Rabu, 10 April 2013

Imas Darsih: Kami Hidup Dari dan Untuk Miss Tjitjih


Imas Darsih, kini berusia 52 tahun, tidak tahu dirinya sutradara ke berapa di kelompok sandiwara Miss Tjitjih. Yang ia tahu, dirinya menggantikan Maman Sutarman -- sutradara Miss Tjitjih yang meninggal pada 31 Juli 2011 pada usia 53 tahun.

Seperti kebanyakan anggota Miss Tjitjih berusia lanjut, Imas adalah generasi penerus kelompok sandiwara tradisional Sunda yang berusia 85 tahun ini. Alkisah, M Ali -- ayah Imas yang biasa dipanggil Pak Tebah dan sutradara Miss Tjitjih di tahun 1950-an -- jatuh cinta dengan seorang wanita asal Bandung yang bermain di kelompok sandiwara Miss Tjitjih. Mereka menikah, dan menurunkan sembilan anak.

Imas lahir di lingkungan permukiman artis Miss Tjijih tahun 1962. Ia memulai kariernya sejak dudu di bangku sekolah dasar, sebagai pemain reog. Ia memenangkan Festival Reog di Taman Mini Indonesia Indah, di awal 1980-an.

Ketika Miss Tjitjih bermarkas di dekat Stasiun Angke, Imas mengawali kariernya di panggung. Ia kerap mendapat peran antagonis, yang membuatnya diteriaki penonton atau dilempar sendal jepit. Sebagai aktris panggung, Imas relatif sukses.

Ia tampil di layar kaca televisi beberapa kali, memainkan lakon Lutung Kasarung, Sumur Bandung, Sangkuriang, dan Kujang Pajajaran. Sempat tampil di salah satu stasiun televisi swasta, memainkan Subang Larang.

Imas bukan satu-satunya di keluarga Pak Tebah yang secara sadar menjadi bagian perjalanan Miss Tjitjih. Endang 'Eko' Mintarsa, kakak Imas Darsih, sempat menjadi sutradara sebelum Mang Esek mengambil alih posisinya.

Ketika Mang Esek menjadi sutradara, Imas menempa diri sebagai asisten sutradara. Ia melatih semua pemain, mengarahkan, dan menulis banyak naskah. Salah satu karya Imas yang dipentaskan Mang Esek adalah Setan Payung Hitam.

"Saya belajar sendiri, dan hanya dari melihat apa yang dilakukan ayah saya," ujar Imas, yang juga menulis naskah lakon Genjlong Bogor, Banjir Cisadane, Perawan di Sarang Hantu, dan Macan Surabaya.

Imas kini tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi sutradara di kelompok sandiwara Miss Tjitjih. Sebelumnya, silih berganti kaum lelaki mengisi posisi sentral di kelompok ini; Aki Udung, Abah Nana Sukarna, M Ali atau Pak Tebah, William Sanduriat, Herman Wibiksana, Endang 'Eko' Mintarsa, dan Mang Esek.

Seperti pendahulunya, Imas tidak sedikit pun berniat mengubah format Miss Tjitjih. Ia tidak ingin lari dari tradisi, dengan menggunakan Bahasa Indonesia dalam pementasan. Ia tahu sikap itu membuat Miss Tjitjih kian sulit untuk survive.

"Ini identitas Miss Tjitjih," ujarnya. "Saya menikmati segala keterbasan ini, tapi saya yakin Miss Tjitjih masih memiliki penggemar, meski bukan di lingkungan tempatnya berada."

Dalam kesempatan latihan untuk pementasan di TVRI, kami mewawancarainya di depan panggung pertunjukan di Gedung Sandiwara Miss Tjitjih di Jl Cempaka Putih Utara, Jakarta Pusat. Berikut petikannya.


Kali ketiga, Miss Tjitjih mendapat kesempatan tampil di TVRI. Apakah ini pertanda Miss Tjitjih masih memiliki penggemar, meski bukan lagi di lingkungan tempatnya bermukim?

Saya melihatnya begitu. Jika tidak, mungkin TVRI tidak akan lagi menampilkan Miss Tjitjih di layar kaca. Saya juga mendapat banyak kabar dari Ciparai, Bekasi, Karawang, Bandung, dan kota-kota lain di Jawa Barat, akan banyaknya masyarakat menunggu pertunjukan Miss Tjitjih setiap Senin sore. Selain Jawa Barat, penggemar Miss Tjitjih juga terdapat di Lampung.

Ini sesuatu yang menggembirakan. Inilah yang membuat saya optimistis Miss Tjitjih masih akan tetap ada, meski pertunjukan Miss Tjitjih di gedung ini hanya ditonton segelintir orang.

Sejak kapan TVRI melirik Miss Tjitjih?

Setahu saya sejak masih disutradarai Mang Esek. Saat itu, TVRI meminta kami memainkan enam cerita untuk enam pekan. Berikutnya, Januari 2013, TVRI meminta sepuluh cerita. Kini, kami sedang mempersiapkan diri untuk memainkan 16 cerita. Ini memperlihatkan adanya peningkatan permintaan dari pemirsa TVRI, terutama masyarakat Sunda.

Shooting akan dimulai 12 April 2013. Melibatkan seluruh anggota Miss Tjitjih, mulai dari aktris, penata panggung, penari, dan nayaga (pemain musik gamelan).  Tidak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak dan mereka yang berusia lanjut, jika diperlukan.

Secara ekonomis, apakah kontrak dari stasiun televisi pemerintah cukup membantu penghidupan anggota Miss Tjitjih?

Sangat membantu. Untuk ukuran kami, penghasilan dari stasiun televisi sangat besar. Itu membuat setiap anggota Miss Tjitjih tidak perlu bekerja sampingan, menjadi tukang ojek, menjadi buruh konveksi, atau kondektur mobil.

Miss Tjitjih mendapat subsidi dari Pemprov DKI Jakarta untuk menggelar 10 sampai 12 pertunjukan setiap tahun, apakah honor dari pertunjukan tidak mencukupi?

Sama sekali tidak. Kita tidak pernah tahu berapa subsidi dari pemerintah. Yang kita tahu ada SPJ dari pemerintah untuk setiap artis yang manggung, besarnya antara Rp 30 sampai Rp 40 ribu untuk sekali manggung. 

Kesempatan manggung, dengan biaya subsidi, hanya sebulan dua kali. Jika anggaran dari Pemprov DKI Jakarta belum turun seperti saat ini, anggota Miss Tjitjih mencari pekerjaan lain.

Jadi, subsidi itu sangat tidak menghidupi. Menurut ibu, apa yang membuat anggota Miss Tjitjih tetap bertahan dalam kondisi seperti ini?

Bagi saya, Miss Tjitjih adalah hidup saya. Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga besar Miss Tjitjih. Saya tidak peduli berapa honor yang saya dapatkan. Jika telah berada di panggung, atau tatkala member pengarahan, saya seolah lupa akan kesulitan yang saya hadapi.

Sebagian besar anggota Miss Tjitjih lahir dalam kondisi seperti itu. Hanya beberapa yang masuk belakangan, dan menjadi bagian Miss Tjitjih. Namun, semua dipersatukan oleh tekad untuk bertahan bersama Miss Tjitjih dengan berbagai alasan.

Sampai kapan ibu akan berkarier di Miss Tjitjih?

Sekarang usia saya 52 tahun. Saya bertekad akan terus bersama Miss Tjitjih sampai saya tak kuat lagi.

Selain menjadi sutradara, apa yang ibu kerjakan untuk kelangsungan Miss Tjitjih?

Melakukan regenerasi. Saya melatih anak-anak, mempersiapkan generasi esok. Bukan hanya saya yang melakukannya, tapi juga anggota Miss Tjitjih yang berusia lanjut.

Yang pertama saya lakukan adalah mendidik anak-anak untuk mencintai sandiwara tradisional Sunda, menjadi bagian Miss Tjitjih, dan terlibat di dalamnya. Memang tidak seluruh anak-anak yang lahir di lingkungan Miss Tjitjih memilih hidup bersama keluarga lainnya, tapi mereka kerap membantu jika Miss Tjitjih membutuhkan tenaga dan pikiran mereka.

Menurut ibu, apa kendala utama dalam mendidik generasi penerus Miss Tjitjih?

Banyak. Salah satunya adalah godaan dunia hiburan di luar sana. Lainnya, dan yang sangat mengganggu, adalah gadget. Remaja-remaja terkadang lebih asyik dengan gadget-nya, dan cenderung mengabaikan instruksi pelatih dan sutradara, saat berlatih.

Terdapat asumsi, orang Sunda di Jakarta relatif telah melupakan Miss Tjitjih. Bagaimana menurut ibu?

Nggak juga. Jika Anda berkesempatan menyaksikan pertunjukan rutin Miss Tjitjih, mungkin Anda akan bertemu beberapa penggemar fanatik Miss Tjitjih. Beberapa dari mereka mengikuti Miss Tjitjih sejak di Kramat, Angke, dan kini di Cempaka Baru.

Mereka telah berusia lanjut. Rata-rata di atas 50 tahun. Mereka datang tidak sendiri, tapi bersama istri dan anak-anak mereka.

Terkadang, usai pertunjukan para penonton tua itu menyerbu ke belakang panggung untuk meminta bertemu satu atau dua pemain Miss Tjitjih yang dikenalnya sejak di Kramat dan Angke. Namun mereka harus kecewa, karena nama-nama yang mereka kenal telah tiada.

Saya yakin penggemar fanatik ini juga sedang memperkenalkan Miss Tjitjih kepada anak-anaknya. Jadi, ada regenerasi pula di kalangan penonton. Sayangnya itu tidak banyak.

Apakah Miss Tjitjih membebaskan anggotanya mencari pekerjaan di tempat lain, misal dengan menjadi pemeran sinetron, atau tampil di panggung-panggung sandiwara lain?

Kami membebaskan mereka untuk berkarier di tempat lain. Ada beberapa yang menjadi figuran di sinetron. Saya pun pernah bermain di sandiwara televisi. 

Banyak pula anggota Miss Tjitjih terlibat di panggung-pangung pertunjukan sebagai penari, pemain musik, atau mendekorasi panggung. Yang pasti mereka bebas mencari penghidupan di luar. Namun mereka siap mendukung pertunjukan Miss Tjitjih jika diperlukan.

Apakah suami juga terlibat di Miss Tjitjih? Jika boleh tahu apakah suami ibu juga orang Sunda?

Suami saya orang Jawa asal Surabaya. Ia juga mengabdikan diri untuk Miss Tjitjih sebagai pendekorasi panggung pertunjukan. Jadi, saya sepenuhnya hidup dari dan untuk Mis Tjijtih.

Miss Tjijih mendapat subsidi dari Pemprov DKI. Apa itu mencukupi?

Sangat tidak. Saya juga tidak tahu berapa subsidi dari pemerintah, dan lebih banyak digunakan untuk apa. Ada yang subsidi mendapai Rp 200 juta. Ada pula yang mengatakan Rp 300 juta.

Saya nggak tahu soal subsidi itu. Yang saya tahu, subsidi hanya untuk 12 pertunjukan per tahun, atau setiap dua pekan sekali. Jadi dalam satu tahun, hanya enam bulan Miss Tjitjih manggung, yaitu antara Juni sampai Desember. Enam bulan lainnya, ya menganggur.

Untuk melestarikan Miss Tjijih, pertunjukan sekali dalam dua pekan sangat tidak memadai. Minimal, Miss Tjitjih harus tampil sekali sepekan, yaitu setiap akhir pekan. Apalagi, saat masih di Kramat dan Angke, Miss Tjitjih pernah tampil empat sampai lima kali dalam sepekan.

Namun saya juga sadar penonton Miss Tjitjih sudah sangat berkurang. Setiap pertunjukan hanya disaksikan sepuluh sampai 15 orang dari kapasitas gedung yang mencapai 300 kursi.

Selain anggaran untuk pertunjukan, apakah ada dana untuk promosi?

Promosi ditangani Pemprov DKI Jakarta. Itu pun baru-baru ini saja. Promosi terbatas pada pembuatan kalender, dan brosur pertunjukan. Tidak ada promosi lewat internet. Misal, dengan membangun situs khusus Miss Tjitjih.

Pemprov DKI Jakarta kini dipimpin Gubernur Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purna. Apa harapan ibu dari pemerintahan baru DKI Jakarta?

Harapan saya sederhana saja, yaitu agar kesenian tradisional tetap diperhatikan dan dipertahankan. Miss Tjitjih adalah bagian integral masyarakat Jakarta. Miss Tjitjih adalah bukti sumbangsih masyarakat Sunda dalam pembangunan Jakarta. Adalah selayaknya kelompok sandiwara ini dipertahankan dan diberi ruang hidup.

Kalau bisa, ya ada kenaikan anggaran. Pemprov DKI Jakarta terus mempromosikan Miss Tjitjih. Kami ingin Miss Tjitjih tidak beda dengan Wayang Orang Bharata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar