Rabu, 10 April 2013

Sekeping Emas Bernama Sabah




Tahun 1962, seperti tahun-tahun sebelumnya sejak 1939, keluaraga-keluarga ahli waris Sultan Jamalul Kiram II berkumpul di Maimbung, ibu kota Kesultanan Sulu. Mereka adalah keluarga Sultan Punjungan Kiram, Datu Esmail Kiram, Dayang Dayang Piandao Kiram, Dayang Dayang Sitti Rada Kiram, Princess Tarhata Kiram, Princess Sakinur-In Kiram, Dayang Dayang Putli Jahara Kiram, Dayang Dayang Sitti Mariam Kiram and Mora Napsa.

Mereka tidak sedang melakukan pertemuan untuk membahas masa depan kesultanan, tapi membagi uang sewa Sabah yang dibayarkan North Boreno Company (NBC), yang jumlahnya 5.300 koin emas Meksiko. Itu bukan jumlah yang kecil, bukan hanya untuk ukuran saat itu, tapi juga saat ini.

Tidak ada yang tahu siapa memperoleh terbesar. Hakim McKaskie, ketua Pengadilan Tinggi Borneo Utara yang menetapkan nama-nama ahli waris Sultan Jamalul Kiram II, tidak menetapkan persentase bagian setiap orang karena tidak ada yang bisa mengklaim layak mendapat terbanyak. Tidak terkecuali Hajjah Dayang Dayang Piandao – keturunan langsung Sultan Badaruddin, yang menyewakan Sabah ke NBC tahun 1878.

Koin emas itulah yang...
 menghidupi keluarga-keluarga ahli waris Sultan Jamalul Kiram II sejak 1939. Mereka hidup sangat layak dibanding masyarakat Sulu yang miskin, dan terus miskin. Menyekolahkan anak-anak mereka ke Manila, atau ke luar negeri.

Ada yang tidak diketahui keluarga ahli waris Jamalul Kiram II, setelah acara bagi-bagi koin di tahun 1962 selesai. Bahwa, itulah koin emas terakhir yang mereka menikmati.

Tahun 1963, tidak ada lagi kiriman koin emas sewa Sabah. NBC menolak membayar karena telah mengalihkan hak sewa Sabah telah ke pemerintah Federasi Malaysia – negara bentukan Inggris yang mencaplok Sabah berdasarkan referendum.

Sebagai ‘penyewa baru’, Malaysia menyatakan bersedia membayar kepada ahli waris Jamalul Kiram II tapi tidak dalam bentuk koin emas. Kuala Lumpur hanya mau membayar sewa, Malaysia menyebutnya cession money – atau uang penyerahan – dalam ringgit, yaitu sebesar 5.300 ringgit. Bayangkan jika Anda memiliki piutang 5.000 poundsterling, tapi dibayar pakai rupiah dengan jumlah yang sama, yaitu Rp 5.000.

Yang terjadi adalah pemiskinan seluruh ahli waris Kesultanan Sulu, atau House of Kiram. Jumlah 5.300 koin emas Meksiko yang dibayarkan NBC mungkin setara dengan puluhan miliar rupiah pada saat ini. Sedangkan 5.300 ringgit saat ini sama dengan Rp 14.250.00.

Tidak ada lagi acara kumpul ahli waris untuk bagi-bagi uang sewa. Entah siapa yang menerima uang itu setiap tahun. Yang pasti, Malaysia hanya menyebut keturunan Sultan Jamalul Ahlam sebagai ahli waris dan berhak menerima uang sewa yang dibayarkan.

Sulit bagi keluarga-keluarga House of Kiram menjalani hidup tanpa pemasukan dari sewa Sabah. Beberapa keluarga, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terpaksa menjual properti; tanah, istana, atau pusaka-pusaka keluarga. Lainnya coba membuka usaha, tapi tak berhasil.

Di sisi lain, mereka dituntut menjaga tradisi kesultanan, melestarikan budaya yang dibangun nenek moyang mereka selama 500 tahun, dan membayar kesetiaan penduduk agar legitimasi mereka tidak luntur ditelan zaman. Semua itu sangat mahal.

Konflik di dalam House of Kiram yang seolah tak pernah usai mempercepat kehancuran Kesultanan Sulu sebagai entitas politik. Setelah kematian Jamalul Kiram II, dan dilanjutkan pembunuhan Mawallil Wasit – adik Jamalul Kiram II – Astana Putih terpecah menjadi dua faksi.

Faksi pertama dipimpin Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram – putri Sultan Badaruddin II. Kubu kedua dipimpin Dayang Dayang Tarhata Kiram, putrid Datu Atik Kiram – adik Badaruddin II. 

Ruma Bichara tidak menghendaki salah satu dari mereka naik tahhta, karena bertentangan dengan tradisi Tausug dan Islam. Dayang Dayang Piandao melakukan manuver politik. Ia megangkat Datu Ombra Amilbangsa, atau Amirul Umara I, sebagai sultan. Ruma Bichara keberatan, karena Amilbangsa bukan dari garis keturunan kerajaan.

Faksi Tarhata Kiram mengangkat Jainal Abirin II sebagai sultan. Ruma Bichara juga tidak mengakui, karena Abirin II bukan dari keluarga kerajaan tapi hanya keturunan datu.

Konflik ini terus berlanjut, karena kedua faksi mempertahankan klaimnya. Di sisi lain, Ruma Bichara mengangkat Sultan Punjungan Kiram II sebagai crown prince, dan menjalankan tugas-tugas kesultanan.

Manuel Quezon, presiden persemakmuran Filipina saat itu, melakukan intervensi. Dalam surat resminya ke House of Kiram, Quezon mengatakan Jamalul Kiram II adalah Sultan Sulu terkahir, dan Manila tidak lagi mengakui eksistensi Kesultanan Sulu.

Keputusan Quezon berakibat fatal. NBC menolak memberikan uang sewa Sabah kepada Kesultanan Sulu. Punjungan Kiram II mendatangi Konsul Jenderal Inggris di Manila untuk mengadukan nasibnya.

Inggris membujuk Punjungan Kiram II menempuh jalur hukum, dan meminta pengesahan Pengadilan Tinggi Borneo soal ahli waris atas Sabah. Tahun 1939, berdasarkan keputusan Pengadilan Tinggi Borneo Utara, NBC diharuskan membayar seluruh biaya sewa sejak 1936.


Minta Kenaikan

Selama bertahun-tahun, keluarga Kesultanan Sulu meminta Malaysia menaikan biaya sewa. Februari 1999, misalnya, Putri Denchurain Kiram – anak perempuan Tarhata Kiram – menulis surat ke PM Malaysia Mahathir Mohammad, meminta peningkatan biaya sewa tahunan atas Sabah. Surat tidak disampaikan langsung, tapi dikirim melalui mantan Presiden Filipina Joseph Estrada.

Sekian bulan Denchurain Kiram menunggu jawaban, tapi yang dinanti tak pernah tiba. September 2000, Denchurain Kiram meninggal dunia tanpa pernah membaca balasan atas suratnya kepada PM Mahathir Mohammad.

Jauh sebelumnya, saat Filipina diperintahPresiden Corazon Aquino, sejumlah pejabat tinggi Manila mengatakan Malaysia menawarkan kompensasi 70 juta dolar AS – Rp 665 miliar (dengan kurs saat ini) – kepada keluarga Kesultanan Sulu agar melepas hak kepemilikannya atas Sabah.

Seorang politisi, mengaku anggota keluarga Kesultanan Sulu dan ahli waris sah atas Sabah, memprotes dan menggagalkan pembicaraan. Tidak ada kabar apakah anggota keluarga Kesultanan Sulu lainnya melakukan hal serupa.

Malaysia terus berupaya mendapatkan kepemilikan penuh atas Sabah. Saat Filipina dipimpinan Presiden Fidel V Ramos, pejabat-pejabat Malaysia meminta Malacanang membujuk keluarga Kesultanan Sulu membentuk sebuah yayasan, yang akan mengatur penyaluran dana sewa Sabah untuk memperbaiki kehidupan komunitas Muslim di Mindanao.

Parouk Hussin, gubernur Kawasan Otonomi Muslim Mindanao (ARMM), mengatakan pembicaraan mandeg. Tidak ada kesepakatan yang dicapai, dan setelah itu tidak ada lagi pendekatan dari Malaysia.

Tahun 2001, Sultan Esmail Kiram II dan Taj Mahal Kiram Tarsum-Nuqui – Putri Denchurain – meminta Presiden Gloria Macapagal Arroyo menyampaikan suratnya ke PM Mahathir Mohammad. Dua tahun kemudian, surat dari ahli waris Kesultanan Sulu lainnya dikirim Arroyo ke Mahathir Mohammad.

Isi kedua surat relatif sama; meminta Kuala Lumpur menaikan harga sewa. Kuala Lumpur tidak pernah menjawab surat itu. Februari 2005, ahli waris Kesultanan Sulu lainnya menulis surat ke PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, tapi juga diabaikan.


Sabah Adalah Emas

Sekian lama sejak kematian Jamalul Kiram II, Kesultanan Sabah terkoyak. Pemerintah Filipina memecah domain Kesultanan Sulu menjadi beberapa propinsi. Tidak ada satu pun keluarga Kesultanan Sulu yang melakukan perlawanan. Bahkan beberapa anggota keluarga kesultanan duduk di parlemen Filipina sebagai wakil wilayah masing-masing.

Tahun 1970, ketika Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) memberontak dan berusaha memisahkan diri dari Filipina, Nur Misuari tidak pernah melibatkan keluarga Kesultanan Sulu. Almarhum Hashim Salamat dan Haji Murad, yang menyempal dari MNLF dan mendirikan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), juga tidak pernah menggunakan pengaruh keluarga sultan untuk membentuk pasukan.

Keduanya tidak berniat menghidupkan kembali Kesultanan Sulu, tapi membebaskan kawasan selatan Filipina dan membentuk republik di atasnya. Bedanya, yang satu berideologi Islam (MILF), lainnya sekuler (MNLF).

Ketika 1996 MNLF mencapai kesepakatan dengan Manila, dan mendapatkan kawasan propinsi – yang kemudian dipersatukan menjadi Kawasan Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) – Nur Misuari sebenarnya sedang merampok wilayah Kesultanan Sulu untuk dirinya. Terakhir, MILF berunding dengan Manila, dan akan mendapatkan wilayah ARMM plus beberapa propinsi di Pulau Mindanao.

MNLF dan MILF cenderung berusaha menghapus kata Sulu dari benak penduduk Muslim di selatan Filipina, yang menawarkan konsep Bangsamoro. Persoalan menjadi pelik ketika MNLF merasa kehilangan ARMM, wilayah yang diperolehnya dalam perjanjian damai 1996. Sedangkan MILF mendapatkan ARMM, plus sebagaian Pulau Palawan, serta sejumlah municipal, propinsi, dan barangay, serta beberapa lagi yang masih ditentukan lewat plebisit.

Bagi keluarga Kesultanan Sulu, wilayah politik nenek moyang mereka yang tersisa tinggal Sabah. Sebagai tanah sewa, Sabah tidak lagi menghasilkan 5.300 koin emas. Namun secara politik dan ekonomi, Sabah adalah keping emas terakhir yang ‘dimiliki’ Kesultanan Sulu.

Kini, Jamalul Kiram II berusaha merebutnya. Nur Misuari, yang kecewa dengan hasil perundingan Manila-MILF dan kehilangan wilayah, coba membantunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar