Ada kesibukan lebih di Gedung Miss Tjitjih dalam
beberapa hari terakhir. Setiap pukul 14.00 sore, gedung – yang hanya diterangi
beberapa lampu – riuh oleh aksi anggota kelompok sandiwara Miss Tjitjih dari
berbagai usia.
Anak-anak berlatih menari. Orang-orang dewasa, pria
dan wanita, melatih adegan perkelahian tangan kosong atau dengan senjata. Imas
Darsih, sutradara Miss Tjitjih, sesekali member petunjuk.
“Kami sedang bersiap menggelar pertunjukan untuk
televisi,” ujar Aip Muhammad, cucu Sayyed Aboe Bakar Bafaqih – lelaki keturunan
Arab asal Bangil, Pasauruan, dan pendiri Mis Tjijtih.
Di depan Aip, Sambas Wijayakusuma -- pria berusia 34
tahun yang bekerja sebagai penata efek pertunjukan Miss Tjitjih – sibuk
menggunting kertas dan membentuknya menjadi lingkaran seukuran koin pecahan Rp
500.
Ini kali ketiga Miss Tjitjih mendapatkan kontrak shooting pergelaran. Dibanding
sebelumnya, kotrak shooting
pertunjukan ini cukup banyak, yaitu 16 cerita.
“Saat masih disutradarai Maman Sutarman, kami
memperoleh kontrak shooting 6
pergelaran. Lalu, Januari 2013 lalu, kami memperoleh 10,” ujar Aip Muhammad.
Bagi seluruh anggota Miss Tjitjih, shooting pergelaran dari TVRI adalah
rejeki nomplok. Penghasilan yang diperoleh setiap individu jauh lebih besar
dibanding dari pergelaran rutin yang dibiayai subsidi Pemprov DKI Jakarta
Barat.
Sambas dan Aip enggan menyebut jumlah uang yang akan
mereka terima dari shooting pertunjungan TVRI, tapi Karta dengan bangga
mengatakan; “Januari 2013 lalu, saat Miss Tjitjih shooting 16 pergelaran, saya
mendapat Rp 8 juta. Istri saya kebagian Rp 3 juta.”
Besaran uang yang diterima sangat tergantung pada
seberapa banyak keterlibatan mereka dalam pertunjukan. Karta, alias Cimong,
saat itu mendapat porsi lumayan.
Jika dibanding waktu shooting untuk TVRI, honor yang
diterima setiap personel Miss Tjitjih terhitung lumayan. Untuk shooting 16 cerita, misalnya, diperjukan
waktu kurang dari 15 hari.
“Bisa saja shooting
satu hari satu cerita. Jika ingin cepat, bisa satu hari shooting dua cerita,”
kata Karta.
Aip dan Sambas juga enggan menyebut jumlah honor
yang diterima personel Miss Tjitjih dari pertunjukan rutin yang dibiayai
Pemprov DKI Jakarta. Namun Ira Rahmawati (31), istri Sambas, mengatakan; “Kecil
sekali, antara Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu.”
Karta punya penjelasan lebih menarik. Menurutnya,
subsidi Pemprov DKI Jakarta adalah Rp 1,8 juta per pertunjukan. Jika pemain
yang terlibat dalam pertunjukan cukup banyak, honor yang diterima jauh lebih
kecil.
“Tidak sampai Rp 40 ribu,” ujar Karta. “Saya
rata-rata hanya menerima Rp 35 ribu.”
Jumlah ini sangat tidak layak jika melihat besarnya
subsidi Pemprov DKI Jakarta yang mencapai Rp 200 juta sampai Rp 300 juta per
tahun. Lebih tidak layak lagi, subsidi untuk Pemprov DKI Jakarta hanya untuk
membiayai 12 pertunjukan dalam enam bulan.
“Anggaran Pemprov DKI turun setiap tengah tahun.
Sebelum anggaran turun, kami sama sekali tidak main,” ujar Karta.
Aip mengatakan sebagian besar anggaran dari Pemprov
DKI Jakarta untuk pemeliharaan gedung. Namun jika Anda mengunjungi gedung Miss
Tjitjih, mungkin kesan pertama yang muncul adalah gedung seolah tak terawat,
semrawut, dengan cat di bagian atas terkelupas.
Hampir setiap hari, halaman depan dan belakang
gedung dipenuhi kendaraan roda dua dan empat. Pengelola gedung tampaknya tahu
benar mengeksploitasi fasilitas untuk memenuhi atau mencari tambahan bagi
karyawan penjaga gedung.
Siapa
Peduli?
Resminya, Miss Tjitjih memasuki industri panggung
hiburan dengan pasar masyarakat Sunda di sekujur Batavia dan sekelilingnya pada
1928 – dua tahun setelah Sayyed Aboe Bakar Bafaqih membawa Nyi Tjitjih dari
Sumedang.
Sebagai kelompok sandiwara dengan ceruk pasar
terbatas, Miss Tjitjih relatif tidak populer di kalangan masyarakat multietnis.
Mereka terkubur oleh reputasi Dardanella dan Miss Riboet Orion, yang kerap
mengiklankan diri di koran-koran papan atas era 1920-an dan 1930-an setiap kali
menggelar pertunjukan.
Namun, pilihan pada tradisi Sunda dan genre horor –
hanya sesekali menggelar pertunjukan dengan Bahasa Melayu, misal jika
mementaskan Nyai Dasima dan Halimah Pulang Kampung – membuat Miss Tjitjih mampu
bertahan.
Mereka sempat mapan dengan gedung pertunjukan
sendiri, yaitu di kawasan Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Namun setelah Aboe
Bakar Bafaqih meninggal dunia, dan anak-anak mereka menuntut pembagian harta
warisan, gedung pertunjukan terpaksa dijual.
Sayyed Harun Bafaqih, salah satu anak Aboe Bakar
Bafaqih dari istri pertama, menyelamatkan Miss Tjitjih. Tahun 1974, Harun Bafaqih
memindahkah Miss Tjitjih ke Angke, karena mendapat gedung di samping Stasiun
Angke.
Ia harus memulai dari nol lagi, tapi dengan tidak
mengubah format pertunjukan. Sebagai generasi penerus Miss Tjitjih, Harun
Bafaqih terpenjara oleh keharusan mempertahankan tradisi kesundaan.
Rohidin mengatakan Harun Bafaqih tidak benar-benar
gagal. Miss Tjitjih sempat kembali populer, meski sangat singkat. Di tahun
1980-an, misalnya, pertunjukan Miss Tjitjih sempat disaksikan masyarakat Sunda
dari pinggiran Jakarta; Bekasi, Depok, dan Tangerang.
Ketika tahun 1987 muncul rencana pembangunan jalur
ganda kereta api Tangerang-Jakarta, Miss Tjitjih harus pindah. Anehnya, pilihan
lokasi baru sangat tidak menguntungkan, yaitu di Cempaka Baru.
“Kami tidak lagi berada di tengah masyarakat Sunda
yang bermukim di Jakarta,” ujar Aip Muhammad.
Miss Tjitjih seperti sedang memfosilkan dirinya,
atau sengaja difosilkan. Ia tidak ubahnya tradisi Betawi yang hilang dari
masyarakatnya dan difosilkan di sebuah kawasan bernama Situ Babakan, Jakarta
Selatan.
Satu hal yang membedakan Miss Tjitjih dari Situ
Babakan adalah kelompok sandiwara ini masih menggelar pertunjukan. Namun semua
itu hanya upaya pemerintah menjadikan Miss Tjitjih, lengkap dengan generasi
kedua dan ketiga pemainnya, sebagai living
heritage sejarah masyarakat Sunda di Jakarta.
Sebagai pusaka hidup, individu yang terlibat di
dalam Miss Tjitjih mati-matian menjaga tradisi seraya menghadapi tuntutan
menyambung hidup. Anehnya, mereka mampu melakukannya, meski uluran tangan
pemerintah relatif setengah hati.
Sambas tidak mungkin hidup dari penghasilannya
sebagai penata efek. Ia kerap menjadi penyedia ojek sepeda, yang nongkrong di
ujung jalan. Karta, orang tua Sambas, justru lebih banyak mengojek untuk mengasapi
dapur.
Di tengah keterbatasan ini, Karta masih memiliki
keinginan membangkitkan Miss Tjitjih. “Kelak, jika saya punya uang saya akan
coba membuat situs www.misstjitjih.com,”
ujarnya.
Penonton
Miss Tjitjih
Sempatkan menyaksikan pertunjukan rutin Miss
Tjitjih. Anda mungkin hanya akan menemukan sepuluh atau 15 orang di sebuah
gedung pertunjukan dengan ratusan kursi empuk sedikit mewah.
Pertanyaannya, apakah itu jumlah riil penggemar Miss
Tjitjih. Jawabnya relatif, alias bisa ya, tapi juga bisa tidak.
Sepuluh atau 15 orang di dalam gedung Miss Tjitjih
adalah jumlah riil penggemar fanatik kelompok sandiwara ini di Jakarta. Namun
mengapa TVRI berani membuat shooting
pertunjukan Miss Tjitjih sampai tiga kali, dengan jumlah lakon yang terus
bertambah?
“Kami masih memiliki penggemar di luar Jakarta,”
ujar Imas Darsih. “Kabar yang kami dengar orang-orang Sunda di kota-kota di
Jawa Barat kerap menunggu pergelaran Miss Tjitjih.”
Anna Lestari (57), generasi yang lahir di lingkungan
Miss Tjitjih, mengatakan orang TVRI mengatakan pernah ada permintaan pemirsa
dari Lampung agar dialog Bahasa Sunda dalam pergelaran Miss Tjitjih
diterjemahankan.
“Semacam ada teks terjemahan di bawahnya, seperti
yang kita lihat dalam film-film Barat yang ditayangkan di televisi,” kata Anna
Lestari.
Ini memperlihatkan Miss Tjitjih memang tidak lagi
memiliki banyak penggemar di Jakarta, tapi punya bejibun penonton di kota-kota
di Jawa Barat dan Lampung. Imas Darsih, sutradara Miss Tjitjih, yakin itulah
masa depan Miss Tjitjih.
Namun, menurut Imas, Miss Tjitjih akan tetap setia
pada kesundaan-nya. Ia yakin itu bukan sikap yang salah, karena saat ini
mungkin Miss Tjitjih satu-satunya kelompok sandiwara Sunda yang tersisa.
“Jika kami menanggalkan kesundaan kami, apa bedanya
Miss Tjitjih dengan teater modern,” ujar Imas.
Aip Muhammad mengatakan; “Jika Miss Tjitjih keluar
dari kesundaan, dan tampil layaknya teater modern, mungkin kelompok sandiwara
ini sudah tertelan zaman.” Aip juga yakin Miss Tjitjih akan mencapai usia
seratus tahun.
Menurut Aip, orang-orang Sunda di sekujur Jakarta
dan kota-kota yang tak jauh dari Jakarta tidak mungkin lagi menyambangi gedung
Miss Tjitjih untuk menyaksikan pertunjukan. Situasinya sudah berbeda.
“Tahun 1980-an, puluhan orang dari Mauk, Tangerang,
datang ke pertunjukan Miss Tjitjih dengan menggunakan truk,” kata Rohidin,
bagian promosi Miss Tjitjih saat masih di Angke. “Kini, paling-paling penonton
datang dengan anak-anaknya.”
Imas mengatakan itu masih lebih baik. Artinya,
penggemar fanatik Miss Tjitjih juga sedang melakukan regenerasi. Mereka
menumbuhkan kecintaan kepada Miss Tjitjih dan sandiwara Sunda.
“Penggemar riil Miss Tjitjih saat ini memang bukan
lagi dari masyarakat Sunda di Jakarta, tapi di luar Jakarta,” ujar Imas.
“Pokoknya, kami masih memiliki penggemar. Itulah yang membuat kami optimistis
Miss Tjitjih masih akan bertahan dan melahirkan generasi berikutnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar