapa istri, tapi tak satu pun memberinya anak. Ia menikah lagi, beberapa kali, tapi tak juga mendapat keturunan. Jamalul Kiram II coba mempersiapkan Dayang Dayang Piandao sebagai penerusnya, tapi Ruma Bichara tidak menghendaki Kesultanan Sulu dipimpin seorang wanita.

Ketika Sultan Jamalul Kiram II mulai sakit-sakitan, kekhawatiran melanda seluruh datu dan sharif di sekujur Kesultanan Sulu. Sebagian memilih wait and see, tapi lainnya menjalankan agenda politinya sendiri.

Di Parang, pada 11 April 1936 – atau kurang dua bulan sebelum Jamalul Kiram II meninggal dunia – sejumlah datu mengangkat Sultan Bomid-din I, saudara termuda Sultan Badaruddin II, sebagai Sultan Sulu. Ruma Bichara di Maimbung, dan para datu di wilayah Kesultanan Sulu lainnya, tidak mengakui pengangkatan itu.

Kebingungan melanda istana Kesultanan Sulu pasca kematian Jamalum Kiram. Sekali lagi Ruma Bichara harus memutuskan siapa yang berhak menjadi penerus tanhta Kesultanan Sulu. Setelah melewati berbagai pertemuan,  dan idukung banyak datu, Ruma Bichara mengangkat Muwallil Wasit II – adik Jamalul Kiram II – sebagai sultan.

Ruma Bichara coba membujuk para datu dan sharif di Parang untuk membatalkan pengangkatan Sultan Bod-din I, dan menerima Muwallil Wasit II sebagai sultan. Upaya itu gagal total. Akibatnya, Muwallil Wasit II tidak bisa segera dilantik.

Pembicaraan antara para datu di Parang dan Maimbung menemui jalan buntu. Ruma Bichara di Maimbung akhirnya memutuskan untuk segera melantik Muwallil Wasit II. Namun sebelum pelatintikan berlangsung, dan enam bulan setelah Ruma Bichara melakukan pemilihan, Muwallil Wasit II terbunuh.

Pengadilan Tinggi Borneo Utara memperkeruh suasana dengan mengeluarkan dua keputusan bertolak belakang. Pertama, pada 16 Agustus 1937, pengadilan yang berkedudukan di Kinabalu itu memutuskan Hajjah Dayang Dayang Pinandao Kiram II – keturunan langsung Sultan Badaruddin II, yang menyewakan Sabah ke North Borneo British Company – sebagai pewaris pemerintahan dan seluruh properti yang pernah dikuasai almarhum Jamalul Kiram II.

Dua tahun kemudian, Pengadilan Tinggi Borneo Utara mengakui posisi Muwallil Wasit II sebagai penerus Jamalul Kiram II, dan ahli waris yang sah atas wilayah Sabah. Dua keputusan Pengadilan Tinggi Borneo Utara itu dikeluarkan oleh hakim yang sama, yaitu Hakim McKaskie.

Sejak kematian Muwallil Wasit II, Kesultanan Sulu memiliki tiga sultan. Pertama, Sultan Bomid-din I yang berkedudukan di Parang. Kedua, Amirul Umara I – suami Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram – yang berkedudukan di Maimbung. Ketiga, Jainal Abirin – lahir sebagai Datu Tambuyong – berkuasa di Patikul.
Bomid-din tidak didukung siapa pun. Saat Jepang datang, Amirul Umara I – dikenal pula dengan nama Amil Bangsa – diakui kekaisaran negeri Matahari Terbit. Jainal Abirin didukung Amerika Serikat (AS).

Amirul Umara dan Jainal Abirin ‘bertahta’ sampai 1950. Umara kehilangan pengaruh setelah Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram meninggal dunia, tak lama setelah usai Perang Dunia II. Seperti pamannya, Piandao tidak memiliki anak, dan meninggalkan keluarga yang cakar-cakaran.

Tidak ada cerita tentang Abirin sampai enam dekade setelah 1950. Kisah tentang Abirin muncul kembali, ketika Aga Muhlach – host acara travel Pinoy Explorer di TV5 Filipina – menemukan seorang pria tua di rumah jompo Patikul yang mengaku keturunan Abirin.

Ketika difilmkan, lelaki yang tak disebutkan namanya itu duduk di depan rumah jompo tertutup pohon kepala di pinggir pantai. Ia menjadi history teller tentang nasib tragis Kesultanan Sulu, pemberontakan dan konflik bersenjata.

Namun suaranya tidak didengar. Di sekelilingnya, anggota keluarga Kiram yang berkeliaran di sekujur Kepulauan Sulu, Palawan, dan Tawi Tawi, mendirikan ‘kantor’ perkrutan tentara, menenggelamkan anak-anak muda Tausug romantisme masa lalu, dan menanamkan obsesi akan kemungkinan membangkitkan kembali Kesultanan Sulu.


Sultan Palsu

Setelah Umara dan Abirin lengser, Bomid-din menjadi satu-satunya penguasa Kesultanan Sulu. Namun itu tidka berlangsung lama. Para datu dan sharif di Maimbung tetap tidak mengakui Bomid-din, dan mengangkat Moh. Esmail E. Kiram I  -- Esmail E Kiram I adalah putra tertua Muwallil Wasit II  --sebagai sultan.

Sejak kematian Jamalul Kiram II, pemerintah Filipina – sebagai penerus kekuasaan AS – sultan-sultan berikut. Situasi berubah setelah 1950. Manila, suka atau tidak, harus mengakui bahwa Kesultanan Sulu masih ada.

Terjadi pertarungan antara Bomid-din dan Esmail E Kiram I, untuk mendapatkan pengakuan Manila. Esmail E Kiram I memenangkannya. Pada 12 September 1962, Presiden Diosdado Macapagal secara resmi memberikan kekuasaan atas Kesultanan Sulu kepada Esmail E Kiram I.

Sepuluh tahun kemudian, President Ferdinand Marcos mengeluarkan dokumen yang menyatakan Manila mengakui eksistensi Kesultanan Sulu, pemerintahan Kesultanan Sulu, dan Sultan Moh. Esmail E. Kiram sebagai penerus Raja Muda Muwallil Wasit.

Tahun 1974, sepeninggal Esmail E Kiram I, Ruma Bichara mengangkat Moh. Mahakuttah A. Kiram. Presiden Marcos mengeluarkaan Momorandum Order 427 tahun 1974, yang menyatakan Mahakuttah adalah pewaris sah Kesultanan Sulu dan pemerintah berkewajiban mendukung penobatannya pada 24 Mei 1974. 

Pada saat penobatan, Datu Muedzul Lail Tan Kiram – yang baru berusia 8 tahun – duduk disamping Mahakuttah dan menjadi Rajah Mudah dari Sulu. Mahakuttah menjadi sultan Sulu terakhir yang diakui resmi oleh Ruma Bichara dan Manila, dan berkuasa sampai 1986.

Sebelum kematian Mahakuttah A Kiram, Moh. Punjungan Kiram – adik bungsu Esmail E Kiram I – yang menjadi crown prince Sultan Esmail E Kiram I—mengklaim diri sebagai sultan pada 1980. Padahal, ia hanya crown prince. Jika sultan wafat dan putra mahkota belum dewasa, Punjungan Kiram dinobatkan menjadi sultan untuk masa transisi.

Punjungan sempat mengasingkan diri ke Malaysia. Ketika kembali, ia menantang Mahakuttah A Kiram memperebutkan tahta. Punjungan Kiram gagal.

Dari Keluarga Abirin, muncul Aguimuddin Abirin yang menggunakan gelar sultan antara 1980 sampai 1983. Persoalan menjadi pelik, dan benar-benar membingungkan, karena Jamalul Kiram III – putra tertua Punjungan Kiram – ternyata pernah dilantik sebagai sultan sementara antara 1974 sampai 1982, tapi tak diakui Manila.

Tahun 1983, Jamalul Kiram III ditunjuk sebagai sultan tapi baru dilantik tahun 1986. Pada tahun yang sama Muedzul Lail Tan Kiram, pewaris tahta ayahnya, juga dilantik sebagai sultan. Jamalul Kiram ‘berkuasa’ sampai 1990, Lail Tal Kiram disebut sultan oleh pendukungnya sampai 2012.

Di luar ‘istana’-nya, mereka yang mengklaim diri sebagai sultan bermunculan. Mohammad Akijal Atti mengaku sultan antara 1990 sampai 1999. Ismael Kiram II, putra kedua Punjungan Kiram dan adik Jamalul Kiram III, mengaku sultan sejak 1999 sampai saat ini.

Tahun 2004, Muedzul Lail Tan Kiram menunjuk Fuad Kiram sebagai Sultan Sabah. Saat diangkat, Fuad Kiram menandatangani dokumen pengakuan yang berbunyi dirinya mengakui Muedzul Lail Tan Kiram sebagai satu-satunya penguasa Kesultanan Sulu dan Sabah.

Dua tahun kemudian, Lail Tan Kiram mencabut pengangkatan atas diri Fuad Kiram. Lail Tan Kiram menemukan bukti Fuad Kiram mengkorup gelar, dengan menyebut diri sultan Sulu dan Sabah. Fuad tidak peduli. Dia masih menggunakan gelar itu sampai saat ini.

Entah berapa sultan lagi yang akan muncul di Kesultanan Sulu dalam beberapa dekade mendatang. Yang pasti, setelah Jamalul Kiram II menyerahkan negaranya kepada AS lewat Carpenter Agreement 1915, Kesultanan Sulu tidak ubahnya pepesan kosong.

5 komentar:

  1. Sultan Sulu & Sabah yg sebenarnya ialah Sultan Sariful Eric S (Sultan) Ombra Amilbangsa (sila lihat pasport filipina baginda no:H691657-tertera nama d atas).Manakala pasport(H26856249) n KPT(511006-12-5491) d Malaysia ialah S (Sultan) Eric Bin S (Sultan) Ombra.Baginda sultan juga tlh menandatangani ikrar mmbatalkan tuntutan filipina ke atas Sabah d zaman PM DS Abdullah Badawi.Ayahanda Sultan Eric (Sultan Ombra) d syaki tlh d racun oleh Presiden Marcos krn baginda Sultan ingin memasukkan Sulu ke dalam Malaysia.Anda faham?Sudah terang lagi bersuluh siapakah Sultan Sulu & Sabah yg sebenarnya.Wassalm.

    BalasHapus
  2. menarik cerita kerajaan sulu ini, apakah amilbangsa ini putra dari dayang dalos. mohon pencerahannya?

    BalasHapus
  3. siapa itu dayang siti sye rah, syeh ali basa, dayang kanung,

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum, Maaf mau tanya apakah anda mengenal sejarah dari Datu Tan Perana Lela Bin Sultan Moh Pulalun Kiram. Sekian dan Terimakasih. Wassalamu'alaikum

    BalasHapus