Rabu, 10 April 2013

Susah Payah Melepas Klaim atas Sabah


ferdinand marcos

Sejak 1977 Filipina berupaya menghapus klaimnya atas Sabah, tapi enam presiden negeri itu gagal mendapat konsesus nasional. Malaysia menggunakan superioritas ekonomi dalam hubungan bilateral untuk menekan Manila agar tidak lagi memunculkan klaim atas sekeping wilayah di Kalimantan itu.

Adalah Ferdinand Marcos yang kali pertama mengungkapkan niat Filipina menghapus klaim atas Sabah, pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Kuala Lumpur. Padahal, Marcos adalah pewaris cita-cita Diosdado Macapagal – presiden sebelumnya yang memasukan Sabah ke dalam konstitusi Filipina.

Malaysia mereskpon niat Marcos dengan hati-hati. Kuala Lumpur, setelah terungkapnya rencana militer Filipina mendestabilisasi Sabah tahun 1968, menganggap Marcos tidak bisa dipercaya.

Sikap Malaysia terbukti.  Sampai terguling oleh Revolusi Edsa 1986, Marcos tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkan niatnya. 

Adalah Corry Aquino yang serius menghapus klaim Filipina atas Sabah. Beberapa bulan setelah naik menjadi orang nomor satu di Filipina, Aquino menunjuk Senator Leticia Ramos-Shahani mengajukan rancangan undang-undang (RUU) penghapusan klaim atas Sabah ke kongres.

Senator Leticia meletakan kembali archipelagic baseline Filipina seperti semula, atau sebelum Macapagal berkuasa. Aquino berharap kongres menyetujuk RUU ini sebelum pertemuan ASEAN di Manila, 14-16 Desember 1987.

Beberapa hari sebelum pertemuan tingkat tinggi ASEAN, diplomat kedua negara mengadakan pertemuan rahasia di Kuala Lumpur untuk menyelesaikan draft Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama, serta Kesepakatan Patroli Bersama di Perbatasan kedua negara.

Bagi Filipina, ini adalah quid pro quo, atau sesuatu yang diberikan Malaysia sebagai balasan atas niat bagik Manila melepas klaim atas Sabah. Jose Ingles, wakil menlu Filipina saat itu, mengatakan perjanjian perbatasan dimaksudkan untuk mencegah lalu-lalang separatis Muslim Filipina dari Palawan, Tawi Tawi, dan Kepulauan Sulu ke Sabah.

Patroli bersama di perbatasan kedua negara dimaksudkan untuk mencegah penyelundupan senjata dari Sabah ke Mindanao. Ini amat penting, karena sejak Nur Misuari membentuk Moro National Liberation Front (MNLF) dan berusaha memisahkan diri dari Filipina, Malaysia adalah penyuplai senjata untuk kelompok separatis ini. 

Kongres mati-matian menentang penghapusan klaim atas Sabah. Alasan sejumlah anggota kongres, terutama yang berasal dari selatan Filipina, adalah penghapusan klaim Filipina atas Sabah akan membahayakan status kepemilikan ahli waris Kesultanan Sulu atas wilayah itu.

Majalah Newsbreak melaporkan kegagalan disebabkan sejumlah politisi Muslim dari selatan Filipina meminta bagian sekian persen dari 70 juta dolar AS, yang akan dibayarkan Malaysia kepada ahli waris Kesultanan Sulu sebagai kompensasi kesediaannya melepas status kepemilikan Sabah. Ahli waris Kesultanan Sulu menolak permintaan itu.

Kegagalan pertama Manila melepas klaim atas Sabah tidak membuat PM Mahathir Mohamad kecewa. Kepada wartawan, Mahathir mengatakan Aquino benar-benar tulus menyelesaikan masalah sengketa wilayah. Raul Manglapus, menteri luar negeri Filipina saat itu, mengatakan Manila telah melakukan yang terbaik tapi segalanya sulit diprediksi.

Sedangkan Blas Ople, ketua Komite Hubungan Luar Negeri di senat Filipina, mengatakan Aquino gagal mengumpulkan dukungan publik yang diperlukan untuk melakukan perubahan hukum. Setelah kegagalan itu, Aquino tidak lagi berusaha mendekati politisi dari selatan Filipina dan ahli waris Kesultanan Sulu.

Fidel Ramos, yang menggantikan Aquino, mencoba melanjutkan upaya pendahulunya. Rodolfo Severino, mantan Dubes Filipina untuk Malaysia, mengatakan Kuala Lumpur berharap bisa berunding dengan Ramos. Ini diperlihatkan PM Mahathir dengan melakukan kunjungan ke Manila di luar acara resmi ASEAN. Mahathir  mencoba lebih akomodatif .

Menurut Ople, Kuala Lumpur mempertimbangkan untuk mengubah posisi, dengan tidak terlalu keras menuntut Manila untuk menghapus klaim atas Sabah jika ingin memperkuat kerjasama bilateral.  Dalam pembicaraan dengan Ramos, Mahathir mengatakan memahami kebuntuan politik yang menyebabkan Ramos tidak bisa memperoleh konsesus nasional atas Sabah. Sebagai gantinya, Malaysia yakin lewat penguatan kerjasama ekonomi, masalah Sabah akan selesai dengan sendirinya


Merongrong Klaim

Di era Ramos, penguatan hubungan Filipina-Malaysia ditandai dengan pembentukan Komisi Bersama untuk Kerjasama Bilateral (JCM), Juli 1993. Victoriano Lecaros, Dubes Filipina untuk Malaysia saat itu, mengatakan JCM merupakan interaksi tingkat tinggi. Delegasi kedua negara dipimpin masing-masing menlu. Sedangkan Jose Brillantes, mantan Dubes Filipina untuk Indonesia, menyebut JCM sebagai katup pengaman untuk mencegah ketegangan dan perselisihan.

JCM memicu penciptaan kelompok-kelompok kerja. Setiap kelompok kerja menangani dan mengantisipasi masalah tertentu, dan mencegah apa yang telah terjadi tidak terulang.

Sejak dibentuk 1993, JCM telah enam kali menggelar pertemuan. Pembicaraan di setiap pertemuan melulu fokus pada perdagangan, kerjasama ekonomi, isu sosial, tenaga kerja, dan buruh migran. Setiap orang di JCM mencoba tidak membicarakan masalah Sabah, dan semua sepakat sengketa wilayah ini adalah kasus khusus yang butuh negosiasi khusus.

Namun dalam beberapa pertemuan JCM, pejabat Malaysia mendesak Filipina membangun konsulat di Sabah. Alasannya, agar Filipina bisa lebih bisa melihat kehadiran warga negaranya di wilayah itu.
Sejumlah analis mengatakan Ramos secara tidak langsung telah melepas klaim Filipina atas Sabah.

Selama Ramos berkuasa, Filipina terlibat dalam kesepakatan bilateral dengan Malaysia, yang menyiratkan pengakuan de facto Manila atas kedaulatan Malaysia di Sabah. Dalam Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) yang diluncurkan tahun 1993, misalnya, Sabah menjadi salah satu wilayah  -- wilayah lainnya Sarawak – yang menjadi bagian dari wilayah pertumbuhan Malaysia. 

Dalam kunjungan ke Malaysia, Januari 1993, Ramos dan Mahathir juga membicarakan pembangunan kantor konsulat Filipina di Sabah. Ramos, seperti ditulis Isagani de Castro dicegah untuk tidak membuat pernyataan akan membangun konsulat.

Salah seorang penasehat hukumnya mengatakan jika konsulat dibangun, Manila secara de facto melepas klaim atas Sabah dan akan muncul kemarahan sebagaian masyarakat Filipina. Ramos berdiplomasi dengan mengatakan Manila masih harus mencoba mencapai konsensus nasional untuk masalah Sabah.

Sebagai gantinya Ramos membentuk Joint Bipartisan Legislative-Executive Advisory Council di Sabah, dengan tugas membentuk kebijakan nasional di kawasan sengketa. Namun dewan ini gagal menghasilkan kebijakan.

Kendati tidak mendirikan konsulat, Ramos membentuk empat kantor perwakilan sementara di Kinabalu, Tawau, Sandakan, dan Labuan, yang bisa mengeluarkan passport bagi penduduk Filipina tanpa dokumen dan berisiko ditahan pemerintah Malaysia sesuai Program Regularisasi Malaysia 1997.

Malaysia menyambut baik pembentukan empat kantor itu, karena dianggap sebagai langkah penting bagi pengakuan Manila terhadap kedaulatan Malaysia di Sabah. Namun, semua langkah Ramos bukan tanpa perhatian politisi Muslim dari selatan Filipina.


Terus Mendesak

Dari tahun ke tahun, perekonomian Malaysia terus berkembang. Status ini menjadikan Malaysia superior atas Filipina, dan memungkinkan PM Mahathir Mohamad terus melancarkan tekanan kepada Manila untuk membuka konsulat.

Setelah Gloria Macapagal-Arroyo menggantikan Joseph Estrada, Mahathir sekali lagi mendesak Manila untuk mendirikan konsulat. Arroyo, seperti pendahulunya, merespon desakan dengan mencoba mendapatkan konsensus kongres.

Seperti Aquino dan Ramos, Arroyo juga gagal. De Castro mengatakan ada dua hal yang membuat pemerintah Filipina kerap gagal mendapatkan konsensus nasional. Pertama, kuatnya posisi nasionalis di kongres. Kedua, semakin gigihnya ahli waris Kesultanan Sulu memperjuangkan haknya lewat kongres.

Meski Filipina belum secara resmi mengeluarkan Sabah dari peta archipelagic-nya, Malaysia merasaya wilayah itu bukan lagi kawasan sengketa kedua negara. Urusan Sabah, dalam pandangan Kuala Lumpur, relatif hanya antara ahli waris Kesultanan Sulu dan Malaysia.

Asumsi Malaysia tidak mengada-ada. Saat berkuasa, Arroyo berjanji akan mengajukan klaim batas-batas wilayah Filipina, dengan Sabah dikeluarkan dari peta.

Terakhir, sejak 2003 Malaysia menyediakan diri menjadi broker perdamaian MILF-pemerintah Filipina. Meski sempat mengalami kemunduran akibat sikap Arroyo yang menolak menandatangani perjanjian sebelum tentara MILF dilucuti, Kuala Lumpur telah mencium aroma sukses menciptakan stabilitas di selatan Filipina.

Di sisi lain, Filipina menjadi korban kebijakannya sendiri. Analis politik luar negeri Filipina melihat internasionalisasi masalah separatis Muslim memperlemah Manila. Sukses Kuala Lumpur sebagai broker perdamaian membuat pengaruh Malaysia di selatan Filipina menjadi sangat kuat. Jika Manila menggunakan solusi militer untuk menangani separatis, Filipina menghapus pengaruh Malaysia di Mindanao dan pulau-pulau sekitarnya.

Sebelum meninggal dunia, Hashim Salamat – mantan chairman Moro Islamic Liberation Front (MILF) – mengatakan quid pro quo yang diinginkan Malaysia atas perannya sebagai broker perdamaian adalah terhapusnya klaim Filipina atas Sabah. Setidaknya, demikian Hashim Salamat, Kuala Lumpur berharap klaim atas Sabah ‘tertidur’ tanpa batas waktu.

Bagi ahli waris Kesultanan Sulu, persoalan belum selesai. Sabah masih milik mereka, dan Malaysia penyewa. Tidak ada kedaulatan di atas tanah sewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar