Sultan Jamalul Kiram III menyebut pasukan yang
menyusup ke Sabah sebagai Tentara Kesultanan Sulu. Benigno Aquino III, presiden
Filipina, menjuluki mereka sebagai tentara pribadi sang sultan, dan ilegal.
Sejak Pembantaian Maguindanao, November 2009 --
pembunuhan massal yang dilakukan Keluraga Ampatuan terhadap lawan politik, 12
wartawan, dan pengacara – pemerintah Filipina melarang pembentukan tentara
pribadi, atau private army. Namun,
mengapa Jamalul Kiram III dengan mudah mengumpulkan lebih dari 200 orang
bersenjata untuk menyerbu Sabah?
Demi
Uang
Jika Anda berjalan dari Davao City ke South
Cotabato, atau menelusuri Zamboanga City, Zamboanga del Norte, Zamboanga del
Sur, sampai ke Maguindanao, akan menemukan sedemikan banyak pria bersenjata di
tepi jalan, di depan barangay – unit
permukiman terkecil dalam system pemerintahan Filipina – atau di sudut-sudut
jalan sempit.
Tahun 1996, saat Republika
menyambangi kota-kota itu, sangat mudah menemui orang-orang berenjata di
jalan-jalan kota dan desa. Sebagian berseragam, lainnya tidak. Mereka yang
berseragam mengenakan berbagai identitas; Civilian Armed Forces Geographical
Unit (Cafgu), Civilian Volunteer Organization (CVO), Civilian Emergency Force
(CEF), Civilian Armed Forces Geographical Unit Active Auxiliaries (CAA), Barangay
Marines (BM), dan masih banyak lagi.
Mereka yang tidak berseragam bisa menyebut diri apa
saja, tapi kebanyakan penyedia jasa pengawalan para pengusaha, politisi, atau
siapa saja yang bersedia membayar. Jika sedang beruntung, mereka bisa
mendapatkan klien yang bersedia membayar sesuai tarif yang diajukan.
Ja’far, seorang simpatisan MNLF yang ditemui Republika tahun 1996, memutuskan tidak
lagi menjadi pekerja kasar di Malaysia setelah perdamaian di Mindanao tercapai.
Saat pertemuan di Jolo, Ja’far mengatakan dirinya membutuhkan senjata agar bisa
mencari pekerjaan sebagai tenaga pengaman bayaran.
Dua hari kemudian dia muncul lagi di Jolo, di sebuah
gedung empat lantai milik MNLF, dengan satu pistol di pinggang dan senapan
semiotomatis tangannya. Ia menghabiskan hampir setengah hasil kerjanya di
Malaysia selama satu tahun untuk mendapatkan kedua senjata itu.
Ja’far tidak mengatakan di mana akan mencari
pekerjaan seperti itu; Zamboanga, Davao City, atau Cobato. Ia mengatakan sangat
yakin dua senjata miliknya bisa menghidupi satu istri dan dua anak yang masih
kecil-kecil.
Seorang tentara Indonesia berpangkat kapten, yang
bertugas memantau gencatan senjata MNLF-Filipina di Mindanao, mengatakan Ja’far
hanya satu dari ribuan orang di Mindanao menafkahi keluarga dengan cara seperti
itu. Ja’far bukan tidak punya pilihan. Ia bisa saja kembali bekerja di
Malaysia. Namun ketika memilih menetap di kampung halaman, Ja’far tidak punya
banyak pilihan.
Memiliki senjata membuat Ja’far tidak sekadar
menjadi tenaga pengaman para bisnisman. Ia bisa mengabdi ke pemerintah dengan
menjadi anggota paramiliter, milisi, pengaman barangay, bagian dari kelompok
gangster, dan membentuk kelompok kriminal sendiri.
Akibatnya, kekerasan bersenjata kerap menjadi
fenomena sehari-hari di kota-kota di Mindanao. Menurut The Institute of Bangsamoro Studies and the Centre for Humanitarian
Dialogue, kekerasan bisa bermotif apa saja; persaingan antarklan, perebutan
kekuasaan politik lokal, sumber daya alam, ideology, sektarianisme, atau
sekadar main sendiri dan kejahatan oportunistik.
Bagi sumber daya manusia (SDM) bersenjata, motif
tidak penting. Mereka bersedia melakuka tindakan kekerasan kepada siapa pun
asal mendapat bayaran sesuai.
Milisi
Segalanya berawal di tahun 1950, ketika Hukbong
Bayan Laban sa Hapon (Hukbalahap) – Pasukan Rakyat anti-Jepang – mengorganisir
kembali dirinya dan melakukan pemberontakan di Luzon tengah. Berkekuatan 15.000
petani bersenjata, Huks – demikian kelompok komunis ini disebut – menuntut
pemerintah memberikan tanah-tanah para tuan.
Presiden Manuel Roxas (1946-1949), Elpidio Quirino
(1949-1953) dan Ramon Magsaysay (1954-1958), merespon
pemberontakan Huks dengan mempersenjatai penduduk sipil dan membentuk milisi.
Alasannya sederhana, pemerintah membutuhkan penduduk setempat yang memahami
kondisi geografi dan demografi, serta menegaskan kontrol pemerintah atas
seluruh negeri dengan biaya murah. Di sisi lain, konstitusi Filipina mengakui
perlunya keamanan sipil.
Ada
kelompok lain, yang terdiri dari mantan tentara AS yang melakukan perang
gerilya melawan Jepang di Timur Jauh, membantu Filipina mengorganisir sejumlah
kelompok milisi dengan nama berbeda-beda; Civilian Guards, Civilian Commando
Units, Home Guards atau Special Police.
Di
Mindanao, terminologi milisi berbelit-belit. Milisi sering digambarkan sebagai
paramiliter, karena hubungannya keamanan negara. Paramiliter adalah istilah
yang didefinisikan Departemen Pertahanan AS, yaitu kekuatau atau kelompok
berbeda dari tentara regular tapi memiliki organisasi dan peralatan yang sama.
Ada
beberapa jenis kelompok milisi di Filipina, yang diklasifikasikan sesuai
keterlibatan pemerintah pusat dan militer. Cafgu, misalnya, merupakan bagian
dari hirarki militer. Sedangkan CVO merupakan komponen bersenjata dari
organisasi pertahanan lokal. Jika digunakan sebagai pengganda kepolisian, CVO
dipersenjatai. Kelompok lain adalah Vigalante, yang digunakan pemerintah untuk
melawan pemberontakan.
Terminologi
yang labih luas dari milisi adalah orang-orang sipil yang diorganisir dan
dipersenjatai oleh entitas negara, politisi, klan, dan kelompok-kelompok
bersenjata. Tidak peduli apakah mereka berseragam atau tidak.
Tahun
1968, ketika intelejen pemerintah mendapatkan bukti Huks bangkit lagi kali
kedua, dan berganti nama menjadi New People Army (NPA), AB Filipina membentuk Barrio
Self Defense Units (BSDU), yang digunakan untuk operasi counter-insurgency. Namun, seiring perjalanan waktu, BSDU mencari
uang dengan melibatkan diri dalam kegiatan ilegal dan menjadi kaki tangan
politisi lokal.
Marcos membubarkan BSDU tahun 1976, dan segera
menggantinya dengan Integrated Civilian Home Defense Force (ICHDF). Namun
kelompok milisi baru ini menghadapi persoalan manajemen dan koordinasi. Mereka
tidak tahu harus menginduk ke siapa; militer, polisi, politisi lokal, atau
eksekutif tingkat bawah.
Mereka tak terlatih, dan bergaji sangat kecil. Akibatnya,
personel ICHDF lebih banyak menjadi bodyguard.
Dua tahun kemudian, ICHDF dibubarkan, dan diganti dengan
Civilian Home Defense Force CHDF. Namun, perilaku personelnya tetap
sama. Bahkan CHDF, yang terdiri dari bocah-bocah belasan tahun, terkenal
sebagai perampok ternak petani; kerbau dan sapi.
Penduduk menudingnya
anggota MNLF, dan menjadi sasaran penculikan. Ratusan anggota CHDF menjadi
sasaran penculikan dan pembunuhan oleh penduduk, tanpa pernah ditemukan
jasadnya.
Di era Marcos, AB
Filipina membentuk dua kelompok milisi; Rock Christ dan Ilaga. Yang pertama
terdiri dari orang-orang Kristen yang bertekad balas dendam. Yang kedua
terkenal sebagai milisi paling brutal dan sadis, serta beroperasi di Cotabago.
Untuk mengatasi NPA,
Marcos mempersenjatai anggota komunis yang insaf dan membentuk Alsa Masa.
Mereka beroperasi di Davao, dengan tugas merekrut penduduk, melatih, dan
melakukan operasi perlawanan.
Selain ketiganya, masih
terdapat kelompok lain; Alamara, Alsa Lumad, Ituman Group, Kuratong Baleleng,
Nakasaka, dan Tadtad.
Kemiskinan, Pilihan
Juli 1987, pemerintah
Filipina membentuk Cafgu, sebagai akibat rendahnya anggaran militer. Selain itu
ada pula Special Civilian Armed Forces Geographical Units (SCAAs), yang didanai
pebisnis lokal, serta Local Government Units (LGUs) – milisi pemerintah lokal
yang berada di bawah control AB Filipina.
LGU membentuk CVO, milisi
yang dipersenjatai dalam keadaan tertentu dan bertugas membantu Cafgu.
Belakangan, CVO menjadi tentara pribadi para politisi dan keluarga. Di
Maguindanao, misalnya, CVO sepenuhnya bekerjasama dengan politisi setempat,
dipersenjatai, dan digunakan untuk melawan MILF.
Tidak mudah bagi AB
Filipina membentuk paramiliter. Kemiskinan, dan tidak adanya pilihan lapangan
pekerjaan, membuat generasi muda Mindanao tergiur menjadi anggota Cafgu atau
CVO. Mereka mendapat pelatihan, dan gaji 8 sampai 12 dolar, kira-kira Rp 70
sampai Rp 100 ribu, per pekan.
Dibanding CVO, personel
Cafgu mendapat upah sedikit lebih besar, yaitu 68 dolar AS – kira-kira Rp 600
ribu – per bulan. Upah terkecil diterima milisi CEF dan BM, masing-masing 21
dan 25 dolar AS per bulan.
Survei The Institute of Bangsamoro Studies
and the Centre for Humanitarian Dialogue menunjukan 91 persen
anggota milisi mengaku keluarga mereka sangat mendukung keikut-sertaan mereka
dalam Cafgu, CEF, BM, dan CVO. Bagi keluarga, yang terpenting adalah
menghasilkan uang.
Seorang anggota Cafgu
mengatakan ada dua hal yang membuatnya bergabung. Pertama, takut dicap anggota
NPA dan ditangkap. Kedua, penghasilan sebagai Cafgu membuat keluarganya sedikit
bisa mengatasi persoalan financial.
Saat ini, setelah kian
meredanya perlawanan kelompok Muslim, Cafgu relatif hanya digunakan untuk
menjaga Mindanao dari penyusupan elemen NPA ke masyarakat. Cafgu lebih bisa
bisa dikendalikan AB Filipina. CVO, seperti di Maguindanao, berubah menjadi
tentara pribadi politisi, klan, dan penguasa lokal.
Merekrut Cafgu dan CVO
untuk kepentingan operasi skala besar, seperti penyusupan ke Sabah, memang
tidak mungkin. Namun, khusus di Mindanao, siapa pun bisa membentuk pasukan jika
memiliki uang.
Sumber daya manusia (SDM)
bersenjata yang bisa direkrut sangat banyak. Mereka adalah mantan prajurit MNLF
yang tidak bisa berintegrasi ke dalam AB Filipina. Setelah perjanjian damai
MNLF-Manila, AB Filipina hanya bersedia menampung 5.700 dari 15.000 tentara
pimpinan Nur Misuari.
Sisanya? Menjadi
pengangguran, atau menjadi tentara pribadi. Meski pemerintah melarang
pembentukan tentara pribadi, saat ini terdapat 170 kelompok tentara pribadi di
Kawasan Otonomi Muslim Mindanao.
Pun, tidak seluruh
veteran MNLF terserap ke dalam kelompok tentara bayaran. Mereka yang bekerja
serabutan, siap menerima pekerjaan yang membutuhkan keahlian menembak,
berperang dan membunuh. Jadi, tidak aneh jika Sultan Jamalul Kiram III dengan
mudah membentuk pasukan.
Lebih mudah lagi,
mayoritas MNLF adalah orang Tausug – etnis yang memiliki sejarah dengan
Kesultanan Sulu dan romantisme dengan Sabah. Sedangkan MILF didominasi etnis
Maranaw, yang lebih dekat ke sultan-sultan di Semenanjung Malaya.
Tidak diketahui berapa
veteran MNLF dibayar untuk menjadi anggota Militer Kesultanan Sulu. Yang pasti,
ada figure lain yang mendanai mereka, bukan Sultan Jamalul Kiram III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar