Jumat, 06 Desember 2013

Diplomasi 'Ngambek' Gaya SBY

Sepagian ini saya memelototi layar laptop putri saya untuk membaca sebanyak mungkin artikel yang mengulas hubungan Indonesia-Australia(*). Banyak hal menarik yang saya temukan, terutama soal penyadapan. Namun, ada satu hal yang membingungkan, yaitu sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setelah matahari beranjak naik, saya matikan laptop dan ngeloyor ke luar rumah. Di pinggir jalan depan rumah dua bocah lelaki, sebut saja Si A dan Si B terlihat sedang bertengkar. Si A menuduh Si B mengambil layangan miliknya, dan menuntut pengembalian. Si B berkilah tidak mengambil, tapi menemukan layangan itu tergeletak di suatu tempat.

Adu mulut tak berlangsung lama. Si A meninggalkan Si B seraya bersungut-sungut dan terus menyuarakan tuntutannya. Si B tak menjawab sama sekali.

Kepada putri saya yang sedang memanaskan sepeda motornya, saya bertanya; “Apakah Si A marah kepada Si B.” Putri saya mengatakan ya. Saya bilang; “Tidak, Si A ‘ngambek’. Si B sadar dirinya mencuri, tapi tidak ingin kehilangan muka, sehingga tidak tahu harus berbuat apa.”

Jika Si A serius marah, kata saya lagi, dia seharusnya bertahan di tempatnya dan terus memaksa pengembalian layangan seraya mengancam akan memusuhinya. Mungkin akan ada perkelahian, yang memaksa orang lain melerai.

Saya menggunakan ‘pertengkaran’ dua bocah itu untuk melihat panggung diplomasi Indonesia-Australia yang kian memanas akibat skandal penyadapan. Si A adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Si B Tony Abbott, PM Australia.

SBY memainkan diplomasi ‘ngambek’ ketika skandal penyadapan dirinya terungkap. Ia menuntut Australia secara resmi meminta maaf. Abbott tidak ingin kehilangan muka, dan berusaha mencari cara selain minta maaf secara terbuka (**).

Diplomasi ‘ngambek’ diperlihatkan SBY dengan memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Canberra, tapi tidak mengeluarkan tindakan apa pun terhadap Dubes Australia di Jakarta. Jika SBY benar-benar marah, yang kali pertama dilakukannya adalah mengusir Dubes Australia di Jakarta, dengan mengeluarkan pernyataan persona non grata. Setelah itu menarik Dubes Indonesia di Canberra(***).

Yang marah justru rakyat Indonesia. Para hacker menyerbu situs-situs pemerintah Australia, dan sejumlah ormas melempari Kedubes Astralia dengan telur(****). Yang juga menjadi pertanyaan saya, mengapa tidak ada kemarahan kepada SBY, yang lebih suka ngambek ketimbang marah.

Ngambek cenderung tak efektif. Ini terlihat dari ketiadaan respon Australia terhadap tuntutan Indonesia agar Canberra meminta maaf. Surat Abbott ke SBY juga tidak berisi apa-apa kecuali bla…bla…bla, pujian, dan retorika tentang pentingnya hubungan kedua negara.

Hikmahanto Juwana, professor ilmu hukum Universitas Indonesia (UI), sempat menyarankan agar SBY mengusir seluruh diplomat Australia dari Indonesia dalam 24 jam jika surat Abbott tidak berisi apa-apa.

Saya tidak tahu bagaimana cara memahami respon melankolis SBY terhadap Australia. Yang saya tahu, Australia punya banyak lobby, mungkin lebih tepatnya ‘agen’, di pemerintahan Indonesia. Pelobi Australia terus bekerja, dan Canberra cenderung menunggu saat yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Indonesia tanpa pernah mengeluarkan pernyataan maaf.

Kalau pun semua itu harus dilakukan sampai pemilihan presiden 2014, Australia kemungkinan bersedia melakukannya. Pemerintahan baru di Indonesia akan menyediakan suasana baru bagi Canberra. Tentu saja dengan hubungan baru, tapi tidak harus mengubah protokol hubungan luar negeri kedua negara.

Ini dimungkinkan karena hubungan ekonomi Indonesia-Australia relatif tidak terganggu. Buktinya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mendesak parlemen tetap mengijinkan ekspor sapi dari Australia. Artinya, industry pertanian Australia masih akan tetap makmur, dengan tetap menjadikan Indonesia sebagai pasar.

Jadi, tidak akan ada petani Australia yang bangkrut. Juga tidak akan ada kelangkaan daging sapi di Jakarta, yang membuat orang kaya Indonesia tidak bisa menikmati steak.

                                    ---------------------------------------------------

(*) Pers Australia kerap menulis ‘Australia-Indonesia’. Saya harus menulis ‘Indonesia-Australia’. Ini masalah politik bahasa. Orang Australia menganggap dirinya lebih superior dibanding Indonesia, meski di sisi lain memandang hubungan dengan Indonesia sangat penting dalam segala hal; keamanan, ekonomi, dan boat people issue. Indikasi betapa pentingnya Indonesia bagi Ausralia adalah banyaknya ahli Indonesia di Australia. Di Jakarta, sangat sulit menemukan ahli Australia. Sebagai negara yang sangat penting, maka saya harus menuliskan Indonesia lebih dulu.

(**) Saat berkampanye, Abbott mengemukakan dua janji. Pertama More Jakarta, Less Geneve. Artinya, Austraia akan lebih memfokuskan hubungan dengan Indonesia, seraya mengurangi hubungan historis dengan Eropa. Geneve adalah kota multiras, dan Australia adalah negara multiras. Kedua, Abbott menyebut dirinya sebagai orang yang tidak akan bisa diintimidasi pihak luar. Permintaan maaf Indonesia dilihat Abbott sebagai bentuk intimidasi, dan Abbott sebisa mungkin tidak akan meminta maaf.

(***) Lihat Konvensi Wina 1961 Pasal 9.

(****) Sayangnya bukan telur busuk. Demonstrasi menjadi mahal dan mubazir, karena membuang-buang makanan berprotein tinggi.

2 komentar:

  1. Makasih gan udah share , blog ini sangat bermanfaat sekali .............




    bisnistiket.co.id

    BalasHapus
  2. mohon isi pengetahuan otak anda sebelum komentar apalagi membuat artikel. SBY bukan ngambek kali, itu diplomasi soft power. SBY jg menghentikan kerjasama strategis militer dan asylum seeker serta people smuggling. Tau dampaknya apa bagi hubungan kedua negara? Australia akan rugi besar karena secara gografis Australia membutuhkan kestabilan regional terutama maritime untuk border security dan cara yg oaling utama adalah membangun kerjasama dengan Indonesia untuk counter terrorism. kerjasama indo-aussie dibangun ber-dekade dekade, mau dihapus semalam? Pemikiran pemimpin macam apa itu, perekonomian dan keamanan maritim indonesia akan terpengaruh besar. pikiran cetek seperti anda memang cuma bisa mengkritisi saja.
    jadi baca media indonesia dan media australia supaya pikiran cetek anda ini terobati. semoga anda diberikan ilmu

    BalasHapus