Opera Dardanella punya Devi Dja, atau Miss Dja.
Orion, kelompok sandiwara lainnya, punya Miss Riboet. Opera Valencia tidak memiliki
ikon yang mampu meningkatkan nilai jual sandiwara di tengah khalayak Batavia.
Sayyed Aboe Bakar Bafaqih, orang Arab kelahiran
Bangil, Pasuruan, Jawa Timur,berpikir keras untuk mengatasi masalah ini. Ia
sadar Opera Valencia tidak mungkin bersaing dengan Dardanella dan Orion – yang
kemudian berganti nama menjadi Miss Riboet Orion – tanpa sripanggung yang bisa
dijual.
Sepanjang 1926, Bafaqih menyambangi kota-kota di
Jawa Barat dan meyaksikan pergelaran sandiwara dari satu ke lain panggung
pertunjukan. Tidak diketahui sampai berapa lama Bafaqih melakukan semua ini.
Yang pasti, pencarian sri panggung berhenti di
sebuah pergeralan sandiwara tradisional Sunda di Sumedang. Bafaqih terpesona
pada penampilan seorang gadis belia berusia 16 tahun, yang menjadi ikon
pertunjukan itu.
Tjitjih, demikian nama gadis belia itu, baru beusia
15 tahun. Ia pandai menari, menyanyi, dan memiliki pesona sebagai sri panggung.
Ia menyihir ratusan penonton pertunjukan, dan menjadi buah bibir masyarakat
penggemar sandiwara tradisional Sunda di Sumedang.
Bafaqih tidak butuh pertimbangan apa pun untuk
‘melamar’ sri panggung kampung, dan dibawa ke Batavia. Ia mendekati Tjitjih,
menawarkan impian menjadi ikon pertunjukan di sebuah kota besar, dan kesempatan
manggung dari satu ke lain kota.
Oang tua Tjitjih tak keberatan melepas anaknya ke
Batavia. Tjitjih sempat ragu, karena dia tidak bisa berbahasa Melayu, dan
kemampuan bergaul dengan orang-orang berbagai etnis. Bafaqih terus meyakinkan.
Sebelum kedatangan Nyi Tjitjih, demikian Tjitjih
dipanggil penggemarnya di Sumedang, Opera Valencia memainkan sandiwara
berbahasa Melayu. Mereka berkeliling dari satu ke lain kampung di sekitar
Batavia, dan hanya sesekali merambahkan ke luar kota.
Meski bukan berada di arus utama industri panggung
hiburan saat itu, Opera Valencia relatif dikenal masyarakat kelas menengah ke
bawah dan disukai masyarakat Belanda dan kaum Indisch.
Hanya
10 Tahun
Tidak sulit bagi Tjitjih untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru. Ia kerap mewarnai pementasan Operas Valencia dengan
kemampuannya menarik, menari, dan berakting.
“Satu hal yang sulit dilakukan Miss Tjitjih, yaitu mengubah
kebiasaannya berbahasa Sunda, dan belajar Bahasa Melayu,” ujar Aip Muhammad
Bafaqih, cucu Aboe Bakar Bafaqih.
Menurut Aip, Aboe Bakar Bafaqih berusaha keras
mengajarkan Tjitjih berbicara dalam Bahasa Melayu tapi sang mojang Sumedang
tetap kesulitan. Meski demikian, semua itu tidak menghalangi Miss Tjitjih
membangun popularitasnya.
Ia dikenal semua kelompok masyarakat, tapi penggemar
terbesarnya adalah ‘urang Sunda’ yang mendiami sekujur Batavia dan
sekelilingnya. Serta, masyarakat Tangerang penutur Bahasa Sunda.
Setelah dua tahun, orang lebih mengenal Mis Tjitjih
ketimbang Opera Valencia. “Akhirnya,
kakek saya sampai pada keputusan mengganti nama Opera Valencia menjadi Miss
Tjitjih Toneel Gezelschap,” ujar Aip Muhammad. “Tidak hanya itu, format pertunjukan
diubah. Opera Miss Tjitjih tidak lagi
memainkan lakon-lakon Melayu, dengan Bahasa Melayu, tapi mementaskan
cerita-cerita tradisional Sunda, dengan Bahasa Sunda.”
Pengubahan nama dan format pertunjukan membuat
kelompok sandiwara ini bermain di ceruk pasar terbatas. Kelompok-kelompok
masyarakat non-Sunda, yang semula menggemari Opera Valencia, meninggalkannya
dan beralih ke kelompok sandiwara lain.
Menurut Aip Muhammad, kelompok masyarakat non-Sunda
penggemar Opera Valencia relatif kecil. Sehingga, katanya, gedung pertunjukan
Miss Tjitjih sama sekali tidak kekurangan penonton sepanjang 1930-an.
“Sebetulnya, ada pertimbangan lain dalam pengubahan
format sandiwara dari Melayu ke tradisional Sunda, yaitu desakan Miss Tjitjih,”
ujarnya. “Terlebih, saat itu Miss Tjitjih telah dipersunting oleh Aboe Bakar
Bafaqih.”
Aboe Bakar Bafaqih menikahi Tjitjih, setelah
menceraikan Nuriah – istri pertama yang memberinya enam anak. Miss Tjitjih
Toneel Gezelschap tidak memiliki gedung pertunjukan sendiri. Mereka berkeliling
dari satu ke lain panggung di berbagai kota di Jawa Barat dan Batavia.
Tahun 1931, Miss Tjitjih tampil di Istana Bogor,
disaksikan para petinggi Hindia-Belanda yang sedang berlibur. Sejak saat itu,
panggilan pentas dari berbagai pemilik gedung pertunjukan mengalir deras.
Selama itu pula Mis Tjitjih hampir tak pernah absen
dari pentas. Aboe Bakar Bafaqih tahu orang datang ke panggung pertunjukan tidak
sekadar menyaksikan cerita yang dimainkan, tapi menatap langsung – seraya
mengaggumi – kecantikan dan kepiawaian Miss Tjitjih.
“Seolah, tidak boleh ada kata ‘berhalangan’ manggung
bagi Miss Tjitjih,” kenang Aip Muhammad.
Situasi benar-benar tidak sehat bagi Miss Tjtjih.
Terlebih, pergerakan dari satu ke lain kota pada saat itu dilakukan dengan
kereta kuda. Miss Tjitjih Toneel Gezelschap tidak ubahnya kelompok sandiwara
orang-orang Gypsy di Eropa. Bedanya, Miss Tjitjih tidak pernah melakukan
perjalanan lintas pulau, apalagi lintas negara.
Kelelahan setiap hari dan waktu istirahat tak
menentu membuat Miss Tjitjih digerogoti Tuberculosis (TB). Ia kerap mengeluh
sakit, dan tak bisa manggung. Namun, tidak boleh ada pertunjukan tanpa Miss
Tjitjih. Miss Tjitjih menyadari keadaan itu.
Tahun 1936, saat pertunjukan di Cikampek, Miss
Tjitjih terjatuh di panggung saat layar pertunjukan baru dibuka. Semula,
penonton mengira ‘insiden’ terjatuh itu bagian dari pertunjukan. Lakon Gagak
Solo, karya Tio Teik Djin yang dipentaskan dalam Bahasa Sunda, dihentikan. Miss
Tjitjih, yang saat itu berperan sebagai tandak, digotong ke belakang panggung
untuk mendapat perawatan.
Miss Tjitjih tak tertolong. Ia mengembuskan nafas
terakhir di panggung yang dicintainya. Ia tak memiliki anak dari hasil
perkawinannya dengan Aboe Bakar Bafaqih.
Sepeninggal Miss Tjitjih, kelompok sandiwara ini
menghadapi ketidak-pastian. Mereka kehilangan personal branding yang menjual,
dan menghidupi semua orang yang terlibat di atas panggung.
Sekali lagi, Aboe Bakar Bafaqih mengambil keputusan
penting. Ia mempertahankan Miss Tjitjih sebagai nama kelompok sandiwara, dan
tidak pernah berusaha mencari wanita lain sebagai penggantinya.
Beragam analisis tentang hal ini bermunculan.
Keputusan Aboe Bakar Bafaqih didasarkan pada cintanya kepada Miss Tjitjih, dan
ingin mengabadikan nama itu. Pendapat lain mengatakan Aboe Bakar Bafaqih tidak
punya pilihan selain terus mengeksploitasi nama Miss Tjitjih, agar kelompoknya
tetap mendapat tempat di hati masyarakat Sunda.
Tanpa
Ikon
Sebelum Miss Tjitjih meninggal, dua kelompok
sandiwara terbesar saat itu; Miss Riboet Orion dan Dardanella, telah almarhum.
Miss Riboet bubar pada 1934, akibat sejumlah pemainnya membelot ke Dardanella.
Dua tahun kemudian Dardanella bubar, setelah terjadi konflik hebat di dalam
organisasi.
Banyak orang mengira Miss Tjitjih akan menghadapi
nasib sama setelah kehilang ikon-nya. Perkiraan itu keliru. Miss Tjijih tetap
ada, dan masih menjadi bagian masyarakat Sunda di Batavia, dan melewati semua
pergantian era di negeri ini.
Mereka tetap menjadi bagian industri pertunjukan
rakyat sampai Belanda hengkang, selama penjajahan Jepang, dan pada masa-masa
perang mempertahankan kemerdekaan. Mereka masih menggelar pertunjukan di
berbagai tempat di Jakarta dan Jawa Barat sepanjang era Soekarno.
“Selama perang mempertahankan kemerdekaan, Miss
Tjitjih sempat menjadi tempat pelarian para pejuang,” ujar Aip Muhammad.
“Banyak pejuang bergabung menjadi anggota Miss Tjitjih, bermain sandiwara, agar
tidak dicurigai dan ditangkap Belanda.”
Selepas 1950, Miss Tjitjih tidak lagi berkeliling
dari satu ke lain panggung. Aboe Bakar Bafaqih mendapat tempat di Jl Kramat
Raya No 43 Jakarta Pusat untuk dijadikan panggung tetap pertunjukan Miss
Tjitjih.
Di tempat ini, Miss Tjitjih – yang sekian lama tanpa
ikon – mencapai puncak keemasannya. Pertunjukan mereka kerap dipadati penonton
dari sekujur Jakarta, dan kota-kota lain di Jawa Barat; Bogor, Tasikmalaya, dan
Tangerang.
Namun bagi Karta dan Boyot, dua anggota Miss Tjitjih
yang mulai tua, tidak seluruh masa-masa di Kramat Raya menyenangkan. Pada suatu
ketika, kata Karta, Miss Tjitjih sempat ditinggalkan pemiannya.
“Sebagian pindah ke Sri Wangi – kelompok sandiwara
dari Cileungsi pimpinan Jum Sin,” ujar Boyot. “Akibatnya, terjadi kekurangan
sumber daya pemain, dan manajemen Miss Tjitjih mencari siapa saja yang berminat
main sandiwara.”
Karta, kini berusia 62 tahun, salah satunya. Saat
masuk ke Miss Tjitjih, Karta masih berusia 12 tahun dan berprofesi sebagai
penjual koran. Ia tidak memiliki pengetahuan teater, dan punya tekad untuk
belajar. Ia bisa.
Sri Wangi berumur pendek. Kelompok sandiwara itu
bubar, dan semua pemain yang berasal dari Miss Tjitjih kembali bergabung.
Tak lama kemudian, Aboe Bakar Bafaqih meninggal.
Miss Tjitjih menghadapi ketidak-pastian lagi. Anak-anak Aboe Bakar Bafaqih dari
istri pertama menghendaki gedung di Kramat Raya No 43 dijual, dan hasilnya
dibagi ke semua anak-anak Aboe Bakar Bafakih. Miss Tjitjih tidak punya gedung
pertunjukan.
Harun Bafaqih, satu-satunya anak Aboe Bakar Bafaqih
yang peduli akan masa depan Miss Tjitjih, melakukan segala cara menyelamatkan
kelompok sandiwara ini. Berbekal uang dari bagi warisan, Harun mencari gedung
pertunjukan baru permanen.
Ia mendapatkannya di Jakarta Barat, tepatnya di
dekat Stasiun KA Angke. Gedung beratap seng dan berdinding papan. Di sekeliling
gedung terdapat rumah petak tempat para pemain. “Pemain yang bujangan tidur di
gedung pertunjukan,” kenang Rohidin (53).
Di tempat baru ini, menurut Rohidin, kehidupan
pemain mulai sulit. Meski demikian, katanya, seluruh pemain tidak putus asa.
Harun Bafaqih terus memotivasi seluruh anggota Miss Tjitjih.
“Saya saat itu menjadi bagian promosi,” demikian
Rohidin. “Saya menyewa mobil, keliling kampung untuk promosi pertunjukan.
Promosi dilakukan di sekujur Jakarta, sampai ke Mauk, Tangerang.”
Hasilnya, gedung pertunjukan Miss Tjitjih sempat
ramai lagi. Rohidin masih ingat bagaimana puluhan penonton dari Mauk datang
dengan truk. Ia juga pernah menjual ‘limun’ – minuman kelas bawah saat itu –
sampai 36 krat dalam satu malam.
Menurut Aip Muhammad, semua itu disebabkan oleh satu
hal; Miss Tjitjih masih berada di tengah masyarakatnya, yaitu pemukim dengan
latar belakang Sunda. Penyebab lainnya, promosi yang gencar. Karta masih ingat
bagaimana dirinya menyambangi stasiun radio untuk memasang iklan pertunjukan.
“Penghasilan pemain lumayan besar jika diukur dari
harga beras dan kebutuhan pokok saat itu,” kata Rohidin.
Situasi berubah ketika pemerintah berencana
membangun rel ganda Jakarta-Tangerang. Miss Tjitjih harus meninggalkan gedung
itu tahun 1987. Pemprov DKI, sejak Gubernur Ali Sadikin, sebenarnya telah mencari
cara agar Miss Tjitjih tetap ada.
Untuk bertahan hidup, Miss Tjitjih bernaung di bawah
yayasan yang dibentuk Pemprov DKI Jakarta. Sebelum meninggalkan Stasiun Angke,
mereka diminta mencari lahan untuk dibangun gedung pertunjukan.
Pilihannya adalah di Cengkareng atau di Cempata Baru.
Pihak yayasan menghendaki di Cempaka Baru, karena letaknya tak jauh dari rumah
sang ketua yayasan. Bagi Aip, Rohidin, dan Karta, pilihan pindah ke Cempaka
Putih adalah bencana.
“Kami tercerabut dari lingkungan masyarakat
penggemar kami,” ujar Aip. “Di Jakarta Barat, kami masih bisa hidup karena
masyarakat berlatar Sunda sangat banyak. Di sini, kami hidup di tengah kelompok
masyarakat berlatar etnis non-Sunda.”
Satu hal lagi, demikian Aip, lokasi Gedung Miss
Tjitjih bukan di tepi jalan raya. Meski demikian Aip optimistis Miss Tjitjih
masih akan tetap ada sampai usia ke-100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar