Sempatkan berkunjung ke Gedung Miss Tjitjih, dan
cobalah sesekali menyambangi bagian belakangnya. Ada rumah susun dua lantai
berdinding batako, dengan dua puluh unit ruang tinggal untuk 25 kepala keluarga
(KK) dengan lebih 100 jiwa. Di tempat inilah regenerasi kelompok sandiwara Miss
Tjitjih berlangsung.
Permukiman anggota kelompok sandiwara Miss Tjitjih
seolah eksklusif, karena berada di dalam Kompleks Gedung Miss Tjitjih, dan
dipisahkan dari pemukiman lain oleh tembok. Permukiman Miss Tjitjih, sebut saja
begitu, termasuk ke dalam rukun warga (RT) 02, tapi – berkat kebijakan
pemerintah setempat – memiliki rukun tetangga (RT) sendiri, yaitu RT 13.
Jika Anda sempat mengunjungi permukiman ini,
terdapat tulisan besar; RT13/02 Miss Tjitjih, tepat di depan rusun dua lantai
itu. Permukiman hanya memiliki satu akses masuk dan keluar, yaitu dari samping
Gedung Miss Tjitjih.
Lebih eksklusif lagi, bahasa yang digunakan kelompok
ini adalah Sunda, meski beberapa dari mereka tidak berlatar Sunda. Karta (62),
alias Cimong, misalnya asli Betawi tapi tidak lagi berbicara dalam bahasa
ibunya. Ira Rahmawati keturunan Ciamis-Yogyakarta yang lahir di Jakarta, tapi
kini lebih banyak berbicara dalam Bahasa Sunda.
Regenerasi berlangsung secara alami, dengan melatih anak-anak
mereka sebagai penari, pemain musik (nayaga), penyanyi lagu-lagu sunda, pemain
sandiwara, atau membantu pengerjaan dekorasi panggung. Memang tidak berlangsung
setiap hari, tapi sangat intensif jelang pertunjukan, dan pada pekan-pekan
terakhir ini karena Miss Tjitjih akan menghadapi shooting 16 lakon untuk TVRI.
Anna Lestari, wanita usia 52 tahun yang biasa
dipanggil Nana, lahir di lingkungan Miss Tjitjih saat kelompok sandiwara itu
memiliki gedung pertunjukan sendiri di Kramat Raya, tidak jauh dari Bioskop
Rivoli. Ia mengikuti jejak kedua orangtuanya sebagai pemain sandiwara Miss
Tjitjih.
“Kini, dua dari tujuh anak saya terlibat aktif di
Miss Tjitjih sebagai pemain dan penari,” ujar Nana.
Karta, tukang koran yang menjadi anggota Miss
Tjitjih sejak di Kramat Raya, menanamkan kecintaan terhadap Miss Tjitjih kepada
satu dari dua anaknya. Sambas Wijayakusuma, anak Karta, menikah dengan Ira
Rahmawati – perempuan yang tidak memiliki pengetahuan teater tapi kini
memperkuat Miss Tjitjih.
Pasangan Sambas dan Ira dikaruniai dua anak, dan
keduanya mulai aktif berlatih teater dengan anak-anak di lingkungan Miss
Tjitjih. Sedangkan Karta dan istrinya belum ingin pensiun dari panggung
sandiwara, dan menghabiskan hidup layaknya orang lanjut usia.
“Saya masih ingin bermain selama masih dibutuhkan,”
ujar Karta.
Senada dengan Karta, Boyot (60) – suami Anna Lestari
– juga bersikap sama. Ia adalah generasi kedua Miss Tjitjih. Boyot berharap
dilibatkan dalam satu atau dua lakon dari 16 lakon yang akan ditayangkan TVRI.
Aip Muhammad Bafaqih, cucu Sayyed Aboe Bakar Bafaqih
– pendiri Miss Tjitjih – juga melakukan regenerasi. Jika sebelumnya dia
mendidik anak-anaknya untuk mencintai Miss Tjitjih, kini lelaki usia 71 tahun
itu mendidik dua cucunya untuk terlibat dalam kelompok teater sang kakek.
Terpelihara
Ketika masih bernama Opera Valencia, kelompok
bentukan Sayyed Aboe Bakar Bafaqih ini tidak berbeda dengan kelompok lain;
Dardanella, Miss Riboet Orion, atau Bintang Soerabaja. Namun setelah menjadi
Sandiwara Miss Tjitjih, kelompok ini membangun ikatan kekeluargaan yang kuat
diantara para anggotanya.
Dardanella dan Miss Riboet Orion memang lebih
profesional, dengan pangsa pasar – penutur Bahasa Melayu – yang lebih luas.
Namun anggota kedua kelompok itu relatif tidak memiliki ikatan kekeluargaan
yang kuat, rawan konflik, dan kerap dihantui kemungkinan eksodus pemain dan
penulis naskah.
Ini terbukti ketika Miss Riboet Orion mengakhiri
perjalanan sejarahnya setelah Fifi Young, Njoo Cheong Seng, dan sejumlah pemain
besarnya, pindah ke Dardanella tahun 1934. Tiba-tiba, Dardanella menjadi
kelompok sandiwara Melayu terbesar, dengan kemampuan manggung keliling sampai
ke luar batas negara.
Tahun 1935 mereka mengadakan tur Asia. Namun saat
tur inilah terjadi perpecahan. Devi Dja dan A Piedro, keduanya suami istri,
memutuskan melanjutkan perjalanan sampai ke Eropa. Lainnya; Andjar Asmara dan
istri, memilih pulang. Fifi Young dan Njoo Cheong Seng juga memutuskan keluar
dari Dardanella.
Sesampai di Batavia masing-masing mendirikan
kelompok baru. Andjar Asmara mendirikan Bolero. Fifi Young membentuk Fifi
Young’s Pagoda. Namun keduanya tidak berusia lama, karena dunia film lebih
menjanjikan secara finansial, dan mereka memasuki dunia itu.
Miss Tjitjih menjadi satu-satunya kelompok sandiwara
dari periode 1920-an yang tak lenyap diterpa zaman. Bahkan setelah terguncang
akibat kematian Miss Tjitjih, kelompok ini mampu bertahan dengan baik, dan
melakukan regenerasi secara alami.
Regenerasi pertama terjadi saat Miss Tjitjih masih
melakukan perjalanan keliling. Proses ini terus berlanjut sampai mereka menetap
kali pertama ke Jl Kramat Raya, dekat bioskop Rivoli, sampai 1974, pindah ke
samping Stasiun Angke, Jakarta Barat, dan kini di Cempaka Baru, Jakarta Pusat.
Sebelum menetap, Miss Tjitjih tidak ubahnya
masyarakat Gypsy di Eropa. Mereka adalah komunitas sandiwara nomaden. Mereka
menghabiskan waktu di panggung dan perjalanan.
Setelah menetap, mereka menjadi koloni tersendiri,
dan terpisah dari lingkungan tempatnya bermukim. Saat di Kramat Raya, misalnya,
mereka tinggal di rumah-rumah petak di belakang gedung pertunjukan.
Di Angke, mereka membangun rumah-rumah semi-permanen
di sekeliling gedung pertunjukan. Rumah-rumah itu hanya untuk mereka yang telah
berkeluarga. Para lelaki bujangan diharuskan tidur di gedung pertunjunkan,
dengan risiko dikeroyok nyamuk.
Di Cempaka Baru, semula mereka juga hanya diberi
tanah kosong tepat di belakang gedung pertunjukan. Di tempat itu mereka
membangun rumah-rumah gubuk untuk sekadar berteduh saat malam dan hujan.
Tahun 1997, Gedung Miss Tjitjih terbakar. Selama
tujuh tahun Miss Tjitjih vakum, karena pembangunan kembali gedung itu baru
selesai 2004. Bersamaan dengan pembangunan gedung itu, sebuah rumah susun untuk
keluarga pemainnya dibantun.
“Setiap orang di Miss Tjitjih melakukan regenerasi,”
ujar Imas Darsih, sang sturadara. “Saya, misalnya, kini sedang mempersiapkan
satu orang untuk menjadi pengganti saya, dan mempersiapkan beberapa cucu untuk
menjadi pemain sandiwara.”
Aip Muhammad Bafaqih, cucu Aboe Bakar Bafaqih, juga
melakukan hal yang sama. Memang tidak seluruh dari tujuh anak Aip Muhammad
mengikuti jejaknya. Bahkan, kebanyakan anak-anak Aip Muhammad juga tinggal di
luar lingkungan Miss Tjitjih.
Salah seorang adik Imas juga memutuskan pergi dari
lingkungan Miss Tjitjih, karena kian sempitnya permukiman kecil itu. Namun,
menurut Imas, siapa pun yang berasal dari Miss Tjitjih akan terpanggil untuk
membantu jika diperlukan.
Konflik
Saat berlatih untuk shooting pergelaran, hampir
seluruh penghuni rumah susun itu tumplek di ‘kelas’ – sebutan untuk bagian
depan panggung di gedung pertunjukan. Sambas dan Ira, misalnya, tidak merasa
canggung melakukan latihan perkelahian bersama.
Sambas sering memperbaiki gerakan sang istri, dan
sang istri menaati seraya bercanda. Di atas panggung, dua remaja putri berlatih
akrobat, agar kelak adegan perkelahian menjadi menarik. Tidak jauh dari
tempatnya, Imas memberikan instruksi dalam Bahasa Sunda.
Karta dan Boyot, saat Republika melihat latihan mereka, belum kebagian porsi latihan
untuk perannya. Menurut Karta, dirinya mungkin hanya perlu mengingat lagi
adegan yang akan dimainkan, karena naskah yang akan dipentaskan telah
dikenalnya.
“Kami akan menampilkan cerita-cerita tentang
kerajaan. Kami menyebutnya cerita babad,” ujar Karta, seraya menghisap
kreteknya dalam-dalam.
Nana tidak tahu apakah akan mendapat peran. Jika
sutradara menunjuknya, Nana merasa siap. Ia kemungkinan akan bermain dengan dua
putrinya yang sudah menikah. Ira juga tidak canggung bermain dengan Ira.
Seolah tidak ada konflik intern yang mengancam
eksistensi Miss Tjitjih. Karta dan Boyot membantah asumsi itu. Menurut
keduanya, konflik itu selalu ada, terutama dalam soal pembagian rejeki.
“Siapa bilang tidak ada konflik di sini,” ujarnya.
“Konflik selalu ada, tapi memang tidak meruncing, dan mengancam keretakan
keluarga besar Miss Tjitjih.”
Jika ada yang tidak puas dengan besaran honor yang
diterima, akan selalu ada pihak yang memberi pemahaman. Karta mengaku sering
melakukan hal itu. Jika diberi penjelasan, dan tetap berkeras tidak mau mengerti,
sikap yang diambil setiap individu adalah mendiamkan orang yang sedang
bermasalah.
“Hanya itu yang kami bisa lakukan,” demikian Karta.
Menurut Boyot, jika ada saat-saat Miss Tjitjih
terancam bubar terjadi ketika sebagian besar pemainnya pindah ke Sri Wangi –
kelompok sandiwara asal Cileungsi, Bogor – di tahun 1970-an. Itu tidak lama.
Sri Wangi berumur singkat, dan semua pemain eks Miss Tjitjih kembali ke Kramat
Raya.
Konflik dan merosotnya popularitas Miss Tjitjih
tidak membuat regenerasi kelompok ini mandeg. Akan selalu ada anak-anak pemain
Miss Tjitjih yang muncul menjadi pengganti orang tua mereka.
Namun, Miss Tjitjih tidak pernah melahirkan sosok
yang mampu membawa perubahan fundamental di kelompok ini. Kebanyakan anak-anak
Miss Tjitjih tidak berupaya menempa diri di kelompok teater modern, atau
menempuh pendidikan teater di sekolah formal, lalu diantara mereka kembali
dengan gagasan-gagasan baru untuk mengembangkan Miss Tjitjih.
Miss Tjitjih seolah bertahan dengan kemampuannya
melakukan regenerasi alami, tanpa pernah memiliki figur yang memiliki later
belakang akademik yang mumpuni. Padahal, itulah yang diperlukan agar sebuah
komunitas sandiwara bisa hidup di setiap era berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar