Tahun 1962, seperti tahun-tahun sebelumnya sejak
1939, keluaraga-keluarga ahli waris Sultan Jamalul Kiram II berkumpul di
Maimbung, ibu kota Kesultanan Sulu. Mereka adalah keluarga Sultan Punjungan
Kiram, Datu Esmail Kiram, Dayang Dayang Piandao Kiram, Dayang Dayang Sitti Rada
Kiram, Princess Tarhata Kiram, Princess Sakinur-In Kiram, Dayang Dayang Putli
Jahara Kiram, Dayang Dayang Sitti Mariam Kiram and Mora Napsa.
Mereka tidak sedang melakukan pertemuan untuk
membahas masa depan kesultanan, tapi membagi uang sewa Sabah yang dibayarkan North
Boreno Company (NBC), yang jumlahnya 5.300 koin emas Meksiko. Itu bukan jumlah
yang kecil, bukan hanya untuk ukuran saat itu, tapi juga saat ini.
Tidak ada yang tahu siapa memperoleh terbesar. Hakim
McKaskie, ketua Pengadilan Tinggi Borneo Utara yang menetapkan nama-nama ahli
waris Sultan Jamalul Kiram II, tidak menetapkan persentase bagian setiap orang
karena tidak ada yang bisa mengklaim layak mendapat terbanyak. Tidak terkecuali
Hajjah Dayang Dayang Piandao – keturunan langsung Sultan Badaruddin, yang
menyewakan Sabah ke NBC tahun 1878.
Koin emas itulah yang...
menghidupi keluarga-keluarga ahli waris Sultan Jamalul Kiram II sejak 1939. Mereka hidup sangat layak dibanding masyarakat Sulu yang miskin, dan terus miskin. Menyekolahkan anak-anak mereka ke Manila, atau ke luar negeri.
menghidupi keluarga-keluarga ahli waris Sultan Jamalul Kiram II sejak 1939. Mereka hidup sangat layak dibanding masyarakat Sulu yang miskin, dan terus miskin. Menyekolahkan anak-anak mereka ke Manila, atau ke luar negeri.
Ada yang tidak diketahui keluarga ahli waris Jamalul
Kiram II, setelah acara bagi-bagi koin di tahun 1962 selesai. Bahwa, itulah
koin emas terakhir yang mereka menikmati.
Tahun 1963, tidak ada lagi kiriman koin emas sewa
Sabah. NBC menolak membayar karena telah mengalihkan hak sewa Sabah telah ke
pemerintah Federasi Malaysia – negara bentukan Inggris yang mencaplok Sabah
berdasarkan referendum.
Sebagai ‘penyewa baru’, Malaysia menyatakan bersedia
membayar kepada ahli waris Jamalul Kiram II tapi tidak dalam bentuk koin emas.
Kuala Lumpur hanya mau membayar sewa, Malaysia menyebutnya cession money – atau uang penyerahan – dalam ringgit, yaitu sebesar
5.300 ringgit. Bayangkan jika Anda memiliki piutang 5.000 poundsterling, tapi
dibayar pakai rupiah dengan jumlah yang sama, yaitu Rp 5.000.
Yang terjadi adalah pemiskinan seluruh ahli waris
Kesultanan Sulu, atau House of Kiram.
Jumlah 5.300 koin emas Meksiko yang dibayarkan NBC mungkin setara dengan puluhan
miliar rupiah pada saat ini. Sedangkan 5.300 ringgit saat ini sama dengan Rp
14.250.00.
Tidak ada lagi acara kumpul ahli waris untuk
bagi-bagi uang sewa. Entah siapa yang menerima uang itu setiap tahun. Yang
pasti, Malaysia hanya menyebut keturunan Sultan Jamalul Ahlam sebagai ahli
waris dan berhak menerima uang sewa yang dibayarkan.
Sulit bagi keluarga-keluarga House of Kiram
menjalani hidup tanpa pemasukan dari sewa Sabah. Beberapa keluarga, untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terpaksa menjual properti; tanah, istana,
atau pusaka-pusaka keluarga. Lainnya coba membuka usaha, tapi tak berhasil.
Di sisi lain, mereka dituntut menjaga tradisi
kesultanan, melestarikan budaya yang dibangun nenek moyang mereka selama 500
tahun, dan membayar kesetiaan penduduk agar legitimasi mereka tidak luntur
ditelan zaman. Semua itu sangat mahal.
Konflik di dalam House of Kiram yang seolah tak
pernah usai mempercepat kehancuran Kesultanan Sulu sebagai entitas politik.
Setelah kematian Jamalul Kiram II, dan dilanjutkan pembunuhan Mawallil Wasit –
adik Jamalul Kiram II – Astana Putih terpecah menjadi dua faksi.
Faksi pertama dipimpin Hajjah Dayang Dayang Piandao
Kiram – putri Sultan Badaruddin II. Kubu kedua dipimpin Dayang Dayang Tarhata
Kiram, putrid Datu Atik Kiram – adik Badaruddin II.
Ruma Bichara tidak menghendaki salah satu dari
mereka naik tahhta, karena bertentangan dengan tradisi Tausug dan Islam. Dayang
Dayang Piandao melakukan manuver politik. Ia megangkat Datu Ombra Amilbangsa,
atau Amirul Umara I, sebagai sultan. Ruma Bichara keberatan, karena Amilbangsa
bukan dari garis keturunan kerajaan.
Faksi Tarhata Kiram mengangkat Jainal Abirin II
sebagai sultan. Ruma Bichara juga tidak mengakui, karena Abirin II bukan dari
keluarga kerajaan tapi hanya keturunan datu.
Konflik ini terus berlanjut, karena kedua faksi
mempertahankan klaimnya. Di sisi lain, Ruma Bichara mengangkat Sultan Punjungan
Kiram II sebagai crown prince, dan
menjalankan tugas-tugas kesultanan.
Manuel Quezon, presiden persemakmuran Filipina saat
itu, melakukan intervensi. Dalam surat resminya ke House of Kiram, Quezon
mengatakan Jamalul Kiram II adalah Sultan Sulu terkahir, dan Manila tidak lagi
mengakui eksistensi Kesultanan Sulu.
Keputusan Quezon berakibat fatal. NBC menolak
memberikan uang sewa Sabah kepada Kesultanan Sulu. Punjungan Kiram II
mendatangi Konsul Jenderal Inggris di Manila untuk mengadukan nasibnya.
Inggris membujuk Punjungan Kiram II menempuh jalur
hukum, dan meminta pengesahan Pengadilan Tinggi Borneo soal ahli waris atas
Sabah. Tahun 1939, berdasarkan keputusan Pengadilan Tinggi Borneo Utara, NBC
diharuskan membayar seluruh biaya sewa sejak 1936.
Minta
Kenaikan
Selama bertahun-tahun, keluarga Kesultanan Sulu
meminta Malaysia menaikan biaya sewa. Februari 1999, misalnya, Putri Denchurain
Kiram – anak perempuan Tarhata Kiram – menulis surat ke PM Malaysia Mahathir
Mohammad, meminta peningkatan biaya sewa tahunan atas Sabah. Surat tidak
disampaikan langsung, tapi dikirim melalui mantan Presiden Filipina Joseph
Estrada.
Sekian bulan Denchurain Kiram menunggu jawaban, tapi
yang dinanti tak pernah tiba. September 2000, Denchurain Kiram meninggal dunia
tanpa pernah membaca balasan atas suratnya kepada PM Mahathir Mohammad.
Jauh sebelumnya, saat Filipina diperintahPresiden
Corazon Aquino, sejumlah pejabat tinggi Manila mengatakan Malaysia menawarkan
kompensasi 70 juta dolar AS – Rp 665 miliar (dengan kurs saat ini) – kepada
keluarga Kesultanan Sulu agar melepas hak kepemilikannya atas Sabah.
Seorang politisi, mengaku anggota keluarga Kesultanan
Sulu dan ahli waris sah atas Sabah, memprotes dan menggagalkan pembicaraan.
Tidak ada kabar apakah anggota keluarga Kesultanan Sulu lainnya melakukan hal
serupa.
Malaysia terus berupaya mendapatkan kepemilikan
penuh atas Sabah. Saat Filipina dipimpinan Presiden Fidel V Ramos,
pejabat-pejabat Malaysia meminta Malacanang membujuk keluarga Kesultanan Sulu
membentuk sebuah yayasan, yang akan mengatur penyaluran dana sewa Sabah untuk
memperbaiki kehidupan komunitas Muslim di Mindanao.
Parouk Hussin, gubernur Kawasan Otonomi Muslim
Mindanao (ARMM), mengatakan pembicaraan mandeg. Tidak ada kesepakatan yang
dicapai, dan setelah itu tidak ada lagi pendekatan dari Malaysia.
Tahun 2001, Sultan Esmail Kiram II dan Taj Mahal
Kiram Tarsum-Nuqui – Putri Denchurain
– meminta Presiden Gloria Macapagal
Arroyo menyampaikan suratnya ke PM Mahathir Mohammad. Dua tahun kemudian, surat
dari ahli waris Kesultanan Sulu lainnya dikirim Arroyo ke Mahathir Mohammad.
Isi kedua surat relatif sama;
meminta Kuala Lumpur menaikan harga sewa. Kuala Lumpur tidak pernah menjawab
surat itu. Februari 2005, ahli waris Kesultanan Sulu lainnya menulis surat ke
PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, tapi juga diabaikan.
Sabah
Adalah Emas
Sekian lama sejak kematian Jamalul Kiram II,
Kesultanan Sabah terkoyak. Pemerintah Filipina memecah domain Kesultanan Sulu
menjadi beberapa propinsi. Tidak ada satu pun keluarga Kesultanan Sulu yang
melakukan perlawanan. Bahkan beberapa anggota keluarga kesultanan duduk di
parlemen Filipina sebagai wakil wilayah masing-masing.
Tahun 1970, ketika Front Pembebasan Nasional Moro
(MNLF) memberontak dan berusaha memisahkan diri dari Filipina, Nur Misuari
tidak pernah melibatkan keluarga Kesultanan Sulu. Almarhum Hashim Salamat dan
Haji Murad, yang menyempal dari MNLF dan mendirikan Front Pembebasan Islam Moro
(MILF), juga tidak pernah menggunakan pengaruh keluarga sultan untuk membentuk
pasukan.
Keduanya tidak berniat menghidupkan kembali
Kesultanan Sulu, tapi membebaskan kawasan selatan Filipina dan membentuk republik
di atasnya. Bedanya, yang satu berideologi Islam (MILF), lainnya sekuler
(MNLF).
Ketika 1996 MNLF mencapai kesepakatan dengan Manila,
dan mendapatkan kawasan propinsi – yang kemudian dipersatukan menjadi Kawasan
Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) – Nur Misuari sebenarnya sedang merampok wilayah
Kesultanan Sulu untuk dirinya. Terakhir, MILF berunding dengan Manila, dan akan
mendapatkan wilayah ARMM plus beberapa propinsi di Pulau Mindanao.
MNLF dan MILF cenderung berusaha menghapus kata Sulu
dari benak penduduk Muslim di selatan Filipina, yang menawarkan konsep
Bangsamoro. Persoalan menjadi pelik ketika MNLF merasa kehilangan ARMM, wilayah
yang diperolehnya dalam perjanjian damai 1996. Sedangkan MILF mendapatkan ARMM,
plus sebagaian Pulau Palawan, serta sejumlah municipal, propinsi, dan barangay,
serta beberapa lagi yang masih ditentukan lewat plebisit.
Bagi keluarga Kesultanan Sulu, wilayah politik nenek
moyang mereka yang tersisa tinggal Sabah. Sebagai tanah sewa, Sabah tidak lagi
menghasilkan 5.300 koin emas. Namun secara politik dan ekonomi, Sabah adalah
keping emas terakhir yang ‘dimiliki’ Kesultanan Sulu.
Kini, Jamalul Kiram II berusaha merebutnya. Nur
Misuari, yang kecewa dengan hasil perundingan Manila-MILF dan kehilangan
wilayah, coba membantunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar