Rabu, 10 April 2013

Oh! Miss Tjitjih





Ada kesibukan lebih di Gedung Miss Tjitjih dalam beberapa hari terakhir. Setiap pukul 14.00 sore, gedung – yang hanya diterangi beberapa lampu – riuh oleh aksi anggota kelompok sandiwara Miss Tjitjih dari berbagai usia.

Anak-anak berlatih menari. Orang-orang dewasa, pria dan wanita, melatih adegan perkelahian tangan kosong atau dengan senjata. Imas Darsih, sutradara Miss Tjitjih, sesekali member petunjuk.

“Kami sedang bersiap menggelar pertunjukan untuk televisi,” ujar Aip Muhammad, cucu Sayyed Aboe Bakar Bafaqih – lelaki keturunan Arab asal Bangil, Pasauruan, dan pendiri Mis Tjijtih.

Di depan Aip, Sambas Wijayakusuma -- pria berusia 34 tahun yang bekerja sebagai penata efek pertunjukan Miss Tjitjih – sibuk menggunting kertas dan membentuknya menjadi lingkaran seukuran koin pecahan Rp 500.

Ini kali ketiga Miss Tjitjih mendapatkan kontrak shooting pergelaran. Dibanding sebelumnya, kotrak shooting pertunjukan ini cukup banyak, yaitu 16 cerita.

“Saat masih disutradarai Maman Sutarman, kami memperoleh kontrak shooting 6 pergelaran. Lalu, Januari 2013 lalu, kami memperoleh 10,” ujar Aip Muhammad.

Bagi seluruh anggota Miss Tjitjih, shooting pergelaran dari TVRI adalah rejeki nomplok. Penghasilan yang diperoleh setiap individu jauh lebih besar dibanding dari pergelaran rutin yang dibiayai subsidi Pemprov DKI Jakarta Barat.

Sambas dan Aip enggan menyebut jumlah uang yang akan mereka terima dari shooting pertunjungan TVRI, tapi Karta dengan bangga mengatakan; “Januari 2013 lalu, saat Miss Tjitjih shooting 16 pergelaran, saya mendapat Rp 8 juta. Istri saya kebagian Rp 3 juta.”

Besaran uang yang diterima sangat tergantung pada seberapa banyak keterlibatan mereka dalam pertunjukan. Karta, alias Cimong, saat itu mendapat porsi lumayan.

Jika dibanding waktu shooting untuk TVRI, honor yang diterima setiap personel Miss Tjitjih terhitung lumayan. Untuk shooting 16 cerita, misalnya, diperjukan waktu kurang dari 15 hari.

“Bisa saja shooting satu hari satu cerita. Jika ingin cepat, bisa satu hari shooting dua cerita,” kata Karta.
Aip dan Sambas juga enggan menyebut jumlah honor yang diterima personel Miss Tjitjih dari pertunjukan rutin yang dibiayai Pemprov DKI Jakarta. Namun Ira Rahmawati (31), istri Sambas, mengatakan; “Kecil sekali, antara Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu.”

Karta punya penjelasan lebih menarik. Menurutnya, subsidi Pemprov DKI Jakarta adalah Rp 1,8 juta per pertunjukan. Jika pemain yang terlibat dalam pertunjukan cukup banyak, honor yang diterima jauh lebih kecil.

“Tidak sampai Rp 40 ribu,” ujar Karta. “Saya rata-rata hanya menerima Rp 35 ribu.”

Jumlah ini sangat tidak layak jika melihat besarnya subsidi Pemprov DKI Jakarta yang mencapai Rp 200 juta sampai Rp 300 juta per tahun. Lebih tidak layak lagi, subsidi untuk Pemprov DKI Jakarta hanya untuk membiayai 12 pertunjukan dalam enam bulan.

“Anggaran Pemprov DKI turun setiap tengah tahun. Sebelum anggaran turun, kami sama sekali tidak main,” ujar Karta.

Aip mengatakan sebagian besar anggaran dari Pemprov DKI Jakarta untuk pemeliharaan gedung. Namun jika Anda mengunjungi gedung Miss Tjitjih, mungkin kesan pertama yang muncul adalah gedung seolah tak terawat, semrawut, dengan cat di bagian atas terkelupas.

Hampir setiap hari, halaman depan dan belakang gedung dipenuhi kendaraan roda dua dan empat. Pengelola gedung tampaknya tahu benar mengeksploitasi fasilitas untuk memenuhi atau mencari tambahan bagi karyawan penjaga gedung.

Siapa Peduli?

Resminya, Miss Tjitjih memasuki industri panggung hiburan dengan pasar masyarakat Sunda di sekujur Batavia dan sekelilingnya pada 1928 – dua tahun setelah Sayyed Aboe Bakar Bafaqih membawa Nyi Tjitjih dari Sumedang.

Sebagai kelompok sandiwara dengan ceruk pasar terbatas, Miss Tjitjih relatif tidak populer di kalangan masyarakat multietnis. Mereka terkubur oleh reputasi Dardanella dan Miss Riboet Orion, yang kerap mengiklankan diri di koran-koran papan atas era 1920-an dan 1930-an setiap kali menggelar pertunjukan.

Namun, pilihan pada tradisi Sunda dan genre horor – hanya sesekali menggelar pertunjukan dengan Bahasa Melayu, misal jika mementaskan Nyai Dasima dan Halimah Pulang Kampung – membuat Miss Tjitjih mampu bertahan.

Mereka sempat mapan dengan gedung pertunjukan sendiri, yaitu di kawasan Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Namun setelah Aboe Bakar Bafaqih meninggal dunia, dan anak-anak mereka menuntut pembagian harta warisan, gedung pertunjukan terpaksa dijual.

Sayyed Harun Bafaqih, salah satu anak Aboe Bakar Bafaqih dari istri pertama, menyelamatkan Miss Tjitjih. Tahun 1974, Harun Bafaqih memindahkah Miss Tjitjih ke Angke, karena mendapat gedung di samping Stasiun Angke.

Ia harus memulai dari nol lagi, tapi dengan tidak mengubah format pertunjukan. Sebagai generasi penerus Miss Tjitjih, Harun Bafaqih terpenjara oleh keharusan mempertahankan tradisi kesundaan.

Rohidin mengatakan Harun Bafaqih tidak benar-benar gagal. Miss Tjitjih sempat kembali populer, meski sangat singkat. Di tahun 1980-an, misalnya, pertunjukan Miss Tjitjih sempat disaksikan masyarakat Sunda dari pinggiran Jakarta; Bekasi, Depok, dan Tangerang.

Ketika tahun 1987 muncul rencana pembangunan jalur ganda kereta api Tangerang-Jakarta, Miss Tjitjih harus pindah. Anehnya, pilihan lokasi baru sangat tidak menguntungkan, yaitu di Cempaka Baru.

“Kami tidak lagi berada di tengah masyarakat Sunda yang bermukim di Jakarta,” ujar Aip Muhammad.
Miss Tjitjih seperti sedang memfosilkan dirinya, atau sengaja difosilkan. Ia tidak ubahnya tradisi Betawi yang hilang dari masyarakatnya dan difosilkan di sebuah kawasan bernama Situ Babakan, Jakarta Selatan.

Satu hal yang membedakan Miss Tjitjih dari Situ Babakan adalah kelompok sandiwara ini masih menggelar pertunjukan. Namun semua itu hanya upaya pemerintah menjadikan Miss Tjitjih, lengkap dengan generasi kedua dan ketiga pemainnya, sebagai living heritage sejarah masyarakat Sunda di Jakarta.

Sebagai pusaka hidup, individu yang terlibat di dalam Miss Tjitjih mati-matian menjaga tradisi seraya menghadapi tuntutan menyambung hidup. Anehnya, mereka mampu melakukannya, meski uluran tangan pemerintah relatif setengah hati.

Sambas tidak mungkin hidup dari penghasilannya sebagai penata efek. Ia kerap menjadi penyedia ojek sepeda, yang nongkrong di ujung jalan. Karta, orang tua Sambas, justru lebih banyak mengojek untuk mengasapi dapur.

Di tengah keterbatasan ini, Karta masih memiliki keinginan membangkitkan Miss Tjitjih. “Kelak, jika saya punya uang saya akan coba membuat situs www.misstjitjih.com,” ujarnya.

Penonton Miss Tjitjih

Sempatkan menyaksikan pertunjukan rutin Miss Tjitjih. Anda mungkin hanya akan menemukan sepuluh atau 15 orang di sebuah gedung pertunjukan dengan ratusan kursi empuk sedikit mewah.

Pertanyaannya, apakah itu jumlah riil penggemar Miss Tjitjih. Jawabnya relatif, alias bisa ya, tapi juga bisa tidak.

Sepuluh atau 15 orang di dalam gedung Miss Tjitjih adalah jumlah riil penggemar fanatik kelompok sandiwara ini di Jakarta. Namun mengapa TVRI berani membuat shooting pertunjukan Miss Tjitjih sampai tiga kali, dengan jumlah lakon yang terus bertambah?

“Kami masih memiliki penggemar di luar Jakarta,” ujar Imas Darsih. “Kabar yang kami dengar orang-orang Sunda di kota-kota di Jawa Barat kerap menunggu pergelaran Miss Tjitjih.”

Anna Lestari (57), generasi yang lahir di lingkungan Miss Tjitjih, mengatakan orang TVRI mengatakan pernah ada permintaan pemirsa dari Lampung agar dialog Bahasa Sunda dalam pergelaran Miss Tjitjih diterjemahankan.

“Semacam ada teks terjemahan di bawahnya, seperti yang kita lihat dalam film-film Barat yang ditayangkan di televisi,” kata Anna Lestari.

Ini memperlihatkan Miss Tjitjih memang tidak lagi memiliki banyak penggemar di Jakarta, tapi punya bejibun penonton di kota-kota di Jawa Barat dan Lampung. Imas Darsih, sutradara Miss Tjitjih, yakin itulah masa depan Miss Tjitjih.

Namun, menurut Imas, Miss Tjitjih akan tetap setia pada kesundaan-nya. Ia yakin itu bukan sikap yang salah, karena saat ini mungkin Miss Tjitjih satu-satunya kelompok sandiwara Sunda yang tersisa.

“Jika kami menanggalkan kesundaan kami, apa bedanya Miss Tjitjih dengan teater modern,” ujar Imas.

Aip Muhammad mengatakan; “Jika Miss Tjitjih keluar dari kesundaan, dan tampil layaknya teater modern, mungkin kelompok sandiwara ini sudah tertelan zaman.” Aip juga yakin Miss Tjitjih akan mencapai usia seratus tahun.

Menurut Aip, orang-orang Sunda di sekujur Jakarta dan kota-kota yang tak jauh dari Jakarta tidak mungkin lagi menyambangi gedung Miss Tjitjih untuk menyaksikan pertunjukan. Situasinya sudah berbeda.

“Tahun 1980-an, puluhan orang dari Mauk, Tangerang, datang ke pertunjukan Miss Tjitjih dengan menggunakan truk,” kata Rohidin, bagian promosi Miss Tjitjih saat masih di Angke. “Kini, paling-paling penonton datang dengan anak-anaknya.”

Imas mengatakan itu masih lebih baik. Artinya, penggemar fanatik Miss Tjitjih juga sedang melakukan regenerasi. Mereka menumbuhkan kecintaan kepada Miss Tjitjih dan sandiwara Sunda.

“Penggemar riil Miss Tjitjih saat ini memang bukan lagi dari masyarakat Sunda di Jakarta, tapi di luar Jakarta,” ujar Imas. “Pokoknya, kami masih memiliki penggemar. Itulah yang membuat kami optimistis Miss Tjitjih masih akan bertahan dan melahirkan generasi berikutnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar