Niat hati ingin membeli makanan kesukaan bernama Toge Goreng, tapi apa daya tubuh renta ini dipaksa berlari ke Vihara Ekayana ketika mendengar kabar ledakan bom di tempat ibadah ummat Buddha itu.
TVOne, satu-satunya televisi yang punya hak berspekulasi soal korban ledakan bom, mengabarkan ledakan melukai tiga jemaat vihara. Sekujur Kelurahan Duri Kepa, tempat vihara itu berlokasi, gempar. Orang-orang yang bermukim dalam radius 200 meter dari vihara keluar rumah untuk melihat kejadian.
Saat saya tiba di depan vihara, telah ada puluhan 'pengrajin' -- demikian saya menyebut reporter online dan televisi. 'Pengrajin' berita dari televisi langsung melapor dari lokasi, seraya menegaskan soal jumlah korban.
Ada yang live phone. Dengan ponsel canggih, sang 'pengrajin' berita malaporkan;".......sejumlah saksi mata mengatakan ledakan di GEREJA VIHARA EKAYANA terjadi dua kali..."
Sampai sedemikian lama, para 'pengrajin' berita masih percaya tentang adanya tiga korban. Ada yang berusaha mengklarifikasi, dengan mencari saksi peristiwa. Nihil.
Saksi yang diwawancarai kebanyakan wartawan adalah Melissa. Ibu rumah tangga warga sekitar itu bukan saksi mata, tapi saksi telinga. Mengaku mendengar ledakan, tapi baru keluar setelah ada berita di TVOne.
Ia jemaat vihara. Ia tahu jadwal kebaktian sore. Setidaknya, Melissa cukup memberi informasi bagus soal vihara.
Mungkin karena saya orang tak jauh dari vihara, dan kenal beberapa tenaga pengaman lingkungan vihara, saya menemukan beberapa sumber menarik. Salah satunya Arif Gunadi, sopir Bhante Aryamaitri, yang kebetulan berada di lokasi.
Bhante Aryamaitri adalah ketua Ekayana Buddhist Center, yayasan yang menaungi Vihara Ekayana Amara, dan lembaga lainnya di lingkungan kompleks tempat ibadah itu.
Arif Gunadi semula terbuka kepada setiap orang yang bertanya, tetapi bungkam setelah dibentak seorang lelaki tua bertubuh gempal yang tak pernah beranjak dari gerbang tinggi vihara, seraya mengawasi wartawan yang berusaha mengorek informasi.
Arif tidak pergi dari depan vihara. Ia bertahan sampai pukul 02.00. Pak Peot, lelaki tua tenaga pengaman lingkungan sekitar, mengatakan; "Ini supir Suhu Arya. Dia sudah di luar jam kerja, jadi nggak bisa masuk vihara lagi."
Ada peraturan, karyawan yang telah pulang -- atau di luar jam kerja -- tidak boleh masuk ke dalam vihara. Karyawan yang boleh keluar-masuk vihara hanya 'anak dalam', jumlahnya lima orang.
Selama berada di depan vihara, saya selalu berusaha mengorek keterangan dari Arif. Namun, setiap kali saya mendekati Arif dan mengajaknya bercanda, selalu ada seorang anak muda Tionghoa yang mendekati, dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
Itu terjadi beberapa kali, sampai Arif Gunadi meninggalkan tempat itu tanpa diketahui banyak orang. Pak Peot yang berada di dekat Arif kali terakhir juga tidak tahu ke mana sopir orang nomor satu di Vihara Ekayana Amara itu.
Di rumah-rumah, TVOne mengulang-ulang informasi pertama yang diperolehnya. Terutama soal tiga korban, serta spekulasi bom yang digunakan.
Tiba-tiba warga keturunan yang berada di depan rumah tepat di depan vihara berceloteh kepada rekannya. "Bom itu kecil, diletakan di belakang patung Buddha, dan satu di pintu masuk ke ruang kebaktian, nggak jauh dari rak sepatu," kata pria yang mengenakan kemeja putih bergaris, berlengan panjang, dan membawa tas warna hitam.
Saya menguping. Dia terus bicara soal bom yang diledakan dengan menggunakan ponsel. Dia juga bicara soal korban cedera. "Korban hanya satu, seorang wanita, bukan jemaat vihara. Lukanya hanya tergores pecahan kaca, dan sudah pulang pukul 19.30," kata pria itu.
Seorang lawan bicaranya bertanya; "Emang lu ada di dalam?" Si pria dengan cepat menjawab; "Gue ada di ruangan saat bom meledak. Gue mengira itu petasan."
Saya mencatat semua pembicaraan itu di kepala saya, tapi saya perlu penegasan dan identitas pria ini. Saya berbalik, dan memintanya menceritakan lagi kesaksiannya. Dia rupanya sadar berbicara dengan wartawan.
"Sebentar Pak," ujarnya seraya berlalu. Saya kejar, dia mempercepat larinya diantara kerumunan wartawan, dan mendekati gerbang vihara. Lelaki tua bertubuh gempal yang kerap mengawasi wartawan, membantunya masuk.
Saya kirim berita itu ke Republika, koran tempat saya kerja. Informasi soal bom ditayangkan utuh, tapi soal korban tak disinggung. Republika tetap pada kesimpulan TVOne, bahwa korban tiga orang, bukan satu.
Satu jam kemudian, Kabagreskrim Mabes Polri Irjen Sutarman, yang calon Kapolri, keluar dari vihara dan dikeroyok wartawan. Keterangan yang dia berikan tidak jauh beda dengan celotehan jemaat vihara yang saya kutip.
Yang terbaru dari keterangan Sutarman adalah; "Polisi masih melakukan olah TKP untuk mengungkap motiv pengeboman."
Kapolda Putut Eko Bayu juga tidak memberikan informasi tambahan yang berarti. Informasi lebih rinci justru diberikan Ponijan Liaw.
Kehadiran Ponijan Liaw dari seorang non-jemaat vihara asal Jelambar. Ia datang ke vihara untuk melihat kondisi vihara, karena abu ayah dan pamannya disimpan di lantai tiga vihara.
Menjelang pukul 2.30, beberapa pengrajin mengajak saya pulang. "Pulang yuk. Sudah nggak ada petinggi polisi lagi di dalam," ujar seorang pengrajin berita salah satu situs beken.
Saya bilang; "Entar dulu. Mungkin ada cerita menarik dari Ponijan." Dia diam saja. Yang lain juga diam. Seorang wartawan koran sore bertanya kepada saya; "Ponijan siapa?"
Saya melotot, seraya bertanya; "Kamu tidak tahu?" Dia merespon dengan cepat; "Yang lainnya juga nggak ada yang tahu. Coba tanya?"
Akhirnya saya jelaskan siapa Ponijan Liaw, dan posisinya di Vihara Ekayana Amara. Tak lama kemudian, Ponijan keluar dari vihara. Semua pengrajin diam saja. Rupanya, yang kenal tokoh ini hanya satu, yaitu TVOne.
Ada masalah dengan kamera TVOne, sehingga wawancara harus ditunda. "Saya katakan kepada kawan-kawan pengarjin, itu Ponijan." Serentak semua pengrajin menyerbu.
Cerita Ponijan soal ledakan bom lebih detil. Ia bercerita rinci soal bom, ponsel sebagai pemicu jarak jauh, letak bom, banyak ledakan, dan suasana kebaktian.
Khusus yang terakhir, Ponijan bercerita sangat menarik. Menurutnya, tidak ada kepanikan saat bom pertama dan kedua meledak. Kebaktian berjalan seperti biasa, dan bhante tetap memberikan ceramah.
Bom di belakang patung Buddha Maitreya sama sekali tidak merusak patung. "Tergores pun tidak," ujarnya.
Saat berjalan pulang jelang sahur, saya bertanya kepada pejual rokok di ujung jalan soal bom di vihara. "Yang saya tahu itu ledakan petasan, karena saya mendengar ledakan seperti berkali-kali sejak berjualan di sini sekian tahun lalu," ujarnya.
Setiba di rumah saya berpikir; "Besok saya pasang petasan besar di masjid samping rumah saya, lalu saya telepon Gegana Polri bahwa bom meledak di Masjid Nurul Ikhlas."
Saya sampaikan pikiran saya itu ke beberapa kawan. Salah seorang mengatakan; "Polisi nggak mungkin menanggapi telepon kau, karena itu tidak ada dalam skenario mereka."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar