Sejak 1977 Filipina berupaya menghapus klaimnya atas
Sabah, tapi enam presiden negeri itu gagal mendapat konsesus nasional. Malaysia
menggunakan superioritas ekonomi dalam hubungan bilateral untuk menekan Manila
agar tidak lagi memunculkan klaim atas sekeping wilayah di Kalimantan itu.
Adalah Ferdinand Marcos yang kali pertama
mengungkapkan niat Filipina menghapus klaim atas Sabah, pada pertemuan tingkat
tinggi ASEAN di Kuala Lumpur. Padahal, Marcos adalah pewaris cita-cita Diosdado
Macapagal – presiden sebelumnya yang memasukan Sabah ke dalam konstitusi
Filipina.
Malaysia mereskpon niat Marcos dengan hati-hati.
Kuala Lumpur, setelah terungkapnya rencana militer Filipina mendestabilisasi
Sabah tahun 1968, menganggap Marcos tidak bisa dipercaya.
Sikap Malaysia terbukti. Sampai terguling oleh Revolusi Edsa 1986,
Marcos tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkan niatnya.
Adalah Corry Aquino yang serius menghapus klaim
Filipina atas Sabah. Beberapa bulan setelah naik menjadi orang nomor satu di
Filipina, Aquino menunjuk Senator Leticia Ramos-Shahani mengajukan rancangan
undang-undang (RUU) penghapusan klaim atas Sabah ke kongres.
Senator Leticia meletakan kembali archipelagic baseline Filipina seperti
semula, atau sebelum Macapagal berkuasa. Aquino berharap kongres menyetujuk RUU
ini sebelum pertemuan ASEAN di Manila, 14-16 Desember 1987.
Beberapa hari sebelum pertemuan tingkat tinggi ASEAN,
diplomat kedua negara mengadakan pertemuan rahasia di Kuala Lumpur untuk
menyelesaikan draft Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama, serta Kesepakatan
Patroli Bersama di Perbatasan kedua negara.
Bagi Filipina, ini adalah quid pro quo, atau sesuatu yang diberikan Malaysia sebagai balasan
atas niat bagik Manila melepas klaim atas Sabah. Jose Ingles, wakil menlu
Filipina saat itu, mengatakan perjanjian perbatasan dimaksudkan untuk mencegah
lalu-lalang separatis Muslim Filipina dari Palawan, Tawi Tawi, dan Kepulauan
Sulu ke Sabah.
Patroli bersama di perbatasan kedua negara
dimaksudkan untuk mencegah penyelundupan senjata dari Sabah ke Mindanao. Ini
amat penting, karena sejak Nur Misuari membentuk Moro National Liberation Front
(MNLF) dan berusaha memisahkan diri dari Filipina, Malaysia adalah penyuplai
senjata untuk kelompok separatis ini.
Kongres mati-matian menentang penghapusan klaim atas
Sabah. Alasan sejumlah anggota kongres, terutama yang berasal dari selatan
Filipina, adalah penghapusan klaim Filipina atas Sabah akan membahayakan status
kepemilikan ahli waris Kesultanan Sulu atas wilayah itu.
Majalah Newsbreak
melaporkan kegagalan disebabkan sejumlah politisi Muslim dari selatan
Filipina meminta bagian sekian persen dari 70 juta dolar AS, yang akan
dibayarkan Malaysia kepada ahli waris Kesultanan Sulu sebagai kompensasi
kesediaannya melepas status kepemilikan Sabah. Ahli waris Kesultanan Sulu
menolak permintaan itu.
Kegagalan pertama Manila melepas klaim atas Sabah
tidak membuat PM Mahathir Mohamad kecewa. Kepada wartawan, Mahathir mengatakan
Aquino benar-benar tulus menyelesaikan masalah sengketa wilayah. Raul
Manglapus, menteri luar negeri Filipina saat itu, mengatakan Manila telah
melakukan yang terbaik tapi segalanya sulit diprediksi.
Sedangkan Blas Ople, ketua Komite Hubungan Luar
Negeri di senat Filipina, mengatakan Aquino gagal mengumpulkan dukungan publik
yang diperlukan untuk melakukan perubahan hukum. Setelah kegagalan itu, Aquino
tidak lagi berusaha mendekati politisi dari selatan Filipina dan ahli waris
Kesultanan Sulu.
Fidel Ramos, yang menggantikan Aquino, mencoba
melanjutkan upaya pendahulunya. Rodolfo Severino, mantan Dubes Filipina untuk
Malaysia, mengatakan Kuala Lumpur berharap bisa berunding dengan Ramos. Ini
diperlihatkan PM Mahathir dengan melakukan kunjungan ke Manila di luar acara
resmi ASEAN. Mahathir mencoba lebih
akomodatif .
Menurut Ople, Kuala Lumpur mempertimbangkan untuk
mengubah posisi, dengan tidak terlalu keras menuntut Manila untuk menghapus
klaim atas Sabah jika ingin memperkuat kerjasama bilateral. Dalam pembicaraan
dengan Ramos, Mahathir mengatakan memahami kebuntuan politik yang menyebabkan
Ramos tidak bisa memperoleh konsesus nasional atas Sabah. Sebagai gantinya, Malaysia yakin lewat penguatan
kerjasama ekonomi, masalah Sabah akan selesai dengan sendirinya
Merongrong
Klaim
Di era Ramos, penguatan hubungan Filipina-Malaysia
ditandai dengan pembentukan Komisi Bersama untuk Kerjasama Bilateral (JCM),
Juli 1993. Victoriano Lecaros, Dubes Filipina untuk Malaysia saat itu,
mengatakan JCM merupakan interaksi tingkat tinggi. Delegasi kedua negara
dipimpin masing-masing menlu. Sedangkan Jose Brillantes, mantan Dubes Filipina
untuk Indonesia, menyebut JCM sebagai katup pengaman untuk mencegah ketegangan
dan perselisihan.
JCM memicu penciptaan kelompok-kelompok kerja.
Setiap kelompok kerja menangani dan mengantisipasi masalah tertentu, dan
mencegah apa yang telah terjadi tidak terulang.
Sejak dibentuk 1993, JCM telah enam kali menggelar
pertemuan. Pembicaraan di setiap pertemuan melulu fokus pada perdagangan,
kerjasama ekonomi, isu sosial, tenaga kerja, dan buruh migran. Setiap orang di
JCM mencoba tidak membicarakan masalah Sabah, dan semua sepakat sengketa
wilayah ini adalah kasus khusus yang butuh negosiasi khusus.
Namun dalam beberapa pertemuan JCM, pejabat Malaysia
mendesak Filipina membangun konsulat di Sabah. Alasannya, agar Filipina bisa
lebih bisa melihat kehadiran warga negaranya di wilayah itu.
Sejumlah analis mengatakan Ramos secara tidak
langsung telah melepas klaim Filipina atas Sabah.
Selama Ramos berkuasa,
Filipina terlibat dalam kesepakatan bilateral dengan Malaysia, yang menyiratkan
pengakuan de facto Manila atas kedaulatan Malaysia di Sabah. Dalam Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines
East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) yang diluncurkan tahun 1993, misalnya, Sabah menjadi salah satu
wilayah -- wilayah lainnya Sarawak –
yang menjadi bagian dari wilayah pertumbuhan Malaysia.
Dalam kunjungan ke Malaysia, Januari 1993, Ramos dan
Mahathir juga membicarakan pembangunan kantor konsulat Filipina di Sabah.
Ramos, seperti ditulis Isagani de Castro dicegah untuk tidak membuat pernyataan
akan membangun konsulat.
Salah seorang penasehat hukumnya mengatakan jika
konsulat dibangun, Manila secara de facto melepas klaim atas Sabah dan akan
muncul kemarahan sebagaian masyarakat Filipina. Ramos berdiplomasi dengan
mengatakan Manila masih harus mencoba mencapai konsensus nasional untuk masalah
Sabah.
Sebagai gantinya Ramos membentuk Joint Bipartisan
Legislative-Executive Advisory Council di Sabah, dengan tugas membentuk
kebijakan nasional di kawasan sengketa. Namun dewan ini gagal menghasilkan
kebijakan.
Kendati tidak mendirikan konsulat, Ramos membentuk
empat kantor perwakilan sementara di Kinabalu, Tawau, Sandakan, dan Labuan,
yang bisa mengeluarkan passport bagi penduduk Filipina tanpa dokumen dan
berisiko ditahan pemerintah Malaysia sesuai Program Regularisasi Malaysia 1997.
Malaysia menyambut baik pembentukan empat kantor
itu, karena dianggap sebagai langkah penting bagi pengakuan Manila terhadap
kedaulatan Malaysia di Sabah. Namun, semua langkah Ramos bukan tanpa perhatian
politisi Muslim dari selatan Filipina.
Terus
Mendesak
Dari tahun ke tahun, perekonomian Malaysia terus
berkembang. Status ini menjadikan Malaysia superior atas Filipina, dan
memungkinkan PM Mahathir Mohamad terus melancarkan tekanan kepada Manila untuk
membuka konsulat.
Setelah Gloria Macapagal-Arroyo menggantikan Joseph
Estrada, Mahathir sekali lagi mendesak Manila untuk mendirikan konsulat. Arroyo,
seperti pendahulunya, merespon desakan dengan mencoba mendapatkan konsensus
kongres.
Seperti Aquino dan Ramos, Arroyo juga gagal. De
Castro mengatakan ada dua hal yang membuat pemerintah Filipina kerap gagal
mendapatkan konsensus nasional. Pertama, kuatnya posisi nasionalis di kongres.
Kedua, semakin gigihnya ahli waris Kesultanan Sulu memperjuangkan haknya lewat
kongres.
Meski Filipina belum secara resmi mengeluarkan Sabah
dari peta archipelagic-nya, Malaysia merasaya wilayah itu bukan lagi kawasan
sengketa kedua negara. Urusan Sabah, dalam pandangan Kuala Lumpur, relatif
hanya antara ahli waris Kesultanan Sulu dan Malaysia.
Asumsi Malaysia tidak mengada-ada. Saat berkuasa,
Arroyo berjanji akan mengajukan klaim batas-batas wilayah Filipina, dengan
Sabah dikeluarkan dari peta.
Terakhir, sejak 2003 Malaysia menyediakan diri
menjadi broker perdamaian MILF-pemerintah Filipina. Meski sempat mengalami
kemunduran akibat sikap Arroyo yang menolak menandatangani perjanjian sebelum
tentara MILF dilucuti, Kuala Lumpur telah mencium aroma sukses menciptakan
stabilitas di selatan Filipina.
Di sisi lain, Filipina menjadi korban kebijakannya
sendiri. Analis politik luar negeri Filipina melihat internasionalisasi masalah
separatis Muslim memperlemah Manila. Sukses Kuala Lumpur sebagai broker
perdamaian membuat pengaruh Malaysia di selatan Filipina menjadi sangat kuat.
Jika Manila menggunakan solusi militer untuk menangani separatis, Filipina
menghapus pengaruh Malaysia di Mindanao dan pulau-pulau sekitarnya.
Sebelum meninggal dunia, Hashim Salamat – mantan chairman Moro Islamic Liberation Front
(MILF) – mengatakan quid pro quo yang diinginkan Malaysia atas perannya sebagai
broker perdamaian adalah terhapusnya klaim Filipina atas Sabah. Setidaknya,
demikian Hashim Salamat, Kuala Lumpur berharap klaim atas Sabah ‘tertidur’
tanpa batas waktu.
Bagi ahli waris Kesultanan Sulu, persoalan belum
selesai. Sabah masih milik mereka, dan Malaysia penyewa. Tidak ada kedaulatan
di atas tanah sewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar