Sabtu, 27 Juli 2013

Menggugat PRJ



Pengantar:

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela JIExpo sebagai penyelenggara Pekan Raya Jakarta. Saya hanya berusaha menuliskannya untuk memenuhi libido menulis saya. Namun jika ternyata ada apresiasi lain dari JIExpo, dan menjadikan tulisan ini sebagai pemenang, itu urusan lain. Yang pasti, saya tidak menulis ini untuk ikut lomba.




Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) masih terus menebar daya tarik yang menyedot pengunjung. Di arena lain, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersitegang dengan Murdaya Poo – komisaris JIExpo -- soal penyelenggaraan acara tahunan itu yang dinilai menyimpang dari tujuan awal.

Jokowi, demikian guburnur DKI Jakarta asal Solo itu dipanggil masyarakatnya, membuat PRJ tandingan di Monas. Muncul kesan, Jokowi ingin mengembalikan PRJ ke Monas pada tahun-tahun berikut. Lebih penting lagi, Pemprov DKI berniat mengelola sendiri PRJ dan menjadikannya arena promosi produk dalam negeri, khususnya usaha kecil dan menengah.

Sejenak melihat ke belakang, Djakarta Fair – nama awal Pekan Raya Jakarta – dibuat Gubernur Ali Sadikin sebagai arena promosi produk dalam negeri demi membantu Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama Orde Baru. Tujuan lain, memberi hiburan murah bagi masyarakat Jakarta, terutama kalangan kelas menengah ke bawah.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan DF dan PRJ dari tahun ke tahun?

Sejenak melihat ke belakang, peran industri kecil dan menengah relatif hanya terasa saat Ali Sadikin kali pertama menyelenggarakan Djakarta Fair tahun 1968. Setelah itu tidak lagi. Ini terlihat dari Produk Domestik Bruto tahun 1969 yang dicatat Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta. Saat itu, kontribusi industri kecil dan menengah mencapai Rp 5.755.000.000. Sedangkan industri besar dan sedang Rp 12,7 miliar.

Tahun berikutnya, meski masih mendominasi DF, kontribusi PDRB industri kecil dan menengah naik menjadi Rp 6,5 miliar, tapi industri besar dan sedang Rp 13,5 miliar. Tahun 1971, PDRB industri kecil dan rumahan Rp 7 miliar, sedangkan industri besar dan sedang Rp 19,6 miliar.

Seluruh industri mengalami kenaikan tak signikan di tahun 1972, dengan hanya Rp 7,8 miliar untuk industri kecil dan rumahan, serta Rp 20,8 miliar. Lonjakan hebat terjadi tahun 1973, PDRB industri kecil dan rumahan Rp 12,8 miliar, dan industri besar dan sedang Rp 53,6 miliar.

Pertumbuhan signifikan industri besar dan sedang di sekujur Jakarta setelah 1973, membuat DF sebenarnya relatif telah kehilangan fungsinya sebagai arena promosi bagi industri kecil dan menengah, atau industri rumahan. Industri besar menjadi pemain dominan di DF, dan berlanjut sampai perhelatan itu bernama Pekan Raya Jakarta.

Sinar Harapan edisi Juni 1968 memberitakan DF pertama terselenggara di tengah ambruknya sejumlah industri dalam negeri akibat serbuan produk impor. Industri tekstil, misalnya, kehilangan banyak pemain utamanya setelah tekstil mancanegara membanjiri pasar dalam negeri. Nasib serupa dialami industri keramik. Di sisi lain industri perakitan mulai tumbuh, dan tampil di DF.

Politik pintu terbuka yang dijalankan Soeharto menimbulkan banyak korban di banyak bidang industri. Namun di sisi lain, modal asing masuk dan menjadi pemain penting dalam pembangunan perekonomian Repelita I. Akibatnya, DF – ajang promosi paling efektif bagi semua produk – hanya menyediakan sedikit tempat bagi usaha kecil dan menengah.

Bagi panitia DF, termasuk juga mereka yang bekerja di era Ali Sadikin, kedatangan industri besar dan sedang lebih menguntungkan ketimbang memberi tempat kepada industri kecil dan menengah. Artinya saat itu, DF telah benar-benar dikelola secara bisnis dengan mengedepankan aspek keuntungan.



Produk Impor

Memasuki Repelita II, ketika pertumbuhan ekonomi menjadi ideologi dominan, DF dan PRJ berkembang sesuai pertumbuhan industri dalam negeri, situasi perekonomian regional, dan dunia. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah sukses PRJ dinilai dari keuntungan yang diperoleh.

Keuntungan hanya bisa diperoleh jika panitia PRJ mampu menjual lahan-lahan di arena dengan harga tinggi kepada industri besar, dan hanya menyisakan sedikit lahan untuk industri menengah dan kecil. Industri besar yang hadir di PRJ adalah mereka yang memproduksi barang-barang konsumtif, mulai dari makanan sampai kendaraan.

Akibatnya, PRJ didatangi masyarakat kelas bawah sebagai – meminjam istilah JH Antonisse, yang merancang arsitektur Pasar Gambir 1921 sampai 1930 – sebagai kawasan fantasi; tempat mereka yang berkantong pas-pasan bermimpi memiliki semua barang yang dijajakan, dan menikmati kuliner mancanegara yang disajikan di ruang gemerlap.

DF dan PRJ di era Orde Baru juga merupakan representasi pasar saat ini dan esok. Dari PRJ, pengamat bisnis bisa memperkirakan produk konsumtif apa yang akan menjadi trend pada tahun berikut.

Lambretta, sepeda motor buatan Italia, memperkenalkan helicak lewat Djakarta Fair. Tahun berikutnya, helicak – yang dirakit di Indonesia dan sempat ditumpangi Presiden Soeharto – menghiasi jalan-jalan ibu kota.

Namun entah bagaimana pada tahun berikutnya helicak lenyap dari jalanan ibu kota. Bersamaan dengan itu Lambretta tidak ada lagi. Sebagai gantinya, sepeda motor buatan Jepang mendominasi.

Orang Jakarta mengenal jeans dari Djakarta Fair. Awalnya hanya satu merk. Berikutnya bejibun merk, produk dalam dan luar negeri, meramaikan Djakarta Fair dan memunculkan trend baru berbusana di Jakarta. Produk luar negeri akan selalu lebih menarik, dan menyita perhatian.

Dari DF dan PRJ, setiap orang bisa menyaksikan betapa Jakarta – dan seluruh Indonesia – tidak lebih dari pasar produk impor. Produk-produk dalam negeri relatif terbatas. Yang paling khas, dan ada sejak Pasar Gambir di tahun 1930-an, adalah kecap, jamu, obat gosok, dan lainnya.

Padahal, jika mau jujur dari DF pertama masyarakat diperkenalkan dengan produk dirgantara Indonesia, yaitu pesawat gelatik. Bahkan, salah satu koran Jakarta terbitan Juni 1968, sempat memberitakan bagaimana pesawat gelatik dijajakan ke masyarakat kelas menengah ke atas.

Saat masih bernama Djakarta Fair, perhelatan tahunan ini sebenarnya  kehilangan tujuan utamanya, memberi hiburan kepada masyarakat, ketika harga tiket terus naik. Jika tahun 1968, harga tiket Rp 25, tahun 1974 naik menjadi Rp 50. Bagi Masyarakat Jakarta saat itu, Rp 50 bukan harga yang ringan.

Terdapat asumsi, kenaikan harga tiket dimaksudkan agar mereka yang mengujungi Djakarta Fair adalah yang memiliki kemampuan belanja. Menggunakan kalkulasi bisnis mall, partisipan – pelaku industri yang mempromosikan produk konsumtif-nya – hanya akan menganggap PRJ bernilai ekonomis jika lebih 30 persen pengunjung menghabiskan uangnya untuk belanja.

Jika kurang dari 30 persen, PRJ akan dianggap sepi transaksi dan partisipan akan teriak rugi. Pengelola PRJ harus putar otak menghadirkan pengunjung berdaya beli tinggi untuk hadir di PRJ. Salah satu caranya adalah menaikan harga tiket.

Namun, apakah keliru jika pengelola menempuh cara seperti itu? Tentu saja tidak. Semua itu adalah tuntutan masyarakat industri. Bahkan, PRJ pun telah menjadi industri.


Entitas Rakyat

Menjadi masalah ketika PRJ dibenturkan dengan entitas perekonomian rakyat. Sebelum Joko Widodo menjadi gubernur, PRJ nyaris tanpa masalah. Kalau pun ada, hanya segelintir orang yang usil mempertanyakan apakah Pemprov DKI menikmati bagian keuntungan yang signifikan.

Ketika Jokowi melihat PRJ saat ini dari kacamata ideologi kerakyatan, muncul persoalan. PRJ dianggap tidak lagi mencerminkan entitas perekonomian rakyat. Lebih pelik lagi ketika banyak orang mengatakan PRJ telah kehilangan entitas budaya-nya, seperti ketika masih di Monas.

Suara yang lebih keras didengungkan Ridwan Saidi. Bahwa PRJ di Kemayoran untuk orang borjuis, di Monas – yang dibentuk mendadak oleh Jokowi – untuk rakyat.

Satu hal yang mungkin dilupa adalah PRJ saat ini, mungkin sejak pindah ke Kemayoran, bukan lagi perhelatan sekadar untuk memeriahkan ulang tahun Jakarta. PRJ adalah telah menjadi jelmaan liberalisasi ekonomi.  

Di pasar yang sedemikian liberal, roh budaya kota hanya menjadi tempelan, dan tidak menjelma dalam bentuk arsitektur stand dan pavilion, karena yang terpenting adalah efisiensi. Lebih penting lagi, di pasar tidak ada nasionalisme.

Maka, mengembalikan PRJ kembali ke Monas tidak akan menyelesaikan masalah. PRJ telah tumbuh sedemikian rupa sesuai perkembangan industri dan liberalisasi. Membiarkan PRJ berada di Kemayoran mungkin lebih masuk akal. Sedangkan Pemprov DKI Jakarta bisa membangun pasar festival baru sesuai visinya di Monas, seraya menghidupkan kembali roh budaya kota.

Setelah itu, kembalikan keputusan kepada rakyat Jakarta, kemana mereka akan berkunjung; ke PRJ yang kian menawarkan ‘mimpi’ memiliki produk-produk mewah yang dijajakan, atau ke pasar usaha kecil dan menengah yang lebih dekat ke dirinya.

Persoalannya, jika PRJ dikembalikan ke bentuk semula dan diselenggarakan dengan mengusung tema, siapa yang bisa menjaga kelestariannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar