Rabu, 10 April 2013

Bersedia Mati Demi $2 per Hari








Men with guns roam free and the police are afraid to go out at night


Sultan Jamalul Kiram III menyebut pasukan yang menyusup ke Sabah sebagai Tentara Kesultanan Sulu. Benigno Aquino III, presiden Filipina, menjuluki mereka sebagai tentara pribadi sang sultan, dan ilegal.

Sejak Pembantaian Maguindanao, November 2009 -- pembunuhan massal yang dilakukan Keluraga Ampatuan terhadap lawan politik, 12 wartawan, dan pengacara – pemerintah Filipina melarang pembentukan tentara pribadi, atau private army. Namun, mengapa Jamalul Kiram III dengan mudah mengumpulkan lebih dari 200 orang bersenjata untuk menyerbu Sabah?


Demi Uang

Jika Anda berjalan dari Davao City ke South Cotabato, atau menelusuri Zamboanga City, Zamboanga del Norte, Zamboanga del Sur, sampai ke Maguindanao, akan menemukan sedemikan banyak pria bersenjata di tepi jalan, di depan barangay – unit permukiman terkecil dalam system pemerintahan Filipina – atau di sudut-sudut jalan sempit.

Tahun 1996, saat Republika menyambangi kota-kota itu, sangat mudah menemui orang-orang berenjata di jalan-jalan kota dan desa. Sebagian berseragam, lainnya tidak. Mereka yang berseragam mengenakan berbagai identitas; Civilian Armed Forces Geographical Unit (Cafgu), Civilian Volunteer Organization (CVO), Civilian Emergency Force (CEF), Civilian Armed Forces Geographical Unit Active Auxiliaries (CAA), Barangay Marines (BM), dan masih banyak lagi.

Mereka yang tidak berseragam bisa menyebut diri apa saja, tapi kebanyakan penyedia jasa pengawalan para pengusaha, politisi, atau siapa saja yang bersedia membayar. Jika sedang beruntung, mereka bisa mendapatkan klien yang bersedia membayar sesuai tarif yang diajukan.

Ja’far, seorang simpatisan MNLF yang ditemui Republika tahun 1996, memutuskan tidak lagi menjadi pekerja kasar di Malaysia setelah perdamaian di Mindanao tercapai. Saat pertemuan di Jolo, Ja’far mengatakan dirinya membutuhkan senjata agar bisa mencari pekerjaan sebagai tenaga pengaman bayaran.

Dua hari kemudian dia muncul lagi di Jolo, di sebuah gedung empat lantai milik MNLF, dengan satu pistol di pinggang dan senapan semiotomatis tangannya. Ia menghabiskan hampir setengah hasil kerjanya di Malaysia selama satu tahun untuk mendapatkan kedua senjata itu.

Ja’far tidak mengatakan di mana akan mencari pekerjaan seperti itu; Zamboanga, Davao City, atau Cobato. Ia mengatakan sangat yakin dua senjata miliknya bisa menghidupi satu istri dan dua anak yang masih kecil-kecil.
Seorang tentara Indonesia berpangkat kapten, yang bertugas memantau gencatan senjata MNLF-Filipina di Mindanao, mengatakan Ja’far hanya satu dari ribuan orang di Mindanao menafkahi keluarga dengan cara seperti itu. Ja’far bukan tidak punya pilihan. Ia bisa saja kembali bekerja di Malaysia. Namun ketika memilih menetap di kampung halaman, Ja’far tidak punya banyak pilihan.

Memiliki senjata membuat Ja’far tidak sekadar menjadi tenaga pengaman para bisnisman. Ia bisa mengabdi ke pemerintah dengan menjadi anggota paramiliter, milisi, pengaman barangay, bagian dari kelompok gangster, dan membentuk kelompok kriminal sendiri.

Akibatnya, kekerasan bersenjata kerap menjadi fenomena sehari-hari di kota-kota di Mindanao. Menurut The Institute of Bangsamoro Studies and the Centre for Humanitarian Dialogue, kekerasan bisa bermotif apa saja; persaingan antarklan, perebutan kekuasaan politik lokal, sumber daya alam, ideology, sektarianisme, atau sekadar main sendiri dan kejahatan oportunistik.

Bagi sumber daya manusia (SDM) bersenjata, motif tidak penting. Mereka bersedia melakuka tindakan kekerasan kepada siapa pun asal mendapat bayaran sesuai.


Milisi

Segalanya berawal di tahun 1950, ketika Hukbong Bayan Laban sa Hapon (Hukbalahap) – Pasukan Rakyat anti-Jepang – mengorganisir kembali dirinya dan melakukan pemberontakan di Luzon tengah. Berkekuatan 15.000 petani bersenjata, Huks – demikian kelompok komunis ini disebut – menuntut pemerintah memberikan tanah-tanah para tuan.

Presiden Manuel Roxas (1946-1949), Elpidio Quirino (1949-1953) dan Ramon Magsaysay  (1954-1958), merespon pemberontakan Huks dengan mempersenjatai penduduk sipil dan membentuk milisi. Alasannya sederhana, pemerintah membutuhkan penduduk setempat yang memahami kondisi geografi dan demografi, serta menegaskan kontrol pemerintah atas seluruh negeri dengan biaya murah. Di sisi lain, konstitusi Filipina mengakui perlunya keamanan sipil.

Ada kelompok lain, yang terdiri dari mantan tentara AS yang melakukan perang gerilya melawan Jepang di Timur Jauh, membantu Filipina mengorganisir sejumlah kelompok milisi dengan nama berbeda-beda; Civilian Guards, Civilian Commando Units, Home Guards atau Special Police.

Di Mindanao, terminologi milisi berbelit-belit. Milisi sering digambarkan sebagai paramiliter, karena hubungannya keamanan negara. Paramiliter adalah istilah yang didefinisikan Departemen Pertahanan AS, yaitu kekuatau atau kelompok berbeda dari tentara regular tapi memiliki organisasi dan peralatan yang sama.

Ada beberapa jenis kelompok milisi di Filipina, yang diklasifikasikan sesuai keterlibatan pemerintah pusat dan militer. Cafgu, misalnya, merupakan bagian dari hirarki militer. Sedangkan CVO merupakan komponen bersenjata dari organisasi pertahanan lokal. Jika digunakan sebagai pengganda kepolisian, CVO dipersenjatai. Kelompok lain adalah Vigalante, yang digunakan pemerintah untuk melawan pemberontakan.

Terminologi yang labih luas dari milisi adalah orang-orang sipil yang diorganisir dan dipersenjatai oleh entitas negara, politisi, klan, dan kelompok-kelompok bersenjata. Tidak peduli apakah mereka berseragam atau tidak.

Tahun 1968, ketika intelejen pemerintah mendapatkan bukti Huks bangkit lagi kali kedua, dan berganti nama menjadi New People Army (NPA), AB Filipina membentuk Barrio Self Defense Units (BSDU), yang digunakan untuk operasi counter-insurgency. Namun, seiring perjalanan waktu, BSDU mencari uang dengan melibatkan diri dalam kegiatan ilegal dan menjadi kaki tangan politisi lokal.

Marcos membubarkan BSDU tahun 1976, dan segera menggantinya dengan Integrated Civilian Home Defense Force (ICHDF). Namun kelompok milisi baru ini menghadapi persoalan manajemen dan koordinasi. Mereka tidak tahu harus menginduk ke siapa; militer, polisi, politisi lokal, atau eksekutif tingkat bawah.
Mereka tak terlatih, dan bergaji sangat kecil. Akibatnya, personel ICHDF lebih banyak menjadi bodyguard.
Dua tahun kemudian, ICHDF dibubarkan, dan diganti dengan Civilian Home Defense Force CHDF. Namun, perilaku personelnya tetap sama. Bahkan CHDF, yang terdiri dari bocah-bocah belasan tahun, terkenal sebagai perampok ternak petani; kerbau dan sapi.

Penduduk menudingnya anggota MNLF, dan menjadi sasaran penculikan. Ratusan anggota CHDF menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan oleh penduduk, tanpa pernah ditemukan jasadnya.

Di era Marcos, AB Filipina membentuk dua kelompok milisi; Rock Christ dan Ilaga. Yang pertama terdiri dari orang-orang Kristen yang bertekad balas dendam. Yang kedua terkenal sebagai milisi paling brutal dan sadis, serta beroperasi di Cotabago.

Untuk mengatasi NPA, Marcos mempersenjatai anggota komunis yang insaf dan membentuk Alsa Masa. Mereka beroperasi di Davao, dengan tugas merekrut penduduk, melatih, dan melakukan operasi perlawanan.

Selain ketiganya, masih terdapat kelompok lain; Alamara, Alsa Lumad, Ituman Group, Kuratong Baleleng, Nakasaka, dan Tadtad. 


Kemiskinan, Pilihan

Juli 1987, pemerintah Filipina membentuk Cafgu, sebagai akibat rendahnya anggaran militer. Selain itu ada pula Special Civilian Armed Forces Geographical Units (SCAAs), yang didanai pebisnis lokal, serta Local Government Units (LGUs) – milisi pemerintah lokal yang berada di bawah control AB Filipina.

LGU membentuk CVO, milisi yang dipersenjatai dalam keadaan tertentu dan bertugas membantu Cafgu. Belakangan, CVO menjadi tentara pribadi para politisi dan keluarga. Di Maguindanao, misalnya, CVO sepenuhnya bekerjasama dengan politisi setempat, dipersenjatai, dan digunakan untuk melawan MILF.

Tidak mudah bagi AB Filipina membentuk paramiliter. Kemiskinan, dan tidak adanya pilihan lapangan pekerjaan, membuat generasi muda Mindanao tergiur menjadi anggota Cafgu atau CVO. Mereka mendapat pelatihan, dan gaji 8 sampai 12 dolar, kira-kira Rp 70 sampai Rp 100 ribu, per pekan.

Dibanding CVO, personel Cafgu mendapat upah sedikit lebih besar, yaitu 68 dolar AS – kira-kira Rp 600 ribu – per bulan. Upah terkecil diterima milisi CEF dan BM, masing-masing 21 dan 25 dolar AS per bulan.

Survei The Institute of Bangsamoro Studies and the Centre for Humanitarian Dialogue menunjukan 91 persen anggota milisi mengaku keluarga mereka sangat mendukung keikut-sertaan mereka dalam Cafgu, CEF, BM, dan CVO. Bagi keluarga, yang terpenting adalah menghasilkan uang.

Seorang anggota Cafgu mengatakan ada dua hal yang membuatnya bergabung. Pertama, takut dicap anggota NPA dan ditangkap. Kedua, penghasilan sebagai Cafgu membuat keluarganya sedikit bisa mengatasi persoalan financial.

Saat ini, setelah kian meredanya perlawanan kelompok Muslim, Cafgu relatif hanya digunakan untuk menjaga Mindanao dari penyusupan elemen NPA ke masyarakat. Cafgu lebih bisa bisa dikendalikan AB Filipina. CVO, seperti di Maguindanao, berubah menjadi tentara pribadi politisi, klan, dan penguasa lokal.

Merekrut Cafgu dan CVO untuk kepentingan operasi skala besar, seperti penyusupan ke Sabah, memang tidak mungkin. Namun, khusus di Mindanao, siapa pun bisa membentuk pasukan jika memiliki uang.

Sumber daya manusia (SDM) bersenjata yang bisa direkrut sangat banyak. Mereka adalah mantan prajurit MNLF yang tidak bisa berintegrasi ke dalam AB Filipina. Setelah perjanjian damai MNLF-Manila, AB Filipina hanya bersedia menampung 5.700 dari 15.000 tentara pimpinan Nur Misuari.

Sisanya? Menjadi pengangguran, atau menjadi tentara pribadi. Meski pemerintah melarang pembentukan tentara pribadi, saat ini terdapat 170 kelompok tentara pribadi di Kawasan Otonomi Muslim Mindanao.

Pun, tidak seluruh veteran MNLF terserap ke dalam kelompok tentara bayaran. Mereka yang bekerja serabutan, siap menerima pekerjaan yang membutuhkan keahlian menembak, berperang dan membunuh. Jadi, tidak aneh jika Sultan Jamalul Kiram III dengan mudah membentuk pasukan.

Lebih mudah lagi, mayoritas MNLF adalah orang Tausug – etnis yang memiliki sejarah dengan Kesultanan Sulu dan romantisme dengan Sabah. Sedangkan MILF didominasi etnis Maranaw, yang lebih dekat ke sultan-sultan di Semenanjung Malaya.

Tidak diketahui berapa veteran MNLF dibayar untuk menjadi anggota Militer Kesultanan Sulu. Yang pasti, ada figure lain yang mendanai mereka, bukan Sultan Jamalul Kiram III.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar