Rabu, 10 April 2013

Miss Tjitjih, Tertatih di Tepi Zaman


Opera Dardanella punya Devi Dja, atau Miss Dja. Orion, kelompok sandiwara lainnya, punya Miss Riboet. Opera Valencia tidak memiliki ikon yang mampu meningkatkan nilai jual sandiwara di tengah khalayak Batavia.

Sayyed Aboe Bakar Bafaqih, orang Arab kelahiran Bangil, Pasuruan, Jawa Timur,berpikir keras untuk mengatasi masalah ini. Ia sadar Opera Valencia tidak mungkin bersaing dengan Dardanella dan Orion – yang kemudian berganti nama menjadi Miss Riboet Orion – tanpa sripanggung yang bisa dijual.

Sepanjang 1926, Bafaqih menyambangi kota-kota di Jawa Barat dan meyaksikan pergelaran sandiwara dari satu ke lain panggung pertunjukan. Tidak diketahui sampai berapa lama Bafaqih melakukan semua ini.

Yang pasti, pencarian sri panggung berhenti di sebuah pergeralan sandiwara tradisional Sunda di Sumedang. Bafaqih terpesona pada penampilan seorang gadis belia berusia 16 tahun, yang menjadi ikon pertunjukan itu.

Tjitjih, demikian nama gadis belia itu, baru beusia 15 tahun. Ia pandai menari, menyanyi, dan memiliki pesona sebagai sri panggung. Ia menyihir ratusan penonton pertunjukan, dan menjadi buah bibir masyarakat penggemar sandiwara tradisional Sunda di Sumedang.

Bafaqih tidak butuh pertimbangan apa pun untuk ‘melamar’ sri panggung kampung, dan dibawa ke Batavia. Ia mendekati Tjitjih, menawarkan impian menjadi ikon pertunjukan di sebuah kota besar, dan kesempatan manggung dari satu ke lain kota.

Oang tua Tjitjih tak keberatan melepas anaknya ke Batavia. Tjitjih sempat ragu, karena dia tidak bisa berbahasa Melayu, dan kemampuan bergaul dengan orang-orang berbagai etnis. Bafaqih terus meyakinkan.

Sebelum kedatangan Nyi Tjitjih, demikian Tjitjih dipanggil penggemarnya di Sumedang, Opera Valencia memainkan sandiwara berbahasa Melayu. Mereka berkeliling dari satu ke lain kampung di sekitar Batavia, dan hanya sesekali merambahkan ke luar kota.

Meski bukan berada di arus utama industri panggung hiburan saat itu, Opera Valencia relatif dikenal masyarakat kelas menengah ke bawah dan disukai masyarakat Belanda dan kaum Indisch. 


Hanya 10 Tahun

Tidak sulit bagi Tjitjih untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Ia kerap mewarnai pementasan Operas Valencia dengan kemampuannya menarik, menari, dan berakting.

“Satu hal yang sulit dilakukan Miss Tjitjih, yaitu mengubah kebiasaannya berbahasa Sunda, dan belajar Bahasa Melayu,” ujar Aip Muhammad Bafaqih, cucu Aboe Bakar Bafaqih.

Menurut Aip, Aboe Bakar Bafaqih berusaha keras mengajarkan Tjitjih berbicara dalam Bahasa Melayu tapi sang mojang Sumedang tetap kesulitan. Meski demikian, semua itu tidak menghalangi Miss Tjitjih membangun popularitasnya. 

Ia dikenal semua kelompok masyarakat, tapi penggemar terbesarnya adalah ‘urang Sunda’ yang mendiami sekujur Batavia dan sekelilingnya. Serta, masyarakat Tangerang penutur Bahasa Sunda.

Setelah dua tahun, orang lebih mengenal Mis Tjitjih ketimbang Opera Valencia.  “Akhirnya, kakek saya sampai pada keputusan mengganti nama Opera Valencia menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap,” ujar Aip Muhammad. “Tidak hanya itu, format pertunjukan  diubah. Opera Miss Tjitjih tidak lagi memainkan lakon-lakon Melayu, dengan Bahasa Melayu, tapi mementaskan cerita-cerita tradisional Sunda, dengan Bahasa Sunda.”

Pengubahan nama dan format pertunjukan membuat kelompok sandiwara ini bermain di ceruk pasar terbatas. Kelompok-kelompok masyarakat non-Sunda, yang semula menggemari Opera Valencia, meninggalkannya dan beralih ke kelompok sandiwara lain.

Menurut Aip Muhammad, kelompok masyarakat non-Sunda penggemar Opera Valencia relatif kecil. Sehingga, katanya, gedung pertunjukan Miss Tjitjih sama sekali tidak kekurangan penonton sepanjang 1930-an.

“Sebetulnya, ada pertimbangan lain dalam pengubahan format sandiwara dari Melayu ke tradisional Sunda, yaitu desakan Miss Tjitjih,” ujarnya. “Terlebih, saat itu Miss Tjitjih telah dipersunting oleh Aboe Bakar Bafaqih.”

Aboe Bakar Bafaqih menikahi Tjitjih, setelah menceraikan Nuriah – istri pertama yang memberinya enam anak. Miss Tjitjih Toneel Gezelschap tidak memiliki gedung pertunjukan sendiri. Mereka berkeliling dari satu ke lain panggung di berbagai kota di Jawa Barat dan Batavia.

Tahun 1931, Miss Tjitjih tampil di Istana Bogor, disaksikan para petinggi Hindia-Belanda yang sedang berlibur. Sejak saat itu, panggilan pentas dari berbagai pemilik gedung pertunjukan mengalir deras. 

Selama itu pula Mis Tjitjih hampir tak pernah absen dari pentas. Aboe Bakar Bafaqih tahu orang datang ke panggung pertunjukan tidak sekadar menyaksikan cerita yang dimainkan, tapi menatap langsung – seraya mengaggumi – kecantikan dan kepiawaian Miss Tjitjih.

“Seolah, tidak boleh ada kata ‘berhalangan’ manggung bagi Miss Tjitjih,” kenang Aip Muhammad.

Situasi benar-benar tidak sehat bagi Miss Tjtjih. Terlebih, pergerakan dari satu ke lain kota pada saat itu dilakukan dengan kereta kuda. Miss Tjitjih Toneel Gezelschap tidak ubahnya kelompok sandiwara orang-orang Gypsy di Eropa. Bedanya, Miss Tjitjih tidak pernah melakukan perjalanan lintas pulau, apalagi lintas negara.

Kelelahan setiap hari dan waktu istirahat tak menentu membuat Miss Tjitjih digerogoti Tuberculosis (TB). Ia kerap mengeluh sakit, dan tak bisa manggung. Namun, tidak boleh ada pertunjukan tanpa Miss Tjitjih. Miss Tjitjih menyadari keadaan itu.

Tahun 1936, saat pertunjukan di Cikampek, Miss Tjitjih terjatuh di panggung saat layar pertunjukan baru dibuka. Semula, penonton mengira ‘insiden’ terjatuh itu bagian dari pertunjukan. Lakon Gagak Solo, karya Tio Teik Djin yang dipentaskan dalam Bahasa Sunda, dihentikan. Miss Tjitjih, yang saat itu berperan sebagai tandak, digotong ke belakang panggung untuk mendapat perawatan.

Miss Tjitjih tak tertolong. Ia mengembuskan nafas terakhir di panggung yang dicintainya. Ia tak memiliki anak dari hasil perkawinannya dengan Aboe Bakar Bafaqih.

Sepeninggal Miss Tjitjih, kelompok sandiwara ini menghadapi ketidak-pastian. Mereka kehilangan personal branding yang menjual, dan menghidupi semua orang yang terlibat di atas panggung.

Sekali lagi, Aboe Bakar Bafaqih mengambil keputusan penting. Ia mempertahankan Miss Tjitjih sebagai nama kelompok sandiwara, dan tidak pernah berusaha mencari wanita lain sebagai penggantinya.

Beragam analisis tentang hal ini bermunculan. Keputusan Aboe Bakar Bafaqih didasarkan pada cintanya kepada Miss Tjitjih, dan ingin mengabadikan nama itu. Pendapat lain mengatakan Aboe Bakar Bafaqih tidak punya pilihan selain terus mengeksploitasi nama Miss Tjitjih, agar kelompoknya tetap mendapat tempat di hati masyarakat Sunda.


Tanpa Ikon

Sebelum Miss Tjitjih meninggal, dua kelompok sandiwara terbesar saat itu; Miss Riboet Orion dan Dardanella, telah almarhum. Miss Riboet bubar pada 1934, akibat sejumlah pemainnya membelot ke Dardanella. Dua tahun kemudian Dardanella bubar, setelah terjadi konflik hebat di dalam organisasi.

Banyak orang mengira Miss Tjitjih akan menghadapi nasib sama setelah kehilang ikon-nya. Perkiraan itu keliru. Miss Tjijih tetap ada, dan masih menjadi bagian masyarakat Sunda di Batavia, dan melewati semua pergantian era di negeri ini.

Mereka tetap menjadi bagian industri pertunjukan rakyat sampai Belanda hengkang, selama penjajahan Jepang, dan pada masa-masa perang mempertahankan kemerdekaan. Mereka masih menggelar pertunjukan di berbagai tempat di Jakarta dan Jawa Barat sepanjang era Soekarno.

“Selama perang mempertahankan kemerdekaan, Miss Tjitjih sempat menjadi tempat pelarian para pejuang,” ujar Aip Muhammad. “Banyak pejuang bergabung menjadi anggota Miss Tjitjih, bermain sandiwara, agar tidak dicurigai dan ditangkap Belanda.”

Selepas 1950, Miss Tjitjih tidak lagi berkeliling dari satu ke lain panggung. Aboe Bakar Bafaqih mendapat tempat di Jl Kramat Raya No 43 Jakarta Pusat untuk dijadikan panggung tetap pertunjukan Miss Tjitjih. 

Di tempat ini, Miss Tjitjih – yang sekian lama tanpa ikon – mencapai puncak keemasannya. Pertunjukan mereka kerap dipadati penonton dari sekujur Jakarta, dan kota-kota lain di Jawa Barat; Bogor, Tasikmalaya, dan Tangerang.

Namun bagi Karta dan Boyot, dua anggota Miss Tjitjih yang mulai tua, tidak seluruh masa-masa di Kramat Raya menyenangkan. Pada suatu ketika, kata Karta, Miss Tjitjih sempat ditinggalkan pemiannya.

“Sebagian pindah ke Sri Wangi – kelompok sandiwara dari Cileungsi pimpinan Jum Sin,” ujar Boyot. “Akibatnya, terjadi kekurangan sumber daya pemain, dan manajemen Miss Tjitjih mencari siapa saja yang berminat main sandiwara.”

Karta, kini berusia 62 tahun, salah satunya. Saat masuk ke Miss Tjitjih, Karta masih berusia 12 tahun dan berprofesi sebagai penjual koran. Ia tidak memiliki pengetahuan teater, dan punya tekad untuk belajar. Ia bisa.

Sri Wangi berumur pendek. Kelompok sandiwara itu bubar, dan semua pemain yang berasal dari Miss Tjitjih kembali bergabung.

Tak lama kemudian, Aboe Bakar Bafaqih meninggal. Miss Tjitjih menghadapi ketidak-pastian lagi. Anak-anak Aboe Bakar Bafaqih dari istri pertama menghendaki gedung di Kramat Raya No 43 dijual, dan hasilnya dibagi ke semua anak-anak Aboe Bakar Bafakih. Miss Tjitjih tidak punya gedung pertunjukan.

Harun Bafaqih, satu-satunya anak Aboe Bakar Bafaqih yang peduli akan masa depan Miss Tjitjih, melakukan segala cara menyelamatkan kelompok sandiwara ini. Berbekal uang dari bagi warisan, Harun mencari gedung pertunjukan baru permanen.

Ia mendapatkannya di Jakarta Barat, tepatnya di dekat Stasiun KA Angke. Gedung beratap seng dan berdinding papan. Di sekeliling gedung terdapat rumah petak tempat para pemain. “Pemain yang bujangan tidur di gedung pertunjukan,” kenang Rohidin (53).

Di tempat baru ini, menurut Rohidin, kehidupan pemain mulai sulit. Meski demikian, katanya, seluruh pemain tidak putus asa. Harun Bafaqih terus memotivasi seluruh anggota Miss Tjitjih.

“Saya saat itu menjadi bagian promosi,” demikian Rohidin. “Saya menyewa mobil, keliling kampung untuk promosi pertunjukan. Promosi dilakukan di sekujur Jakarta, sampai ke Mauk, Tangerang.”

Hasilnya, gedung pertunjukan Miss Tjitjih sempat ramai lagi. Rohidin masih ingat bagaimana puluhan penonton dari Mauk datang dengan truk. Ia juga pernah menjual ‘limun’ – minuman kelas bawah saat itu – sampai 36 krat dalam satu malam.

Menurut Aip Muhammad, semua itu disebabkan oleh satu hal; Miss Tjitjih masih berada di tengah masyarakatnya, yaitu pemukim dengan latar belakang Sunda. Penyebab lainnya, promosi yang gencar. Karta masih ingat bagaimana dirinya menyambangi stasiun radio untuk memasang iklan pertunjukan.

“Penghasilan pemain lumayan besar jika diukur dari harga beras dan kebutuhan pokok saat itu,” kata Rohidin.

Situasi berubah ketika pemerintah berencana membangun rel ganda Jakarta-Tangerang. Miss Tjitjih harus meninggalkan gedung itu tahun 1987. Pemprov DKI, sejak Gubernur Ali Sadikin, sebenarnya telah mencari cara agar Miss Tjitjih tetap ada.

Untuk bertahan hidup, Miss Tjitjih bernaung di bawah yayasan yang dibentuk Pemprov DKI Jakarta. Sebelum meninggalkan Stasiun Angke, mereka diminta mencari lahan untuk dibangun gedung pertunjukan.

Pilihannya adalah di Cengkareng atau di Cempata Baru. Pihak yayasan menghendaki di Cempaka Baru, karena letaknya tak jauh dari rumah sang ketua yayasan. Bagi Aip, Rohidin, dan Karta, pilihan pindah ke Cempaka Putih adalah bencana.

“Kami tercerabut dari lingkungan masyarakat penggemar kami,” ujar Aip. “Di Jakarta Barat, kami masih bisa hidup karena masyarakat berlatar Sunda sangat banyak. Di sini, kami hidup di tengah kelompok masyarakat berlatar etnis non-Sunda.”

Satu hal lagi, demikian Aip, lokasi Gedung Miss Tjitjih bukan di tepi jalan raya. Meski demikian Aip optimistis Miss Tjitjih masih akan tetap ada sampai usia ke-100.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar