Imas Darsih, kini berusia 52 tahun, tidak tahu
dirinya sutradara ke berapa di kelompok sandiwara Miss Tjitjih. Yang ia tahu,
dirinya menggantikan Maman Sutarman -- sutradara Miss Tjitjih yang meninggal pada
31 Juli 2011 pada usia 53 tahun.
Seperti kebanyakan anggota Miss Tjitjih berusia
lanjut, Imas adalah generasi penerus kelompok sandiwara tradisional Sunda yang
berusia 85 tahun ini. Alkisah, M Ali -- ayah Imas yang biasa dipanggil Pak
Tebah dan sutradara Miss Tjitjih di tahun 1950-an -- jatuh cinta dengan seorang
wanita asal Bandung yang bermain di kelompok sandiwara Miss Tjitjih. Mereka
menikah, dan menurunkan sembilan anak.
Imas lahir di lingkungan permukiman artis Miss
Tjijih tahun 1962. Ia memulai kariernya sejak dudu di bangku sekolah dasar,
sebagai pemain reog. Ia memenangkan Festival Reog di Taman Mini Indonesia
Indah, di awal 1980-an.
Ketika Miss Tjitjih bermarkas di dekat Stasiun
Angke, Imas mengawali kariernya di panggung. Ia kerap mendapat peran antagonis,
yang membuatnya diteriaki penonton atau dilempar sendal jepit. Sebagai aktris
panggung, Imas relatif sukses.
Ia tampil di layar kaca televisi beberapa kali,
memainkan lakon Lutung Kasarung, Sumur Bandung, Sangkuriang, dan Kujang
Pajajaran. Sempat tampil di salah satu stasiun televisi swasta, memainkan
Subang Larang.
Imas bukan satu-satunya di keluarga Pak Tebah yang
secara sadar menjadi bagian perjalanan Miss Tjitjih. Endang 'Eko' Mintarsa,
kakak Imas Darsih, sempat menjadi sutradara sebelum Mang Esek mengambil alih
posisinya.
Ketika Mang Esek menjadi sutradara, Imas menempa
diri sebagai asisten sutradara. Ia melatih semua pemain, mengarahkan, dan
menulis banyak naskah. Salah satu karya Imas yang dipentaskan Mang Esek adalah
Setan Payung Hitam.
"Saya belajar sendiri, dan hanya dari melihat
apa yang dilakukan ayah saya," ujar Imas, yang juga menulis naskah lakon
Genjlong Bogor, Banjir Cisadane, Perawan di Sarang Hantu, dan Macan Surabaya.
Imas kini tercatat sebagai perempuan pertama yang
menjadi sutradara di kelompok sandiwara Miss Tjitjih. Sebelumnya, silih
berganti kaum lelaki mengisi posisi sentral di kelompok ini; Aki Udung, Abah
Nana Sukarna, M Ali atau Pak Tebah, William Sanduriat, Herman Wibiksana, Endang
'Eko' Mintarsa, dan Mang Esek.
Seperti pendahulunya, Imas tidak sedikit pun berniat
mengubah format Miss Tjitjih. Ia tidak ingin lari dari tradisi, dengan
menggunakan Bahasa Indonesia dalam pementasan. Ia tahu sikap itu membuat Miss
Tjitjih kian sulit untuk survive.
"Ini identitas Miss Tjitjih," ujarnya.
"Saya menikmati segala keterbasan ini, tapi saya yakin Miss Tjitjih masih
memiliki penggemar, meski bukan di lingkungan tempatnya berada."
Dalam kesempatan latihan untuk pementasan di TVRI, kami
mewawancarainya di depan panggung pertunjukan di Gedung Sandiwara Miss Tjitjih
di Jl Cempaka Putih Utara, Jakarta Pusat. Berikut petikannya.
Kali
ketiga, Miss Tjitjih mendapat kesempatan tampil di TVRI. Apakah ini pertanda
Miss Tjitjih masih memiliki penggemar, meski bukan lagi di lingkungan tempatnya
bermukim?
Saya melihatnya begitu.
Jika tidak, mungkin TVRI tidak akan lagi menampilkan Miss Tjitjih di layar
kaca. Saya juga mendapat banyak kabar dari Ciparai, Bekasi, Karawang, Bandung,
dan kota-kota lain di Jawa Barat, akan banyaknya masyarakat menunggu
pertunjukan Miss Tjitjih setiap Senin sore. Selain Jawa Barat, penggemar Miss
Tjitjih juga terdapat di Lampung.
Ini sesuatu yang
menggembirakan. Inilah yang membuat saya optimistis Miss Tjitjih masih akan
tetap ada, meski pertunjukan Miss Tjitjih di gedung ini hanya ditonton
segelintir orang.
Sejak
kapan TVRI melirik Miss Tjitjih?
Setahu saya sejak masih
disutradarai Mang Esek. Saat itu, TVRI meminta kami memainkan enam cerita untuk
enam pekan. Berikutnya, Januari 2013, TVRI meminta sepuluh cerita. Kini, kami
sedang mempersiapkan diri untuk memainkan 16 cerita. Ini memperlihatkan adanya
peningkatan permintaan dari pemirsa TVRI, terutama masyarakat Sunda.
Shooting akan dimulai
12 April 2013. Melibatkan seluruh anggota Miss Tjitjih, mulai dari aktris,
penata panggung, penari, dan nayaga (pemain musik gamelan). Tidak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak
dan mereka yang berusia lanjut, jika diperlukan.
Secara
ekonomis, apakah kontrak dari stasiun televisi pemerintah cukup membantu
penghidupan anggota Miss Tjitjih?
Sangat membantu. Untuk
ukuran kami, penghasilan dari stasiun televisi sangat besar. Itu membuat setiap
anggota Miss Tjitjih tidak perlu bekerja sampingan, menjadi tukang ojek,
menjadi buruh konveksi, atau kondektur mobil.
Miss
Tjitjih mendapat subsidi dari Pemprov DKI Jakarta untuk menggelar 10 sampai 12
pertunjukan setiap tahun, apakah honor dari pertunjukan tidak mencukupi?
Sama sekali tidak. Kita
tidak pernah tahu berapa subsidi dari pemerintah. Yang kita tahu ada SPJ dari
pemerintah untuk setiap artis yang manggung, besarnya antara Rp 30 sampai Rp 40
ribu untuk sekali manggung.
Kesempatan manggung,
dengan biaya subsidi, hanya sebulan dua kali. Jika anggaran dari Pemprov DKI
Jakarta belum turun seperti saat ini, anggota Miss Tjitjih mencari pekerjaan
lain.
Jadi,
subsidi itu sangat tidak menghidupi. Menurut ibu, apa yang membuat anggota Miss
Tjitjih tetap bertahan dalam kondisi seperti ini?
Bagi saya, Miss Tjitjih
adalah hidup saya. Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga besar Miss
Tjitjih. Saya tidak peduli berapa honor yang saya dapatkan. Jika telah berada
di panggung, atau tatkala member pengarahan, saya seolah lupa akan kesulitan
yang saya hadapi.
Sebagian besar anggota
Miss Tjitjih lahir dalam kondisi seperti itu. Hanya beberapa yang masuk
belakangan, dan menjadi bagian Miss Tjitjih. Namun, semua dipersatukan oleh
tekad untuk bertahan bersama Miss Tjitjih dengan berbagai alasan.
Sampai
kapan ibu akan berkarier di Miss Tjitjih?
Sekarang usia saya 52
tahun. Saya bertekad akan terus bersama Miss Tjitjih sampai saya tak kuat lagi.
Selain
menjadi sutradara, apa yang ibu kerjakan untuk kelangsungan Miss Tjitjih?
Melakukan regenerasi.
Saya melatih anak-anak, mempersiapkan generasi esok. Bukan hanya saya yang
melakukannya, tapi juga anggota Miss Tjitjih yang berusia lanjut.
Yang pertama saya
lakukan adalah mendidik anak-anak untuk mencintai sandiwara tradisional Sunda,
menjadi bagian Miss Tjitjih, dan terlibat di dalamnya. Memang tidak seluruh
anak-anak yang lahir di lingkungan Miss Tjitjih memilih hidup bersama keluarga
lainnya, tapi mereka kerap membantu jika Miss Tjitjih membutuhkan tenaga dan
pikiran mereka.
Menurut
ibu, apa kendala utama dalam mendidik generasi penerus Miss Tjitjih?
Banyak. Salah satunya
adalah godaan dunia hiburan di luar sana. Lainnya, dan yang sangat mengganggu,
adalah gadget. Remaja-remaja terkadang lebih asyik dengan gadget-nya, dan
cenderung mengabaikan instruksi pelatih dan sutradara, saat berlatih.
Terdapat
asumsi, orang Sunda di Jakarta relatif telah melupakan Miss Tjitjih. Bagaimana
menurut ibu?
Nggak juga. Jika Anda
berkesempatan menyaksikan pertunjukan rutin Miss Tjitjih, mungkin Anda akan
bertemu beberapa penggemar fanatik Miss Tjitjih. Beberapa dari mereka mengikuti
Miss Tjitjih sejak di Kramat, Angke, dan kini di Cempaka Baru.
Mereka telah berusia
lanjut. Rata-rata di atas 50 tahun. Mereka datang tidak sendiri, tapi bersama
istri dan anak-anak mereka.
Terkadang, usai
pertunjukan para penonton tua itu menyerbu ke belakang panggung untuk meminta bertemu
satu atau dua pemain Miss Tjitjih yang dikenalnya sejak di Kramat dan Angke.
Namun mereka harus kecewa, karena nama-nama yang mereka kenal telah tiada.
Saya yakin penggemar
fanatik ini juga sedang memperkenalkan Miss Tjitjih kepada anak-anaknya. Jadi,
ada regenerasi pula di kalangan penonton. Sayangnya itu tidak banyak.
Apakah
Miss Tjitjih membebaskan anggotanya mencari pekerjaan di tempat lain, misal
dengan menjadi pemeran sinetron, atau tampil di panggung-panggung sandiwara
lain?
Kami membebaskan mereka
untuk berkarier di tempat lain. Ada beberapa yang menjadi figuran di sinetron. Saya
pun pernah bermain di sandiwara televisi.
Banyak pula anggota
Miss Tjitjih terlibat di panggung-pangung pertunjukan sebagai penari, pemain
musik, atau mendekorasi panggung. Yang pasti mereka bebas mencari penghidupan
di luar. Namun mereka siap mendukung pertunjukan Miss Tjitjih jika diperlukan.
Apakah
suami juga terlibat di Miss Tjitjih? Jika boleh tahu apakah suami ibu juga
orang Sunda?
Suami saya orang Jawa
asal Surabaya. Ia juga mengabdikan diri untuk Miss Tjitjih sebagai pendekorasi
panggung pertunjukan. Jadi, saya sepenuhnya hidup dari dan untuk Mis Tjijtih.
Miss
Tjijih mendapat subsidi dari Pemprov DKI. Apa itu mencukupi?
Sangat tidak. Saya juga
tidak tahu berapa subsidi dari pemerintah, dan lebih banyak digunakan untuk
apa. Ada yang subsidi mendapai Rp 200 juta. Ada pula yang mengatakan Rp 300
juta.
Saya nggak tahu soal
subsidi itu. Yang saya tahu, subsidi hanya untuk 12 pertunjukan per tahun, atau
setiap dua pekan sekali. Jadi dalam satu tahun, hanya enam bulan Miss Tjitjih
manggung, yaitu antara Juni sampai Desember. Enam bulan lainnya, ya menganggur.
Untuk melestarikan Miss
Tjijih, pertunjukan sekali dalam dua pekan sangat tidak memadai. Minimal, Miss
Tjitjih harus tampil sekali sepekan, yaitu setiap akhir pekan. Apalagi, saat
masih di Kramat dan Angke, Miss Tjitjih pernah tampil empat sampai lima kali
dalam sepekan.
Namun saya juga sadar
penonton Miss Tjitjih sudah sangat berkurang. Setiap pertunjukan hanya
disaksikan sepuluh sampai 15 orang dari kapasitas gedung yang mencapai 300
kursi.
Selain
anggaran untuk pertunjukan, apakah ada dana untuk promosi?
Promosi ditangani
Pemprov DKI Jakarta. Itu pun baru-baru ini saja. Promosi terbatas pada pembuatan
kalender, dan brosur pertunjukan. Tidak ada promosi lewat internet. Misal,
dengan membangun situs khusus Miss Tjitjih.
Pemprov
DKI Jakarta kini dipimpin Gubernur Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purna. Apa
harapan ibu dari pemerintahan baru DKI Jakarta?
Harapan saya sederhana
saja, yaitu agar kesenian tradisional tetap diperhatikan dan dipertahankan.
Miss Tjitjih adalah bagian integral masyarakat Jakarta. Miss Tjitjih adalah
bukti sumbangsih masyarakat Sunda dalam pembangunan Jakarta. Adalah selayaknya
kelompok sandiwara ini dipertahankan dan diberi ruang hidup.
Kalau bisa, ya ada
kenaikan anggaran. Pemprov DKI Jakarta terus mempromosikan Miss Tjitjih. Kami
ingin Miss Tjitjih tidak beda dengan Wayang Orang Bharata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar