Minggu, 21 April 2013

Kartini dan Islam







Dalam suratnya ke Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis; Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa?

Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Al Quran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?


RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa partinya.


Namun, Kartini tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang -- lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Adalah Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, yang menuliskan kisah ini.

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

"Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?" Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh balik bertanya.

"Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku," ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; "Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"

Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al Quran ke dalam Bahasa Jawa.

Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kyai Sholeh meninggal dunia.

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Rabu, 10 April 2013

Sekeping Emas Bernama Sabah




Tahun 1962, seperti tahun-tahun sebelumnya sejak 1939, keluaraga-keluarga ahli waris Sultan Jamalul Kiram II berkumpul di Maimbung, ibu kota Kesultanan Sulu. Mereka adalah keluarga Sultan Punjungan Kiram, Datu Esmail Kiram, Dayang Dayang Piandao Kiram, Dayang Dayang Sitti Rada Kiram, Princess Tarhata Kiram, Princess Sakinur-In Kiram, Dayang Dayang Putli Jahara Kiram, Dayang Dayang Sitti Mariam Kiram and Mora Napsa.

Mereka tidak sedang melakukan pertemuan untuk membahas masa depan kesultanan, tapi membagi uang sewa Sabah yang dibayarkan North Boreno Company (NBC), yang jumlahnya 5.300 koin emas Meksiko. Itu bukan jumlah yang kecil, bukan hanya untuk ukuran saat itu, tapi juga saat ini.

Tidak ada yang tahu siapa memperoleh terbesar. Hakim McKaskie, ketua Pengadilan Tinggi Borneo Utara yang menetapkan nama-nama ahli waris Sultan Jamalul Kiram II, tidak menetapkan persentase bagian setiap orang karena tidak ada yang bisa mengklaim layak mendapat terbanyak. Tidak terkecuali Hajjah Dayang Dayang Piandao – keturunan langsung Sultan Badaruddin, yang menyewakan Sabah ke NBC tahun 1878.

Koin emas itulah yang...

Tragedi Kesultanan Sulu



Sejak naik tahta tahun 1894, Sultan Jamalul Kiram II melakukan segala cara untuk mendapat keturunan. Ia menikahi lebih 100 wanita Tausug, tapi tak satu pun memberinya anak. Pada 7 Juni 1936, Jamalul Kiram II mengembuskan nafas terakhir, meninggalkan tahta Kesultanan Sulu tanpa pewaris yang sah.

Criselda Yabes, dalam Sabah as the last gold coin, menulis kematian Jamalul Kiram II – bersamaan dengan menguatnya kolonialisme AS dan munculnya gagasan Persemakmuran Filipina – menandai akhir Kesultanan Sulu sebagai entitas politik. Hajjah Dayang Dayang Piandao – cucu Sultan Jamalul A’Lam – tidak mungkin menggantikan Jamalul Kiram II, karena tradisi Tausug tidak menghendaki perempuan sebagai pemimpin.

Jamalul Kiram II dimakamkan di Maimbung – ibu kota Kesultanan Sulu. Makamnya terabai, dihinakan pemerintah Filipina dan penduduk Katolik, karena dianggap melambangkan masa lalu yang buruk. Tahun 2010, AB Filipina membangun markas detasemen marinir di lokasi makam, dan di sisi lainnya terdapat budi daya sayur-mayur, serta sebuah pasar kecil tempat masyarakat sekitar berniaga.

Tidak ada lagi jejak Astana, atau istana, yang pernah menjadi spektrum sebuah kerajaan. Maimbung, sejak kematian Jamalul Kiram II, kehilangan martabatnya sebagai pusat budaya dan kerajaan Islam. Yang ada adalah jalan-jalan kumuh, berdebu, kotor, dan kehidupan perbanditan.


Tiga Sultan

Bukan kali pertama Kesultanan Sulu kehilangan pemimpin tanpa pewaris yang sah. Tahun 1894, Sultan Badaruddin II wafat tanpa meninggalkan pewaris. Hajjah Amina, permaisuri Sultan Badaruddin, sedang mengandung anak ketujuh ketika sang suami mengembuskan nafas terakhir.

Enam anak Sultan Badaruddin II dari rahim Hajjah Amina, laki-laki dan perempuan, meninggal akibat sakit sebelum mencapai usia dewasa. Harapan para datu, atau bangsawan, adalah Amina melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi penerus Sultan Badaruddin II.

Ruma Bichara, parlemen kesultanan yang berisi para pemuka agama dan bangsawan, sepakat mengangkat Jamalul Kiram II – adik Sultan Badaruddin II – sebagai sultan. Jamalul Kiram II tahu dirinya hanya sultan sementara. Ketika Amina melahirkan anak laki-laki, dia harus melepas tahtanya saat putra Sultan Badaruddin II dewasa.

Yang terjadi adalah Hajjah Amina melahirkan seorang bayi perempuan, dan diberi nama Dayang Dayang Piandao. Dayang Dayang adalah gelar tertinggi di dalam istana Kesultanan Sulu, dan hanya putri pertama sultan boleh menggunakannya.

Dua tahun setelah pengangkatan Jamalul Kiram sebagai sultan, Spanyol memprovokasi sejumlah datu untuk memproklamirkan Harun ar-Rashid sebagai penguasa. Harun ar-Rashid adalah keturunan langsung Alimuddin I, sultan ke-19 Sulu.

Terdapat dua kepemimpinan di Kesultanan Sulu. Spanyol relatif sukses memecah para datu, tapi gagal membenturkannya. Harun ar-Rashid tidak pernah mendapat dukungan Ruma Bichara dan mayoritas rakyat Kesultanan Sulu.

Ketika Harun ar-Rashid gagal meyakinkan rakyat Sulu bahwa dirinya adalah pewaris sah tahta kesultanan, Spanyol melepaskan dukungan. Spanyol membujuk Ar-Rashid turun tahta tahun 1894 dan diam-diam mengakui Jamalul Kiram.

Ar-Rashid tidak punya pilihan selain meninggalkan Maimbung, dan berlayar menuju Pulau Palawan. Lima tahun kemudian, tepatnya April 1899, Ar-Rashid meninggal dunia.

Jamalul Kiram II mengadopsi Dayang Dayang Piandao sebagai anak, dan memberinya nama Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram. Ia juga menikahi Hajjah Amina. Jamalul Kiram II berharap dari rahim Amina akan lahir seorang anak laki-laki keturunannya, yang mewariskan tahta Kesultanan Sulu.

Sebelum menikahi Hajjah Amina, Jamalul Kiram telah memiliki beberapa istri, tapi tak satu pun memberinya anak. Ia menikah lagi, beberapa kali, tapi tak juga mendapat keturunan. Jamalul Kiram II coba mempersiapkan Dayang Dayang Piandao sebagai penerusnya, tapi Ruma Bichara tidak menghendaki Kesultanan Sulu dipimpin seorang wanita.

Ketika Sultan Jamalul Kiram II mulai sakit-sakitan, kekhawatiran melanda seluruh datu dan sharif di sekujur Kesultanan Sulu. Sebagian memilih wait and see, tapi lainnya menjalankan agenda politinya sendiri.

Di Parang, pada 11 April 1936 – atau kurang dua bulan sebelum Jamalul Kiram II meninggal dunia – sejumlah datu mengangkat Sultan Bomid-din I, saudara termuda Sultan Badaruddin II, sebagai Sultan Sulu. Ruma Bichara di Maimbung, dan para datu di wilayah Kesultanan Sulu lainnya, tidak mengakui pengangkatan itu.

Kebingungan melanda istana Kesultanan Sulu pasca kematian Jamalum Kiram. Sekali lagi Ruma Bichara harus memutuskan siapa yang berhak menjadi penerus tanhta Kesultanan Sulu. Setelah melewati berbagai pertemuan,  dan idukung banyak datu, Ruma Bichara mengangkat Muwallil Wasit II – adik Jamalul Kiram II – sebagai sultan.

Ruma Bichara coba membujuk para datu dan sharif di Parang untuk membatalkan pengangkatan Sultan Bod-din I, dan menerima Muwallil Wasit II sebagai sultan. Upaya itu gagal total. Akibatnya, Muwallil Wasit II tidak bisa segera dilantik.

Pembicaraan antara para datu di Parang dan Maimbung menemui jalan buntu. Ruma Bichara di Maimbung akhirnya memutuskan untuk segera melantik Muwallil Wasit II. Namun sebelum pelatintikan berlangsung, dan enam bulan setelah Ruma Bichara melakukan pemilihan, Muwallil Wasit II terbunuh.

Pengadilan Tinggi Borneo Utara memperkeruh suasana dengan mengeluarkan dua keputusan bertolak belakang. Pertama, pada 16 Agustus 1937, pengadilan yang berkedudukan di Kinabalu itu memutuskan Hajjah Dayang Dayang Pinandao Kiram II – keturunan langsung Sultan Badaruddin II, yang menyewakan Sabah ke North Borneo British Company – sebagai pewaris pemerintahan dan seluruh properti yang pernah dikuasai almarhum Jamalul Kiram II.

Dua tahun kemudian, Pengadilan Tinggi Borneo Utara mengakui posisi Muwallil Wasit II sebagai penerus Jamalul Kiram II, dan ahli waris yang sah atas wilayah Sabah. Dua keputusan Pengadilan Tinggi Borneo Utara itu dikeluarkan oleh hakim yang sama, yaitu Hakim McKaskie.

Sejak kematian Muwallil Wasit II, Kesultanan Sulu memiliki tiga sultan. Pertama, Sultan Bomid-din I yang berkedudukan di Parang. Kedua, Amirul Umara I – suami Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram – yang berkedudukan di Maimbung. Ketiga, Jainal Abirin – lahir sebagai Datu Tambuyong – berkuasa di Patikul.
Bomid-din tidak didukung siapa pun. Saat Jepang datang, Amirul Umara I – dikenal pula dengan nama Amil Bangsa – diakui kekaisaran negeri Matahari Terbit. Jainal Abirin didukung Amerika Serikat (AS).

Amirul Umara dan Jainal Abirin ‘bertahta’ sampai 1950. Umara kehilangan pengaruh setelah Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram meninggal dunia, tak lama setelah usai Perang Dunia II. Seperti pamannya, Piandao tidak memiliki anak, dan meninggalkan keluarga yang cakar-cakaran.

Tidak ada cerita tentang Abirin sampai enam dekade setelah 1950. Kisah tentang Abirin muncul kembali, ketika Aga Muhlach – host acara travel Pinoy Explorer di TV5 Filipina – menemukan seorang pria tua di rumah jompo Patikul yang mengaku keturunan Abirin.

Ketika difilmkan, lelaki yang tak disebutkan namanya itu duduk di depan rumah jompo tertutup pohon kepala di pinggir pantai. Ia menjadi history teller tentang nasib tragis Kesultanan Sulu, pemberontakan dan konflik bersenjata.

Namun suaranya tidak didengar. Di sekelilingnya, anggota keluarga Kiram yang berkeliaran di sekujur Kepulauan Sulu, Palawan, dan Tawi Tawi, mendirikan ‘kantor’ perkrutan tentara, menenggelamkan anak-anak muda Tausug romantisme masa lalu, dan menanamkan obsesi akan kemungkinan membangkitkan kembali Kesultanan Sulu.


Sultan Palsu

Setelah Umara dan Abirin lengser, Bomid-din menjadi satu-satunya penguasa Kesultanan Sulu. Namun itu tidka berlangsung lama. Para datu dan sharif di Maimbung tetap tidak mengakui Bomid-din, dan mengangkat Moh. Esmail E. Kiram I  -- Esmail E Kiram I adalah putra tertua Muwallil Wasit II  --sebagai sultan.

Sejak kematian Jamalul Kiram II, pemerintah Filipina – sebagai penerus kekuasaan AS – sultan-sultan berikut. Situasi berubah setelah 1950. Manila, suka atau tidak, harus mengakui bahwa Kesultanan Sulu masih ada.

Terjadi pertarungan antara Bomid-din dan Esmail E Kiram I, untuk mendapatkan pengakuan Manila. Esmail E Kiram I memenangkannya. Pada 12 September 1962, Presiden Diosdado Macapagal secara resmi memberikan kekuasaan atas Kesultanan Sulu kepada Esmail E Kiram I.

Sepuluh tahun kemudian, President Ferdinand Marcos mengeluarkan dokumen yang menyatakan Manila mengakui eksistensi Kesultanan Sulu, pemerintahan Kesultanan Sulu, dan Sultan Moh. Esmail E. Kiram sebagai penerus Raja Muda Muwallil Wasit.

Tahun 1974, sepeninggal Esmail E Kiram I, Ruma Bichara mengangkat Moh. Mahakuttah A. Kiram. Presiden Marcos mengeluarkaan Momorandum Order 427 tahun 1974, yang menyatakan Mahakuttah adalah pewaris sah Kesultanan Sulu dan pemerintah berkewajiban mendukung penobatannya pada 24 Mei 1974. 

Pada saat penobatan, Datu Muedzul Lail Tan Kiram – yang baru berusia 8 tahun – duduk disamping Mahakuttah dan menjadi Rajah Mudah dari Sulu. Mahakuttah menjadi sultan Sulu terakhir yang diakui resmi oleh Ruma Bichara dan Manila, dan berkuasa sampai 1986.

Sebelum kematian Mahakuttah A Kiram, Moh. Punjungan Kiram – adik bungsu Esmail E Kiram I – yang menjadi crown prince Sultan Esmail E Kiram I—mengklaim diri sebagai sultan pada 1980. Padahal, ia hanya crown prince. Jika sultan wafat dan putra mahkota belum dewasa, Punjungan Kiram dinobatkan menjadi sultan untuk masa transisi.

Punjungan sempat mengasingkan diri ke Malaysia. Ketika kembali, ia menantang Mahakuttah A Kiram memperebutkan tahta. Punjungan Kiram gagal.

Dari Keluarga Abirin, muncul Aguimuddin Abirin yang menggunakan gelar sultan antara 1980 sampai 1983. Persoalan menjadi pelik, dan benar-benar membingungkan, karena Jamalul Kiram III – putra tertua Punjungan Kiram – ternyata pernah dilantik sebagai sultan sementara antara 1974 sampai 1982, tapi tak diakui Manila.

Tahun 1983, Jamalul Kiram III ditunjuk sebagai sultan tapi baru dilantik tahun 1986. Pada tahun yang sama Muedzul Lail Tan Kiram, pewaris tahta ayahnya, juga dilantik sebagai sultan. Jamalul Kiram ‘berkuasa’ sampai 1990, Lail Tal Kiram disebut sultan oleh pendukungnya sampai 2012.

Di luar ‘istana’-nya, mereka yang mengklaim diri sebagai sultan bermunculan. Mohammad Akijal Atti mengaku sultan antara 1990 sampai 1999. Ismael Kiram II, putra kedua Punjungan Kiram dan adik Jamalul Kiram III, mengaku sultan sejak 1999 sampai saat ini.

Tahun 2004, Muedzul Lail Tan Kiram menunjuk Fuad Kiram sebagai Sultan Sabah. Saat diangkat, Fuad Kiram menandatangani dokumen pengakuan yang berbunyi dirinya mengakui Muedzul Lail Tan Kiram sebagai satu-satunya penguasa Kesultanan Sulu dan Sabah.

Dua tahun kemudian, Lail Tan Kiram mencabut pengangkatan atas diri Fuad Kiram. Lail Tan Kiram menemukan bukti Fuad Kiram mengkorup gelar, dengan menyebut diri sultan Sulu dan Sabah. Fuad tidak peduli. Dia masih menggunakan gelar itu sampai saat ini.

Entah berapa sultan lagi yang akan muncul di Kesultanan Sulu dalam beberapa dekade mendatang. Yang pasti, setelah Jamalul Kiram II menyerahkan negaranya kepada AS lewat Carpenter Agreement 1915, Kesultanan Sulu tidak ubahnya pepesan kosong.

Susah Payah Melepas Klaim atas Sabah


ferdinand marcos

Sejak 1977 Filipina berupaya menghapus klaimnya atas Sabah, tapi enam presiden negeri itu gagal mendapat konsesus nasional. Malaysia menggunakan superioritas ekonomi dalam hubungan bilateral untuk menekan Manila agar tidak lagi memunculkan klaim atas sekeping wilayah di Kalimantan itu.

Adalah Ferdinand Marcos yang kali pertama mengungkapkan niat Filipina menghapus klaim atas Sabah, pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Kuala Lumpur. Padahal, Marcos adalah pewaris cita-cita Diosdado Macapagal – presiden sebelumnya yang memasukan Sabah ke dalam konstitusi Filipina.

Malaysia mereskpon niat Marcos dengan hati-hati. Kuala Lumpur, setelah terungkapnya rencana militer Filipina mendestabilisasi Sabah tahun 1968, menganggap Marcos tidak bisa dipercaya.

Sikap Malaysia terbukti.  Sampai terguling oleh Revolusi Edsa 1986, Marcos tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkan niatnya. 

Adalah Corry Aquino yang serius menghapus klaim Filipina atas Sabah. Beberapa bulan setelah naik menjadi orang nomor satu di Filipina, Aquino menunjuk Senator Leticia Ramos-Shahani mengajukan rancangan undang-undang (RUU) penghapusan klaim atas Sabah ke kongres.

Senator Leticia meletakan kembali archipelagic baseline Filipina seperti semula, atau sebelum Macapagal berkuasa. Aquino berharap kongres menyetujuk RUU ini sebelum pertemuan ASEAN di Manila, 14-16 Desember 1987.

Beberapa hari sebelum pertemuan tingkat tinggi ASEAN, diplomat kedua negara mengadakan pertemuan rahasia di Kuala Lumpur untuk menyelesaikan draft Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama, serta Kesepakatan Patroli Bersama di Perbatasan kedua negara.

Bagi Filipina, ini adalah quid pro quo, atau sesuatu yang diberikan Malaysia sebagai balasan atas niat bagik Manila melepas klaim atas Sabah. Jose Ingles, wakil menlu Filipina saat itu, mengatakan perjanjian perbatasan dimaksudkan untuk mencegah lalu-lalang separatis Muslim Filipina dari Palawan, Tawi Tawi, dan Kepulauan Sulu ke Sabah.

Patroli bersama di perbatasan kedua negara dimaksudkan untuk mencegah penyelundupan senjata dari Sabah ke Mindanao. Ini amat penting, karena sejak Nur Misuari membentuk Moro National Liberation Front (MNLF) dan berusaha memisahkan diri dari Filipina, Malaysia adalah penyuplai senjata untuk kelompok separatis ini. 

Kongres mati-matian menentang penghapusan klaim atas Sabah. Alasan sejumlah anggota kongres, terutama yang berasal dari selatan Filipina, adalah penghapusan klaim Filipina atas Sabah akan membahayakan status kepemilikan ahli waris Kesultanan Sulu atas wilayah itu.

Majalah Newsbreak melaporkan kegagalan disebabkan sejumlah politisi Muslim dari selatan Filipina meminta bagian sekian persen dari 70 juta dolar AS, yang akan dibayarkan Malaysia kepada ahli waris Kesultanan Sulu sebagai kompensasi kesediaannya melepas status kepemilikan Sabah. Ahli waris Kesultanan Sulu menolak permintaan itu.

Kegagalan pertama Manila melepas klaim atas Sabah tidak membuat PM Mahathir Mohamad kecewa. Kepada wartawan, Mahathir mengatakan Aquino benar-benar tulus menyelesaikan masalah sengketa wilayah. Raul Manglapus, menteri luar negeri Filipina saat itu, mengatakan Manila telah melakukan yang terbaik tapi segalanya sulit diprediksi.

Sedangkan Blas Ople, ketua Komite Hubungan Luar Negeri di senat Filipina, mengatakan Aquino gagal mengumpulkan dukungan publik yang diperlukan untuk melakukan perubahan hukum. Setelah kegagalan itu, Aquino tidak lagi berusaha mendekati politisi dari selatan Filipina dan ahli waris Kesultanan Sulu.

Fidel Ramos, yang menggantikan Aquino, mencoba melanjutkan upaya pendahulunya. Rodolfo Severino, mantan Dubes Filipina untuk Malaysia, mengatakan Kuala Lumpur berharap bisa berunding dengan Ramos. Ini diperlihatkan PM Mahathir dengan melakukan kunjungan ke Manila di luar acara resmi ASEAN. Mahathir  mencoba lebih akomodatif .

Menurut Ople, Kuala Lumpur mempertimbangkan untuk mengubah posisi, dengan tidak terlalu keras menuntut Manila untuk menghapus klaim atas Sabah jika ingin memperkuat kerjasama bilateral.  Dalam pembicaraan dengan Ramos, Mahathir mengatakan memahami kebuntuan politik yang menyebabkan Ramos tidak bisa memperoleh konsesus nasional atas Sabah. Sebagai gantinya, Malaysia yakin lewat penguatan kerjasama ekonomi, masalah Sabah akan selesai dengan sendirinya


Merongrong Klaim

Di era Ramos, penguatan hubungan Filipina-Malaysia ditandai dengan pembentukan Komisi Bersama untuk Kerjasama Bilateral (JCM), Juli 1993. Victoriano Lecaros, Dubes Filipina untuk Malaysia saat itu, mengatakan JCM merupakan interaksi tingkat tinggi. Delegasi kedua negara dipimpin masing-masing menlu. Sedangkan Jose Brillantes, mantan Dubes Filipina untuk Indonesia, menyebut JCM sebagai katup pengaman untuk mencegah ketegangan dan perselisihan.

JCM memicu penciptaan kelompok-kelompok kerja. Setiap kelompok kerja menangani dan mengantisipasi masalah tertentu, dan mencegah apa yang telah terjadi tidak terulang.

Sejak dibentuk 1993, JCM telah enam kali menggelar pertemuan. Pembicaraan di setiap pertemuan melulu fokus pada perdagangan, kerjasama ekonomi, isu sosial, tenaga kerja, dan buruh migran. Setiap orang di JCM mencoba tidak membicarakan masalah Sabah, dan semua sepakat sengketa wilayah ini adalah kasus khusus yang butuh negosiasi khusus.

Namun dalam beberapa pertemuan JCM, pejabat Malaysia mendesak Filipina membangun konsulat di Sabah. Alasannya, agar Filipina bisa lebih bisa melihat kehadiran warga negaranya di wilayah itu.
Sejumlah analis mengatakan Ramos secara tidak langsung telah melepas klaim Filipina atas Sabah.

Selama Ramos berkuasa, Filipina terlibat dalam kesepakatan bilateral dengan Malaysia, yang menyiratkan pengakuan de facto Manila atas kedaulatan Malaysia di Sabah. Dalam Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) yang diluncurkan tahun 1993, misalnya, Sabah menjadi salah satu wilayah  -- wilayah lainnya Sarawak – yang menjadi bagian dari wilayah pertumbuhan Malaysia. 

Dalam kunjungan ke Malaysia, Januari 1993, Ramos dan Mahathir juga membicarakan pembangunan kantor konsulat Filipina di Sabah. Ramos, seperti ditulis Isagani de Castro dicegah untuk tidak membuat pernyataan akan membangun konsulat.

Salah seorang penasehat hukumnya mengatakan jika konsulat dibangun, Manila secara de facto melepas klaim atas Sabah dan akan muncul kemarahan sebagaian masyarakat Filipina. Ramos berdiplomasi dengan mengatakan Manila masih harus mencoba mencapai konsensus nasional untuk masalah Sabah.

Sebagai gantinya Ramos membentuk Joint Bipartisan Legislative-Executive Advisory Council di Sabah, dengan tugas membentuk kebijakan nasional di kawasan sengketa. Namun dewan ini gagal menghasilkan kebijakan.

Kendati tidak mendirikan konsulat, Ramos membentuk empat kantor perwakilan sementara di Kinabalu, Tawau, Sandakan, dan Labuan, yang bisa mengeluarkan passport bagi penduduk Filipina tanpa dokumen dan berisiko ditahan pemerintah Malaysia sesuai Program Regularisasi Malaysia 1997.

Malaysia menyambut baik pembentukan empat kantor itu, karena dianggap sebagai langkah penting bagi pengakuan Manila terhadap kedaulatan Malaysia di Sabah. Namun, semua langkah Ramos bukan tanpa perhatian politisi Muslim dari selatan Filipina.


Terus Mendesak

Dari tahun ke tahun, perekonomian Malaysia terus berkembang. Status ini menjadikan Malaysia superior atas Filipina, dan memungkinkan PM Mahathir Mohamad terus melancarkan tekanan kepada Manila untuk membuka konsulat.

Setelah Gloria Macapagal-Arroyo menggantikan Joseph Estrada, Mahathir sekali lagi mendesak Manila untuk mendirikan konsulat. Arroyo, seperti pendahulunya, merespon desakan dengan mencoba mendapatkan konsensus kongres.

Seperti Aquino dan Ramos, Arroyo juga gagal. De Castro mengatakan ada dua hal yang membuat pemerintah Filipina kerap gagal mendapatkan konsensus nasional. Pertama, kuatnya posisi nasionalis di kongres. Kedua, semakin gigihnya ahli waris Kesultanan Sulu memperjuangkan haknya lewat kongres.

Meski Filipina belum secara resmi mengeluarkan Sabah dari peta archipelagic-nya, Malaysia merasaya wilayah itu bukan lagi kawasan sengketa kedua negara. Urusan Sabah, dalam pandangan Kuala Lumpur, relatif hanya antara ahli waris Kesultanan Sulu dan Malaysia.

Asumsi Malaysia tidak mengada-ada. Saat berkuasa, Arroyo berjanji akan mengajukan klaim batas-batas wilayah Filipina, dengan Sabah dikeluarkan dari peta.

Terakhir, sejak 2003 Malaysia menyediakan diri menjadi broker perdamaian MILF-pemerintah Filipina. Meski sempat mengalami kemunduran akibat sikap Arroyo yang menolak menandatangani perjanjian sebelum tentara MILF dilucuti, Kuala Lumpur telah mencium aroma sukses menciptakan stabilitas di selatan Filipina.

Di sisi lain, Filipina menjadi korban kebijakannya sendiri. Analis politik luar negeri Filipina melihat internasionalisasi masalah separatis Muslim memperlemah Manila. Sukses Kuala Lumpur sebagai broker perdamaian membuat pengaruh Malaysia di selatan Filipina menjadi sangat kuat. Jika Manila menggunakan solusi militer untuk menangani separatis, Filipina menghapus pengaruh Malaysia di Mindanao dan pulau-pulau sekitarnya.

Sebelum meninggal dunia, Hashim Salamat – mantan chairman Moro Islamic Liberation Front (MILF) – mengatakan quid pro quo yang diinginkan Malaysia atas perannya sebagai broker perdamaian adalah terhapusnya klaim Filipina atas Sabah. Setidaknya, demikian Hashim Salamat, Kuala Lumpur berharap klaim atas Sabah ‘tertidur’ tanpa batas waktu.

Bagi ahli waris Kesultanan Sulu, persoalan belum selesai. Sabah masih milik mereka, dan Malaysia penyewa. Tidak ada kedaulatan di atas tanah sewa.

Bersedia Mati Demi $2 per Hari








Men with guns roam free and the police are afraid to go out at night


Sultan Jamalul Kiram III menyebut pasukan yang menyusup ke Sabah sebagai Tentara Kesultanan Sulu. Benigno Aquino III, presiden Filipina, menjuluki mereka sebagai tentara pribadi sang sultan, dan ilegal.

Sejak Pembantaian Maguindanao, November 2009 -- pembunuhan massal yang dilakukan Keluraga Ampatuan terhadap lawan politik, 12 wartawan, dan pengacara – pemerintah Filipina melarang pembentukan tentara pribadi, atau private army. Namun, mengapa Jamalul Kiram III dengan mudah mengumpulkan lebih dari 200 orang bersenjata untuk menyerbu Sabah?


Demi Uang

Jika Anda berjalan dari Davao City ke South Cotabato, atau menelusuri Zamboanga City, Zamboanga del Norte, Zamboanga del Sur, sampai ke Maguindanao, akan menemukan sedemikan banyak pria bersenjata di tepi jalan, di depan barangay – unit permukiman terkecil dalam system pemerintahan Filipina – atau di sudut-sudut jalan sempit.

Tahun 1996, saat Republika menyambangi kota-kota itu, sangat mudah menemui orang-orang berenjata di jalan-jalan kota dan desa. Sebagian berseragam, lainnya tidak. Mereka yang berseragam mengenakan berbagai identitas; Civilian Armed Forces Geographical Unit (Cafgu), Civilian Volunteer Organization (CVO), Civilian Emergency Force (CEF), Civilian Armed Forces Geographical Unit Active Auxiliaries (CAA), Barangay Marines (BM), dan masih banyak lagi.

Mereka yang tidak berseragam bisa menyebut diri apa saja, tapi kebanyakan penyedia jasa pengawalan para pengusaha, politisi, atau siapa saja yang bersedia membayar. Jika sedang beruntung, mereka bisa mendapatkan klien yang bersedia membayar sesuai tarif yang diajukan.

Ja’far, seorang simpatisan MNLF yang ditemui Republika tahun 1996, memutuskan tidak lagi menjadi pekerja kasar di Malaysia setelah perdamaian di Mindanao tercapai. Saat pertemuan di Jolo, Ja’far mengatakan dirinya membutuhkan senjata agar bisa mencari pekerjaan sebagai tenaga pengaman bayaran.

Dua hari kemudian dia muncul lagi di Jolo, di sebuah gedung empat lantai milik MNLF, dengan satu pistol di pinggang dan senapan semiotomatis tangannya. Ia menghabiskan hampir setengah hasil kerjanya di Malaysia selama satu tahun untuk mendapatkan kedua senjata itu.

Ja’far tidak mengatakan di mana akan mencari pekerjaan seperti itu; Zamboanga, Davao City, atau Cobato. Ia mengatakan sangat yakin dua senjata miliknya bisa menghidupi satu istri dan dua anak yang masih kecil-kecil.
Seorang tentara Indonesia berpangkat kapten, yang bertugas memantau gencatan senjata MNLF-Filipina di Mindanao, mengatakan Ja’far hanya satu dari ribuan orang di Mindanao menafkahi keluarga dengan cara seperti itu. Ja’far bukan tidak punya pilihan. Ia bisa saja kembali bekerja di Malaysia. Namun ketika memilih menetap di kampung halaman, Ja’far tidak punya banyak pilihan.

Memiliki senjata membuat Ja’far tidak sekadar menjadi tenaga pengaman para bisnisman. Ia bisa mengabdi ke pemerintah dengan menjadi anggota paramiliter, milisi, pengaman barangay, bagian dari kelompok gangster, dan membentuk kelompok kriminal sendiri.

Akibatnya, kekerasan bersenjata kerap menjadi fenomena sehari-hari di kota-kota di Mindanao. Menurut The Institute of Bangsamoro Studies and the Centre for Humanitarian Dialogue, kekerasan bisa bermotif apa saja; persaingan antarklan, perebutan kekuasaan politik lokal, sumber daya alam, ideology, sektarianisme, atau sekadar main sendiri dan kejahatan oportunistik.

Bagi sumber daya manusia (SDM) bersenjata, motif tidak penting. Mereka bersedia melakuka tindakan kekerasan kepada siapa pun asal mendapat bayaran sesuai.


Milisi

Segalanya berawal di tahun 1950, ketika Hukbong Bayan Laban sa Hapon (Hukbalahap) – Pasukan Rakyat anti-Jepang – mengorganisir kembali dirinya dan melakukan pemberontakan di Luzon tengah. Berkekuatan 15.000 petani bersenjata, Huks – demikian kelompok komunis ini disebut – menuntut pemerintah memberikan tanah-tanah para tuan.

Presiden Manuel Roxas (1946-1949), Elpidio Quirino (1949-1953) dan Ramon Magsaysay  (1954-1958), merespon pemberontakan Huks dengan mempersenjatai penduduk sipil dan membentuk milisi. Alasannya sederhana, pemerintah membutuhkan penduduk setempat yang memahami kondisi geografi dan demografi, serta menegaskan kontrol pemerintah atas seluruh negeri dengan biaya murah. Di sisi lain, konstitusi Filipina mengakui perlunya keamanan sipil.

Ada kelompok lain, yang terdiri dari mantan tentara AS yang melakukan perang gerilya melawan Jepang di Timur Jauh, membantu Filipina mengorganisir sejumlah kelompok milisi dengan nama berbeda-beda; Civilian Guards, Civilian Commando Units, Home Guards atau Special Police.

Di Mindanao, terminologi milisi berbelit-belit. Milisi sering digambarkan sebagai paramiliter, karena hubungannya keamanan negara. Paramiliter adalah istilah yang didefinisikan Departemen Pertahanan AS, yaitu kekuatau atau kelompok berbeda dari tentara regular tapi memiliki organisasi dan peralatan yang sama.

Ada beberapa jenis kelompok milisi di Filipina, yang diklasifikasikan sesuai keterlibatan pemerintah pusat dan militer. Cafgu, misalnya, merupakan bagian dari hirarki militer. Sedangkan CVO merupakan komponen bersenjata dari organisasi pertahanan lokal. Jika digunakan sebagai pengganda kepolisian, CVO dipersenjatai. Kelompok lain adalah Vigalante, yang digunakan pemerintah untuk melawan pemberontakan.

Terminologi yang labih luas dari milisi adalah orang-orang sipil yang diorganisir dan dipersenjatai oleh entitas negara, politisi, klan, dan kelompok-kelompok bersenjata. Tidak peduli apakah mereka berseragam atau tidak.

Tahun 1968, ketika intelejen pemerintah mendapatkan bukti Huks bangkit lagi kali kedua, dan berganti nama menjadi New People Army (NPA), AB Filipina membentuk Barrio Self Defense Units (BSDU), yang digunakan untuk operasi counter-insurgency. Namun, seiring perjalanan waktu, BSDU mencari uang dengan melibatkan diri dalam kegiatan ilegal dan menjadi kaki tangan politisi lokal.

Marcos membubarkan BSDU tahun 1976, dan segera menggantinya dengan Integrated Civilian Home Defense Force (ICHDF). Namun kelompok milisi baru ini menghadapi persoalan manajemen dan koordinasi. Mereka tidak tahu harus menginduk ke siapa; militer, polisi, politisi lokal, atau eksekutif tingkat bawah.
Mereka tak terlatih, dan bergaji sangat kecil. Akibatnya, personel ICHDF lebih banyak menjadi bodyguard.
Dua tahun kemudian, ICHDF dibubarkan, dan diganti dengan Civilian Home Defense Force CHDF. Namun, perilaku personelnya tetap sama. Bahkan CHDF, yang terdiri dari bocah-bocah belasan tahun, terkenal sebagai perampok ternak petani; kerbau dan sapi.

Penduduk menudingnya anggota MNLF, dan menjadi sasaran penculikan. Ratusan anggota CHDF menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan oleh penduduk, tanpa pernah ditemukan jasadnya.

Di era Marcos, AB Filipina membentuk dua kelompok milisi; Rock Christ dan Ilaga. Yang pertama terdiri dari orang-orang Kristen yang bertekad balas dendam. Yang kedua terkenal sebagai milisi paling brutal dan sadis, serta beroperasi di Cotabago.

Untuk mengatasi NPA, Marcos mempersenjatai anggota komunis yang insaf dan membentuk Alsa Masa. Mereka beroperasi di Davao, dengan tugas merekrut penduduk, melatih, dan melakukan operasi perlawanan.

Selain ketiganya, masih terdapat kelompok lain; Alamara, Alsa Lumad, Ituman Group, Kuratong Baleleng, Nakasaka, dan Tadtad. 


Kemiskinan, Pilihan

Juli 1987, pemerintah Filipina membentuk Cafgu, sebagai akibat rendahnya anggaran militer. Selain itu ada pula Special Civilian Armed Forces Geographical Units (SCAAs), yang didanai pebisnis lokal, serta Local Government Units (LGUs) – milisi pemerintah lokal yang berada di bawah control AB Filipina.

LGU membentuk CVO, milisi yang dipersenjatai dalam keadaan tertentu dan bertugas membantu Cafgu. Belakangan, CVO menjadi tentara pribadi para politisi dan keluarga. Di Maguindanao, misalnya, CVO sepenuhnya bekerjasama dengan politisi setempat, dipersenjatai, dan digunakan untuk melawan MILF.

Tidak mudah bagi AB Filipina membentuk paramiliter. Kemiskinan, dan tidak adanya pilihan lapangan pekerjaan, membuat generasi muda Mindanao tergiur menjadi anggota Cafgu atau CVO. Mereka mendapat pelatihan, dan gaji 8 sampai 12 dolar, kira-kira Rp 70 sampai Rp 100 ribu, per pekan.

Dibanding CVO, personel Cafgu mendapat upah sedikit lebih besar, yaitu 68 dolar AS – kira-kira Rp 600 ribu – per bulan. Upah terkecil diterima milisi CEF dan BM, masing-masing 21 dan 25 dolar AS per bulan.

Survei The Institute of Bangsamoro Studies and the Centre for Humanitarian Dialogue menunjukan 91 persen anggota milisi mengaku keluarga mereka sangat mendukung keikut-sertaan mereka dalam Cafgu, CEF, BM, dan CVO. Bagi keluarga, yang terpenting adalah menghasilkan uang.

Seorang anggota Cafgu mengatakan ada dua hal yang membuatnya bergabung. Pertama, takut dicap anggota NPA dan ditangkap. Kedua, penghasilan sebagai Cafgu membuat keluarganya sedikit bisa mengatasi persoalan financial.

Saat ini, setelah kian meredanya perlawanan kelompok Muslim, Cafgu relatif hanya digunakan untuk menjaga Mindanao dari penyusupan elemen NPA ke masyarakat. Cafgu lebih bisa bisa dikendalikan AB Filipina. CVO, seperti di Maguindanao, berubah menjadi tentara pribadi politisi, klan, dan penguasa lokal.

Merekrut Cafgu dan CVO untuk kepentingan operasi skala besar, seperti penyusupan ke Sabah, memang tidak mungkin. Namun, khusus di Mindanao, siapa pun bisa membentuk pasukan jika memiliki uang.

Sumber daya manusia (SDM) bersenjata yang bisa direkrut sangat banyak. Mereka adalah mantan prajurit MNLF yang tidak bisa berintegrasi ke dalam AB Filipina. Setelah perjanjian damai MNLF-Manila, AB Filipina hanya bersedia menampung 5.700 dari 15.000 tentara pimpinan Nur Misuari.

Sisanya? Menjadi pengangguran, atau menjadi tentara pribadi. Meski pemerintah melarang pembentukan tentara pribadi, saat ini terdapat 170 kelompok tentara pribadi di Kawasan Otonomi Muslim Mindanao.

Pun, tidak seluruh veteran MNLF terserap ke dalam kelompok tentara bayaran. Mereka yang bekerja serabutan, siap menerima pekerjaan yang membutuhkan keahlian menembak, berperang dan membunuh. Jadi, tidak aneh jika Sultan Jamalul Kiram III dengan mudah membentuk pasukan.

Lebih mudah lagi, mayoritas MNLF adalah orang Tausug – etnis yang memiliki sejarah dengan Kesultanan Sulu dan romantisme dengan Sabah. Sedangkan MILF didominasi etnis Maranaw, yang lebih dekat ke sultan-sultan di Semenanjung Malaya.

Tidak diketahui berapa veteran MNLF dibayar untuk menjadi anggota Militer Kesultanan Sulu. Yang pasti, ada figure lain yang mendanai mereka, bukan Sultan Jamalul Kiram III.