Rabu, 10 April 2013

Regenerasi di Rumah Petak


Sempatkan berkunjung ke Gedung Miss Tjitjih, dan cobalah sesekali menyambangi bagian belakangnya. Ada rumah susun dua lantai berdinding batako, dengan dua puluh unit ruang tinggal untuk 25 kepala keluarga (KK) dengan lebih 100 jiwa. Di tempat inilah regenerasi kelompok sandiwara Miss Tjitjih berlangsung.

Permukiman anggota kelompok sandiwara Miss Tjitjih seolah eksklusif, karena berada di dalam Kompleks Gedung Miss Tjitjih, dan dipisahkan dari pemukiman lain oleh tembok. Permukiman Miss Tjitjih, sebut saja begitu, termasuk ke dalam rukun warga (RT) 02, tapi – berkat kebijakan pemerintah setempat – memiliki rukun tetangga (RT) sendiri, yaitu RT 13.

Jika Anda sempat mengunjungi permukiman ini, terdapat tulisan besar; RT13/02 Miss Tjitjih, tepat di depan rusun dua lantai itu. Permukiman hanya memiliki satu akses masuk dan keluar, yaitu dari samping Gedung Miss Tjitjih.

Lebih eksklusif lagi, bahasa yang digunakan kelompok ini adalah Sunda, meski beberapa dari mereka tidak berlatar Sunda. Karta (62), alias Cimong, misalnya asli Betawi tapi tidak lagi berbicara dalam bahasa ibunya. Ira Rahmawati keturunan Ciamis-Yogyakarta yang lahir di Jakarta, tapi kini lebih banyak berbicara dalam Bahasa Sunda.

Regenerasi berlangsung secara alami, dengan melatih anak-anak mereka sebagai penari, pemain musik (nayaga), penyanyi lagu-lagu sunda, pemain sandiwara, atau membantu pengerjaan dekorasi panggung. Memang tidak berlangsung setiap hari, tapi sangat intensif jelang pertunjukan, dan pada pekan-pekan terakhir ini karena Miss Tjitjih akan menghadapi shooting 16 lakon untuk TVRI.

Anna Lestari, wanita usia 52 tahun yang biasa dipanggil Nana, lahir di lingkungan Miss Tjitjih saat kelompok sandiwara itu memiliki gedung pertunjukan sendiri di Kramat Raya, tidak jauh dari Bioskop Rivoli. Ia mengikuti jejak kedua orangtuanya sebagai pemain sandiwara Miss Tjitjih.

“Kini, dua dari tujuh anak saya terlibat aktif di Miss Tjitjih sebagai pemain dan penari,” ujar Nana.

Karta, tukang koran yang menjadi anggota Miss Tjitjih sejak di Kramat Raya, menanamkan kecintaan terhadap Miss Tjitjih kepada satu dari dua anaknya. Sambas Wijayakusuma, anak Karta, menikah dengan Ira Rahmawati – perempuan yang tidak memiliki pengetahuan teater tapi kini memperkuat Miss Tjitjih.

Pasangan Sambas dan Ira dikaruniai dua anak, dan keduanya mulai aktif berlatih teater dengan anak-anak di lingkungan Miss Tjitjih. Sedangkan Karta dan istrinya belum ingin pensiun dari panggung sandiwara, dan menghabiskan hidup layaknya orang lanjut usia.

“Saya masih ingin bermain selama masih dibutuhkan,” ujar Karta.

Senada dengan Karta, Boyot (60) – suami Anna Lestari – juga bersikap sama. Ia adalah generasi kedua Miss Tjitjih. Boyot berharap dilibatkan dalam satu atau dua lakon dari 16 lakon yang akan ditayangkan TVRI.

Aip Muhammad Bafaqih, cucu Sayyed Aboe Bakar Bafaqih – pendiri Miss Tjitjih – juga melakukan regenerasi. Jika sebelumnya dia mendidik anak-anaknya untuk mencintai Miss Tjitjih, kini lelaki usia 71 tahun itu mendidik dua cucunya untuk terlibat dalam kelompok teater sang kakek.


Terpelihara

Ketika masih bernama Opera Valencia, kelompok bentukan Sayyed Aboe Bakar Bafaqih ini tidak berbeda dengan kelompok lain; Dardanella, Miss Riboet Orion, atau Bintang Soerabaja. Namun setelah menjadi Sandiwara Miss Tjitjih, kelompok ini membangun ikatan kekeluargaan yang kuat diantara para anggotanya.

Dardanella dan Miss Riboet Orion memang lebih profesional, dengan pangsa pasar – penutur Bahasa Melayu – yang lebih luas. Namun anggota kedua kelompok itu relatif tidak memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, rawan konflik, dan kerap dihantui kemungkinan eksodus pemain dan penulis naskah.

Ini terbukti ketika Miss Riboet Orion mengakhiri perjalanan sejarahnya setelah Fifi Young, Njoo Cheong Seng, dan sejumlah pemain besarnya, pindah ke Dardanella tahun 1934. Tiba-tiba, Dardanella menjadi kelompok sandiwara Melayu terbesar, dengan kemampuan manggung keliling sampai ke luar batas negara.

Tahun 1935 mereka mengadakan tur Asia. Namun saat tur inilah terjadi perpecahan. Devi Dja dan A Piedro, keduanya suami istri, memutuskan melanjutkan perjalanan sampai ke Eropa. Lainnya; Andjar Asmara dan istri, memilih pulang. Fifi Young dan Njoo Cheong Seng juga memutuskan keluar dari Dardanella.

Sesampai di Batavia masing-masing mendirikan kelompok baru. Andjar Asmara mendirikan Bolero. Fifi Young membentuk Fifi Young’s Pagoda. Namun keduanya tidak berusia lama, karena dunia film lebih menjanjikan secara finansial, dan mereka memasuki dunia itu.

Miss Tjitjih menjadi satu-satunya kelompok sandiwara dari periode 1920-an yang tak lenyap diterpa zaman. Bahkan setelah terguncang akibat kematian Miss Tjitjih, kelompok ini mampu bertahan dengan baik, dan melakukan regenerasi secara alami.

Regenerasi pertama terjadi saat Miss Tjitjih masih melakukan perjalanan keliling. Proses ini terus berlanjut sampai mereka menetap kali pertama ke Jl Kramat Raya, dekat bioskop Rivoli, sampai 1974, pindah ke samping Stasiun Angke, Jakarta Barat, dan kini di Cempaka Baru, Jakarta Pusat.

Sebelum menetap, Miss Tjitjih tidak ubahnya masyarakat Gypsy di Eropa. Mereka adalah komunitas sandiwara nomaden. Mereka menghabiskan waktu di panggung dan perjalanan.

Setelah menetap, mereka menjadi koloni tersendiri, dan terpisah dari lingkungan tempatnya bermukim. Saat di Kramat Raya, misalnya, mereka tinggal di rumah-rumah petak di belakang gedung pertunjukan.

Di Angke, mereka membangun rumah-rumah semi-permanen di sekeliling gedung pertunjukan. Rumah-rumah itu hanya untuk mereka yang telah berkeluarga. Para lelaki bujangan diharuskan tidur di gedung pertunjunkan, dengan risiko dikeroyok nyamuk.

Di Cempaka Baru, semula mereka juga hanya diberi tanah kosong tepat di belakang gedung pertunjukan. Di tempat itu mereka membangun rumah-rumah gubuk untuk sekadar berteduh saat malam dan hujan.

Tahun 1997, Gedung Miss Tjitjih terbakar. Selama tujuh tahun Miss Tjitjih vakum, karena pembangunan kembali gedung itu baru selesai 2004. Bersamaan dengan pembangunan gedung itu, sebuah rumah susun untuk keluarga pemainnya dibantun.

“Setiap orang di Miss Tjitjih melakukan regenerasi,” ujar Imas Darsih, sang sturadara. “Saya, misalnya, kini sedang mempersiapkan satu orang untuk menjadi pengganti saya, dan mempersiapkan beberapa cucu untuk menjadi pemain sandiwara.”

Aip Muhammad Bafaqih, cucu Aboe Bakar Bafaqih, juga melakukan hal yang sama. Memang tidak seluruh dari tujuh anak Aip Muhammad mengikuti jejaknya. Bahkan, kebanyakan anak-anak Aip Muhammad juga tinggal di luar lingkungan Miss Tjitjih.

Salah seorang adik Imas juga memutuskan pergi dari lingkungan Miss Tjitjih, karena kian sempitnya permukiman kecil itu. Namun, menurut Imas, siapa pun yang berasal dari Miss Tjitjih akan terpanggil untuk membantu jika diperlukan.


Konflik

Saat berlatih untuk shooting pergelaran, hampir seluruh penghuni rumah susun itu tumplek di ‘kelas’ – sebutan untuk bagian depan panggung di gedung pertunjukan. Sambas dan Ira, misalnya, tidak merasa canggung melakukan latihan perkelahian bersama.

Sambas sering memperbaiki gerakan sang istri, dan sang istri menaati seraya bercanda. Di atas panggung, dua remaja putri berlatih akrobat, agar kelak adegan perkelahian menjadi menarik. Tidak jauh dari tempatnya, Imas memberikan instruksi dalam Bahasa Sunda.

Karta dan Boyot, saat Republika melihat latihan mereka, belum kebagian porsi latihan untuk perannya. Menurut Karta, dirinya mungkin hanya perlu mengingat lagi adegan yang akan dimainkan, karena naskah yang akan dipentaskan telah dikenalnya.

“Kami akan menampilkan cerita-cerita tentang kerajaan. Kami menyebutnya cerita babad,” ujar Karta, seraya menghisap kreteknya dalam-dalam.

Nana tidak tahu apakah akan mendapat peran. Jika sutradara menunjuknya, Nana merasa siap. Ia kemungkinan akan bermain dengan dua putrinya yang sudah menikah. Ira juga tidak canggung bermain dengan Ira.

Seolah tidak ada konflik intern yang mengancam eksistensi Miss Tjitjih. Karta dan Boyot membantah asumsi itu. Menurut keduanya, konflik itu selalu ada, terutama dalam soal pembagian rejeki.

“Siapa bilang tidak ada konflik di sini,” ujarnya. “Konflik selalu ada, tapi memang tidak meruncing, dan mengancam keretakan keluarga besar Miss Tjitjih.”

Jika ada yang tidak puas dengan besaran honor yang diterima, akan selalu ada pihak yang memberi pemahaman. Karta mengaku sering melakukan hal itu. Jika diberi penjelasan, dan tetap berkeras tidak mau mengerti, sikap yang diambil setiap individu adalah mendiamkan orang yang sedang bermasalah.
“Hanya itu yang kami bisa lakukan,” demikian Karta.

Menurut Boyot, jika ada saat-saat Miss Tjitjih terancam bubar terjadi ketika sebagian besar pemainnya pindah ke Sri Wangi – kelompok sandiwara asal Cileungsi, Bogor – di tahun 1970-an. Itu tidak lama. Sri Wangi berumur singkat, dan semua pemain eks Miss Tjitjih kembali ke Kramat Raya.

Konflik dan merosotnya popularitas Miss Tjitjih tidak membuat regenerasi kelompok ini mandeg. Akan selalu ada anak-anak pemain Miss Tjitjih yang muncul menjadi pengganti orang tua mereka.

Namun, Miss Tjitjih tidak pernah melahirkan sosok yang mampu membawa perubahan fundamental di kelompok ini. Kebanyakan anak-anak Miss Tjitjih tidak berupaya menempa diri di kelompok teater modern, atau menempuh pendidikan teater di sekolah formal, lalu diantara mereka kembali dengan gagasan-gagasan baru untuk mengembangkan Miss Tjitjih.

Miss Tjitjih seolah bertahan dengan kemampuannya melakukan regenerasi alami, tanpa pernah memiliki figur yang memiliki later belakang akademik yang mumpuni. Padahal, itulah yang diperlukan agar sebuah komunitas sandiwara bisa hidup di setiap era berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar