Minggu, 21 April 2013
Kartini dan Islam
Dalam suratnya ke Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis; Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa?
Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Al Quran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa partinya.
Namun, Kartini tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang -- lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Adalah Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, yang menuliskan kisah ini.
Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
"Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?" Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh balik bertanya.
"Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku," ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; "Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Al Quran ke dalam Bahasa Jawa.
Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kyai Sholeh meninggal dunia.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Rabu, 10 April 2013
Sekeping Emas Bernama Sabah
Tahun 1962, seperti tahun-tahun sebelumnya sejak
1939, keluaraga-keluarga ahli waris Sultan Jamalul Kiram II berkumpul di
Maimbung, ibu kota Kesultanan Sulu. Mereka adalah keluarga Sultan Punjungan
Kiram, Datu Esmail Kiram, Dayang Dayang Piandao Kiram, Dayang Dayang Sitti Rada
Kiram, Princess Tarhata Kiram, Princess Sakinur-In Kiram, Dayang Dayang Putli
Jahara Kiram, Dayang Dayang Sitti Mariam Kiram and Mora Napsa.
Mereka tidak sedang melakukan pertemuan untuk
membahas masa depan kesultanan, tapi membagi uang sewa Sabah yang dibayarkan North
Boreno Company (NBC), yang jumlahnya 5.300 koin emas Meksiko. Itu bukan jumlah
yang kecil, bukan hanya untuk ukuran saat itu, tapi juga saat ini.
Tidak ada yang tahu siapa memperoleh terbesar. Hakim
McKaskie, ketua Pengadilan Tinggi Borneo Utara yang menetapkan nama-nama ahli
waris Sultan Jamalul Kiram II, tidak menetapkan persentase bagian setiap orang
karena tidak ada yang bisa mengklaim layak mendapat terbanyak. Tidak terkecuali
Hajjah Dayang Dayang Piandao – keturunan langsung Sultan Badaruddin, yang
menyewakan Sabah ke NBC tahun 1878.
Koin emas itulah yang...
Tragedi Kesultanan Sulu
Sejak naik
tahta tahun 1894, Sultan Jamalul Kiram II melakukan segala cara untuk mendapat
keturunan. Ia menikahi lebih 100 wanita Tausug, tapi tak satu pun memberinya anak.
Pada 7 Juni 1936, Jamalul Kiram II mengembuskan nafas terakhir, meninggalkan
tahta Kesultanan Sulu tanpa pewaris yang sah.
Criselda
Yabes, dalam Sabah as the last gold coin,
menulis kematian Jamalul Kiram II – bersamaan dengan menguatnya kolonialisme AS
dan munculnya gagasan Persemakmuran Filipina – menandai akhir Kesultanan Sulu
sebagai entitas politik. Hajjah Dayang Dayang Piandao – cucu Sultan Jamalul
A’Lam – tidak mungkin menggantikan Jamalul Kiram II, karena tradisi Tausug
tidak menghendaki perempuan sebagai pemimpin.
Jamalul
Kiram II dimakamkan di Maimbung – ibu kota Kesultanan Sulu. Makamnya terabai,
dihinakan pemerintah Filipina dan penduduk Katolik, karena dianggap
melambangkan masa lalu yang buruk. Tahun 2010, AB Filipina membangun markas
detasemen marinir di lokasi makam, dan di sisi lainnya terdapat budi daya
sayur-mayur, serta sebuah pasar kecil tempat masyarakat sekitar berniaga.
Tidak ada
lagi jejak Astana, atau istana, yang pernah menjadi spektrum sebuah kerajaan.
Maimbung, sejak kematian Jamalul Kiram II, kehilangan martabatnya sebagai pusat
budaya dan kerajaan Islam. Yang ada adalah jalan-jalan kumuh, berdebu, kotor, dan
kehidupan perbanditan.
Tiga Sultan
Bukan kali
pertama Kesultanan Sulu kehilangan pemimpin tanpa pewaris yang sah. Tahun 1894,
Sultan Badaruddin II wafat tanpa meninggalkan pewaris. Hajjah Amina, permaisuri
Sultan Badaruddin, sedang mengandung anak ketujuh ketika sang suami
mengembuskan nafas terakhir.
Enam anak
Sultan Badaruddin II dari rahim Hajjah Amina, laki-laki dan perempuan,
meninggal akibat sakit sebelum mencapai usia dewasa. Harapan para datu, atau
bangsawan, adalah Amina melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi
penerus Sultan Badaruddin II.
Ruma
Bichara, parlemen kesultanan yang berisi para pemuka agama dan bangsawan,
sepakat mengangkat Jamalul Kiram II – adik Sultan Badaruddin II – sebagai
sultan. Jamalul Kiram II tahu dirinya hanya sultan sementara. Ketika Amina
melahirkan anak laki-laki, dia harus melepas tahtanya saat putra Sultan
Badaruddin II dewasa.
Yang
terjadi adalah Hajjah Amina melahirkan seorang bayi perempuan, dan diberi nama Dayang
Dayang Piandao. Dayang Dayang adalah gelar tertinggi di dalam istana Kesultanan
Sulu, dan hanya putri pertama sultan boleh menggunakannya.
Dua tahun
setelah pengangkatan Jamalul Kiram sebagai sultan, Spanyol memprovokasi
sejumlah datu untuk memproklamirkan Harun ar-Rashid sebagai penguasa. Harun
ar-Rashid adalah keturunan langsung Alimuddin I, sultan ke-19 Sulu.
Terdapat
dua kepemimpinan di Kesultanan Sulu. Spanyol relatif sukses memecah para datu,
tapi gagal membenturkannya. Harun ar-Rashid tidak pernah mendapat dukungan Ruma
Bichara dan mayoritas rakyat Kesultanan Sulu.
Ketika
Harun ar-Rashid gagal meyakinkan rakyat Sulu bahwa dirinya adalah pewaris sah
tahta kesultanan, Spanyol melepaskan dukungan. Spanyol membujuk Ar-Rashid turun
tahta tahun 1894 dan diam-diam mengakui Jamalul Kiram.
Ar-Rashid
tidak punya pilihan selain meninggalkan Maimbung, dan berlayar menuju Pulau
Palawan. Lima tahun kemudian, tepatnya April 1899, Ar-Rashid meninggal dunia.
Jamalul
Kiram II mengadopsi Dayang Dayang Piandao sebagai anak, dan memberinya nama
Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram. Ia juga menikahi Hajjah Amina. Jamalul
Kiram II berharap dari rahim Amina akan lahir seorang anak laki-laki keturunannya,
yang mewariskan tahta Kesultanan Sulu.
Sebelum
menikahi Hajjah Amina, Jamalul Kiram telah memiliki beberapa istri, tapi tak
satu pun memberinya anak. Ia menikah lagi, beberapa kali, tapi tak juga
mendapat keturunan. Jamalul Kiram II coba mempersiapkan Dayang Dayang Piandao
sebagai penerusnya, tapi Ruma Bichara tidak menghendaki Kesultanan Sulu
dipimpin seorang wanita.
Ketika
Sultan Jamalul Kiram II mulai sakit-sakitan, kekhawatiran melanda seluruh datu
dan sharif di sekujur Kesultanan Sulu. Sebagian memilih wait and see, tapi lainnya menjalankan agenda politinya sendiri.
Di Parang,
pada 11 April 1936 – atau kurang dua bulan sebelum Jamalul Kiram II meninggal
dunia – sejumlah datu mengangkat Sultan Bomid-din I,
saudara termuda Sultan Badaruddin II, sebagai Sultan Sulu. Ruma Bichara di
Maimbung, dan para datu di wilayah Kesultanan Sulu lainnya, tidak mengakui
pengangkatan itu.
Kebingungan
melanda istana Kesultanan Sulu pasca kematian Jamalum Kiram. Sekali lagi Ruma
Bichara harus memutuskan siapa yang berhak menjadi penerus tanhta Kesultanan
Sulu. Setelah melewati berbagai pertemuan,
dan idukung banyak datu, Ruma Bichara mengangkat Muwallil Wasit II – adik
Jamalul Kiram II – sebagai sultan.
Ruma
Bichara coba membujuk para datu dan sharif di Parang untuk membatalkan
pengangkatan Sultan Bod-din I, dan menerima Muwallil Wasit II sebagai sultan.
Upaya itu gagal total. Akibatnya, Muwallil Wasit II tidak bisa segera dilantik.
Pembicaraan
antara para datu di Parang dan Maimbung menemui jalan buntu. Ruma Bichara di
Maimbung akhirnya memutuskan untuk segera melantik Muwallil Wasit II. Namun
sebelum pelatintikan berlangsung, dan enam bulan setelah Ruma Bichara melakukan
pemilihan, Muwallil Wasit II terbunuh.
Pengadilan
Tinggi Borneo Utara memperkeruh suasana dengan mengeluarkan dua keputusan
bertolak belakang. Pertama, pada 16 Agustus 1937, pengadilan yang berkedudukan
di Kinabalu itu memutuskan Hajjah Dayang Dayang Pinandao Kiram II – keturunan
langsung Sultan Badaruddin II, yang menyewakan Sabah ke North Borneo British
Company – sebagai pewaris pemerintahan dan seluruh properti yang pernah
dikuasai almarhum Jamalul Kiram II.
Dua
tahun kemudian, Pengadilan Tinggi Borneo Utara mengakui posisi Muwallil Wasit
II sebagai penerus Jamalul Kiram II, dan ahli waris yang sah atas wilayah
Sabah. Dua keputusan Pengadilan Tinggi Borneo Utara itu dikeluarkan oleh hakim
yang sama, yaitu Hakim McKaskie.
Sejak
kematian Muwallil Wasit II, Kesultanan Sulu memiliki tiga sultan. Pertama,
Sultan Bomid-din I yang berkedudukan di Parang. Kedua, Amirul Umara I – suami
Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram – yang berkedudukan di Maimbung. Ketiga, Jainal
Abirin – lahir sebagai Datu Tambuyong – berkuasa di Patikul.
Bomid-din
tidak didukung siapa pun. Saat Jepang datang, Amirul Umara I – dikenal pula
dengan nama Amil Bangsa – diakui kekaisaran negeri Matahari Terbit. Jainal
Abirin didukung Amerika Serikat (AS).
Amirul
Umara dan Jainal Abirin ‘bertahta’ sampai 1950. Umara kehilangan pengaruh
setelah Hajjah Dayang Dayang Piandao Kiram meninggal dunia, tak lama setelah
usai Perang Dunia II. Seperti pamannya, Piandao tidak memiliki anak, dan
meninggalkan keluarga yang cakar-cakaran.
Tidak
ada cerita tentang Abirin sampai enam dekade setelah 1950. Kisah tentang Abirin
muncul kembali, ketika Aga Muhlach – host
acara travel Pinoy Explorer di
TV5 Filipina – menemukan seorang pria tua di rumah jompo Patikul yang mengaku
keturunan Abirin.
Ketika
difilmkan, lelaki yang tak disebutkan namanya itu duduk di depan rumah jompo tertutup
pohon kepala di pinggir pantai. Ia menjadi history
teller tentang nasib tragis Kesultanan Sulu, pemberontakan dan konflik
bersenjata.
Namun
suaranya tidak didengar. Di sekelilingnya, anggota keluarga Kiram yang
berkeliaran di sekujur Kepulauan Sulu, Palawan, dan Tawi Tawi, mendirikan
‘kantor’ perkrutan tentara, menenggelamkan anak-anak muda Tausug romantisme
masa lalu, dan menanamkan obsesi akan kemungkinan membangkitkan kembali
Kesultanan Sulu.
Sultan Palsu
Setelah
Umara dan Abirin lengser, Bomid-din menjadi satu-satunya penguasa Kesultanan
Sulu. Namun itu tidka berlangsung lama. Para datu dan sharif di Maimbung tetap
tidak mengakui Bomid-din, dan mengangkat Moh. Esmail E.
Kiram I -- Esmail E Kiram I adalah putra tertua
Muwallil Wasit II
--sebagai sultan.
Sejak
kematian Jamalul Kiram II, pemerintah Filipina – sebagai penerus kekuasaan AS –
sultan-sultan berikut. Situasi berubah setelah 1950. Manila, suka atau tidak,
harus mengakui bahwa Kesultanan Sulu masih ada.
Terjadi
pertarungan antara Bomid-din dan Esmail E Kiram I, untuk mendapatkan pengakuan
Manila. Esmail E Kiram I memenangkannya. Pada 12 September 1962, Presiden
Diosdado Macapagal secara resmi memberikan kekuasaan atas Kesultanan Sulu
kepada Esmail E Kiram I.
Sepuluh
tahun kemudian, President Ferdinand Marcos mengeluarkan
dokumen yang menyatakan Manila mengakui eksistensi Kesultanan Sulu,
pemerintahan Kesultanan Sulu, dan Sultan Moh. Esmail E. Kiram sebagai penerus
Raja Muda Muwallil Wasit.
Tahun
1974, sepeninggal Esmail E Kiram I, Ruma Bichara mengangkat Moh.
Mahakuttah A. Kiram. Presiden Marcos mengeluarkaan Momorandum Order 427 tahun
1974, yang menyatakan Mahakuttah adalah pewaris sah Kesultanan Sulu dan
pemerintah berkewajiban mendukung penobatannya pada 24 Mei 1974.
Pada saat penobatan, Datu Muedzul Lail Tan Kiram
– yang baru berusia 8 tahun – duduk disamping Mahakuttah dan menjadi Rajah
Mudah dari Sulu. Mahakuttah menjadi sultan Sulu terakhir yang diakui resmi oleh
Ruma Bichara dan Manila, dan berkuasa sampai 1986.
Sebelum
kematian Mahakuttah A Kiram, Moh. Punjungan Kiram –
adik bungsu Esmail E Kiram I – yang menjadi crown
prince Sultan Esmail E Kiram I—mengklaim diri sebagai sultan pada 1980. Padahal,
ia hanya crown prince. Jika sultan
wafat dan putra mahkota belum dewasa, Punjungan Kiram dinobatkan menjadi sultan
untuk masa transisi.
Punjungan
sempat mengasingkan diri ke Malaysia. Ketika kembali, ia menantang Mahakuttah A
Kiram memperebutkan tahta. Punjungan Kiram gagal.
Dari
Keluarga Abirin, muncul Aguimuddin Abirin yang
menggunakan gelar sultan antara 1980 sampai 1983. Persoalan menjadi pelik, dan
benar-benar membingungkan, karena Jamalul Kiram III – putra tertua Punjungan
Kiram – ternyata pernah dilantik sebagai sultan sementara antara 1974 sampai
1982, tapi tak diakui Manila.
Tahun 1983, Jamalul Kiram III ditunjuk sebagai
sultan tapi baru dilantik tahun 1986. Pada tahun yang sama Muedzul Lail Tan
Kiram, pewaris tahta ayahnya, juga dilantik sebagai sultan. Jamalul Kiram
‘berkuasa’ sampai 1990, Lail Tal Kiram disebut sultan oleh pendukungnya sampai
2012.
Di luar ‘istana’-nya, mereka yang mengklaim diri
sebagai sultan bermunculan. Mohammad Akijal Atti mengaku sultan antara 1990
sampai 1999. Ismael Kiram II, putra kedua Punjungan Kiram dan adik Jamalul
Kiram III, mengaku sultan sejak 1999 sampai saat ini.
Tahun 2004, Muedzul Lail Tan Kiram menunjuk Fuad
Kiram sebagai Sultan Sabah. Saat diangkat, Fuad Kiram menandatangani dokumen
pengakuan yang berbunyi dirinya mengakui Muedzul Lail Tan Kiram
sebagai satu-satunya penguasa Kesultanan Sulu dan Sabah.
Dua tahun kemudian, Lail Tan Kiram
mencabut pengangkatan atas diri Fuad Kiram. Lail Tan Kiram menemukan bukti Fuad
Kiram mengkorup gelar, dengan menyebut diri sultan Sulu dan Sabah. Fuad tidak
peduli. Dia masih menggunakan gelar itu sampai saat ini.
Entah berapa sultan lagi yang akan muncul di
Kesultanan Sulu dalam beberapa dekade mendatang. Yang pasti, setelah Jamalul
Kiram II menyerahkan negaranya kepada AS lewat Carpenter Agreement 1915,
Kesultanan Sulu tidak ubahnya pepesan kosong.
Bersedia Mati Demi $2 per Hari
Sultan Jamalul Kiram III menyebut pasukan yang
menyusup ke Sabah sebagai Tentara Kesultanan Sulu. Benigno Aquino III, presiden
Filipina, menjuluki mereka sebagai tentara pribadi sang sultan, dan ilegal.
Sejak Pembantaian Maguindanao, November 2009 --
pembunuhan massal yang dilakukan Keluraga Ampatuan terhadap lawan politik, 12
wartawan, dan pengacara – pemerintah Filipina melarang pembentukan tentara
pribadi, atau private army. Namun,
mengapa Jamalul Kiram III dengan mudah mengumpulkan lebih dari 200 orang
bersenjata untuk menyerbu Sabah?
Demi
Uang
Jika Anda berjalan dari Davao City ke South
Cotabato, atau menelusuri Zamboanga City, Zamboanga del Norte, Zamboanga del
Sur, sampai ke Maguindanao, akan menemukan sedemikan banyak pria bersenjata di
tepi jalan, di depan barangay – unit
permukiman terkecil dalam system pemerintahan Filipina – atau di sudut-sudut
jalan sempit.
Tahun 1996, saat Republika
menyambangi kota-kota itu, sangat mudah menemui orang-orang berenjata di
jalan-jalan kota dan desa. Sebagian berseragam, lainnya tidak. Mereka yang
berseragam mengenakan berbagai identitas; Civilian Armed Forces Geographical
Unit (Cafgu), Civilian Volunteer Organization (CVO), Civilian Emergency Force
(CEF), Civilian Armed Forces Geographical Unit Active Auxiliaries (CAA), Barangay
Marines (BM), dan masih banyak lagi.
Mereka yang tidak berseragam bisa menyebut diri apa
saja, tapi kebanyakan penyedia jasa pengawalan para pengusaha, politisi, atau
siapa saja yang bersedia membayar. Jika sedang beruntung, mereka bisa
mendapatkan klien yang bersedia membayar sesuai tarif yang diajukan.
Ja’far, seorang simpatisan MNLF yang ditemui Republika tahun 1996, memutuskan tidak
lagi menjadi pekerja kasar di Malaysia setelah perdamaian di Mindanao tercapai.
Saat pertemuan di Jolo, Ja’far mengatakan dirinya membutuhkan senjata agar bisa
mencari pekerjaan sebagai tenaga pengaman bayaran.
Dua hari kemudian dia muncul lagi di Jolo, di sebuah
gedung empat lantai milik MNLF, dengan satu pistol di pinggang dan senapan
semiotomatis tangannya. Ia menghabiskan hampir setengah hasil kerjanya di
Malaysia selama satu tahun untuk mendapatkan kedua senjata itu.
Ja’far tidak mengatakan di mana akan mencari
pekerjaan seperti itu; Zamboanga, Davao City, atau Cobato. Ia mengatakan sangat
yakin dua senjata miliknya bisa menghidupi satu istri dan dua anak yang masih
kecil-kecil.
Seorang tentara Indonesia berpangkat kapten, yang
bertugas memantau gencatan senjata MNLF-Filipina di Mindanao, mengatakan Ja’far
hanya satu dari ribuan orang di Mindanao menafkahi keluarga dengan cara seperti
itu. Ja’far bukan tidak punya pilihan. Ia bisa saja kembali bekerja di
Malaysia. Namun ketika memilih menetap di kampung halaman, Ja’far tidak punya
banyak pilihan.
Memiliki senjata membuat Ja’far tidak sekadar
menjadi tenaga pengaman para bisnisman. Ia bisa mengabdi ke pemerintah dengan
menjadi anggota paramiliter, milisi, pengaman barangay, bagian dari kelompok
gangster, dan membentuk kelompok kriminal sendiri.
Akibatnya, kekerasan bersenjata kerap menjadi
fenomena sehari-hari di kota-kota di Mindanao. Menurut The Institute of Bangsamoro Studies and the Centre for Humanitarian
Dialogue, kekerasan bisa bermotif apa saja; persaingan antarklan, perebutan
kekuasaan politik lokal, sumber daya alam, ideology, sektarianisme, atau
sekadar main sendiri dan kejahatan oportunistik.
Bagi sumber daya manusia (SDM) bersenjata, motif
tidak penting. Mereka bersedia melakuka tindakan kekerasan kepada siapa pun
asal mendapat bayaran sesuai.
Milisi
Segalanya berawal di tahun 1950, ketika Hukbong
Bayan Laban sa Hapon (Hukbalahap) – Pasukan Rakyat anti-Jepang – mengorganisir
kembali dirinya dan melakukan pemberontakan di Luzon tengah. Berkekuatan 15.000
petani bersenjata, Huks – demikian kelompok komunis ini disebut – menuntut
pemerintah memberikan tanah-tanah para tuan.
Presiden Manuel Roxas (1946-1949), Elpidio Quirino
(1949-1953) dan Ramon Magsaysay (1954-1958), merespon
pemberontakan Huks dengan mempersenjatai penduduk sipil dan membentuk milisi.
Alasannya sederhana, pemerintah membutuhkan penduduk setempat yang memahami
kondisi geografi dan demografi, serta menegaskan kontrol pemerintah atas
seluruh negeri dengan biaya murah. Di sisi lain, konstitusi Filipina mengakui
perlunya keamanan sipil.
Ada
kelompok lain, yang terdiri dari mantan tentara AS yang melakukan perang
gerilya melawan Jepang di Timur Jauh, membantu Filipina mengorganisir sejumlah
kelompok milisi dengan nama berbeda-beda; Civilian Guards, Civilian Commando
Units, Home Guards atau Special Police.
Di
Mindanao, terminologi milisi berbelit-belit. Milisi sering digambarkan sebagai
paramiliter, karena hubungannya keamanan negara. Paramiliter adalah istilah
yang didefinisikan Departemen Pertahanan AS, yaitu kekuatau atau kelompok
berbeda dari tentara regular tapi memiliki organisasi dan peralatan yang sama.
Ada
beberapa jenis kelompok milisi di Filipina, yang diklasifikasikan sesuai
keterlibatan pemerintah pusat dan militer. Cafgu, misalnya, merupakan bagian
dari hirarki militer. Sedangkan CVO merupakan komponen bersenjata dari
organisasi pertahanan lokal. Jika digunakan sebagai pengganda kepolisian, CVO
dipersenjatai. Kelompok lain adalah Vigalante, yang digunakan pemerintah untuk
melawan pemberontakan.
Terminologi
yang labih luas dari milisi adalah orang-orang sipil yang diorganisir dan
dipersenjatai oleh entitas negara, politisi, klan, dan kelompok-kelompok
bersenjata. Tidak peduli apakah mereka berseragam atau tidak.
Tahun
1968, ketika intelejen pemerintah mendapatkan bukti Huks bangkit lagi kali
kedua, dan berganti nama menjadi New People Army (NPA), AB Filipina membentuk Barrio
Self Defense Units (BSDU), yang digunakan untuk operasi counter-insurgency. Namun, seiring perjalanan waktu, BSDU mencari
uang dengan melibatkan diri dalam kegiatan ilegal dan menjadi kaki tangan
politisi lokal.
Marcos membubarkan BSDU tahun 1976, dan segera
menggantinya dengan Integrated Civilian Home Defense Force (ICHDF). Namun
kelompok milisi baru ini menghadapi persoalan manajemen dan koordinasi. Mereka
tidak tahu harus menginduk ke siapa; militer, polisi, politisi lokal, atau
eksekutif tingkat bawah.
Mereka tak terlatih, dan bergaji sangat kecil. Akibatnya,
personel ICHDF lebih banyak menjadi bodyguard.
Dua tahun kemudian, ICHDF dibubarkan, dan diganti dengan
Civilian Home Defense Force CHDF. Namun, perilaku personelnya tetap
sama. Bahkan CHDF, yang terdiri dari bocah-bocah belasan tahun, terkenal
sebagai perampok ternak petani; kerbau dan sapi.
Penduduk menudingnya
anggota MNLF, dan menjadi sasaran penculikan. Ratusan anggota CHDF menjadi
sasaran penculikan dan pembunuhan oleh penduduk, tanpa pernah ditemukan
jasadnya.
Di era Marcos, AB
Filipina membentuk dua kelompok milisi; Rock Christ dan Ilaga. Yang pertama
terdiri dari orang-orang Kristen yang bertekad balas dendam. Yang kedua
terkenal sebagai milisi paling brutal dan sadis, serta beroperasi di Cotabago.
Untuk mengatasi NPA,
Marcos mempersenjatai anggota komunis yang insaf dan membentuk Alsa Masa.
Mereka beroperasi di Davao, dengan tugas merekrut penduduk, melatih, dan
melakukan operasi perlawanan.
Selain ketiganya, masih
terdapat kelompok lain; Alamara, Alsa Lumad, Ituman Group, Kuratong Baleleng,
Nakasaka, dan Tadtad.
Kemiskinan, Pilihan
Juli 1987, pemerintah
Filipina membentuk Cafgu, sebagai akibat rendahnya anggaran militer. Selain itu
ada pula Special Civilian Armed Forces Geographical Units (SCAAs), yang didanai
pebisnis lokal, serta Local Government Units (LGUs) – milisi pemerintah lokal
yang berada di bawah control AB Filipina.
LGU membentuk CVO, milisi
yang dipersenjatai dalam keadaan tertentu dan bertugas membantu Cafgu.
Belakangan, CVO menjadi tentara pribadi para politisi dan keluarga. Di
Maguindanao, misalnya, CVO sepenuhnya bekerjasama dengan politisi setempat,
dipersenjatai, dan digunakan untuk melawan MILF.
Tidak mudah bagi AB
Filipina membentuk paramiliter. Kemiskinan, dan tidak adanya pilihan lapangan
pekerjaan, membuat generasi muda Mindanao tergiur menjadi anggota Cafgu atau
CVO. Mereka mendapat pelatihan, dan gaji 8 sampai 12 dolar, kira-kira Rp 70
sampai Rp 100 ribu, per pekan.
Dibanding CVO, personel
Cafgu mendapat upah sedikit lebih besar, yaitu 68 dolar AS – kira-kira Rp 600
ribu – per bulan. Upah terkecil diterima milisi CEF dan BM, masing-masing 21
dan 25 dolar AS per bulan.
Survei The Institute of Bangsamoro Studies
and the Centre for Humanitarian Dialogue menunjukan 91 persen
anggota milisi mengaku keluarga mereka sangat mendukung keikut-sertaan mereka
dalam Cafgu, CEF, BM, dan CVO. Bagi keluarga, yang terpenting adalah
menghasilkan uang.
Seorang anggota Cafgu
mengatakan ada dua hal yang membuatnya bergabung. Pertama, takut dicap anggota
NPA dan ditangkap. Kedua, penghasilan sebagai Cafgu membuat keluarganya sedikit
bisa mengatasi persoalan financial.
Saat ini, setelah kian
meredanya perlawanan kelompok Muslim, Cafgu relatif hanya digunakan untuk
menjaga Mindanao dari penyusupan elemen NPA ke masyarakat. Cafgu lebih bisa
bisa dikendalikan AB Filipina. CVO, seperti di Maguindanao, berubah menjadi
tentara pribadi politisi, klan, dan penguasa lokal.
Merekrut Cafgu dan CVO
untuk kepentingan operasi skala besar, seperti penyusupan ke Sabah, memang
tidak mungkin. Namun, khusus di Mindanao, siapa pun bisa membentuk pasukan jika
memiliki uang.
Sumber daya manusia (SDM)
bersenjata yang bisa direkrut sangat banyak. Mereka adalah mantan prajurit MNLF
yang tidak bisa berintegrasi ke dalam AB Filipina. Setelah perjanjian damai
MNLF-Manila, AB Filipina hanya bersedia menampung 5.700 dari 15.000 tentara
pimpinan Nur Misuari.
Sisanya? Menjadi
pengangguran, atau menjadi tentara pribadi. Meski pemerintah melarang
pembentukan tentara pribadi, saat ini terdapat 170 kelompok tentara pribadi di
Kawasan Otonomi Muslim Mindanao.
Pun, tidak seluruh
veteran MNLF terserap ke dalam kelompok tentara bayaran. Mereka yang bekerja
serabutan, siap menerima pekerjaan yang membutuhkan keahlian menembak,
berperang dan membunuh. Jadi, tidak aneh jika Sultan Jamalul Kiram III dengan
mudah membentuk pasukan.
Lebih mudah lagi,
mayoritas MNLF adalah orang Tausug – etnis yang memiliki sejarah dengan
Kesultanan Sulu dan romantisme dengan Sabah. Sedangkan MILF didominasi etnis
Maranaw, yang lebih dekat ke sultan-sultan di Semenanjung Malaya.
Tidak diketahui berapa
veteran MNLF dibayar untuk menjadi anggota Militer Kesultanan Sulu. Yang pasti,
ada figure lain yang mendanai mereka, bukan Sultan Jamalul Kiram III.
Langganan:
Postingan (Atom)