Minggu, 07 Juli 2013

Lenong Betawi



Tanpa publikasi sama sekali, Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat menggelar Festival Lenong, pertengahan Juni 2013 lalu. Ini bukan acara tunggal, tapi bagian dari acara tahunan Sentra Barat Fair yang digelar Pemprov Jakarta Barat.

Sebanyak 13 kelompok lenong di Jakarta Barat tampil dalam festival itu. Sebagian membawakan kisah jagoan masa lalu, lainnya menampilkan cerita kekinian.

Hampir seluruh panjak-nya; aktor, aktris, dan pemain musik gambang kromong, adalah generasi muda Betawi. Sebagian kelompok menggunakan sutradara, lainnya tidak.

Sepanjang festival, sebagian besar bangku di depan panggung tak terisi. Sebagian lainnya diisi oleh anggota kelompok lenong yang selesai tampil, dan ingin menyaksikan lawan-lawannya.

Festival seolah hanya untuk anggota kelompok lenong, bukan untuk masyarakat umum. Bahkan H Fatahillah, walikota Jakarta Barat yang asli Betawi, sama sekali tidak tahu ada Festival Lenong di belakang kantornya.

Usai festival, Syaiful Amri -- salah satu juri yang sedang sedang mempersiapkan penelitian tentang lenong – memberikan evaluasinya sebelum mengumumkan pemenang. Ia mengkritik penggunaan bahasa yang rancu. Juri lainnya mempertanyakan peran sutradara.

Penilaian tak kalah menarik diutarakan seorang penonton. “Sebagian besar peserta festival nggak ngerti lenong,” ujar lelaki usia 55 tahun itu. “Pemain lenong itu seolah tidak mewariskan tradisi lenong asli.”


Budaya Pinggiran


Ada dua genre lenong; denes dan preman. Keduanya mencapai kemapanan bentuk tahun 1920. Lenong denes berkembang di masyarakat pribumi kelas atas Batavia; utamanya pegawai pangreh praja, menggunakan bahasa Melayu tinggi, serta pakaian kebesaran kaum feodal.

Lenong preman, menurut Prof Yasmin Z Shahab, berkembang di masyarakat pinggiran. Pinggiran adalah istilah yang digunakan untuk menyebut wilayah permukiman Betawi yang terkena pengaruh Cina Benteng (perbatasan Jakarta-Tangerang), dan Sunda (perbatasan Jakarta-Jawa Barat).

Lenong preman menggunakan bahasa Betawi rendahan, dengan pengaruh bahasa Tionghoa yang kental. Salah satunya penggunaan kata ‘gua’ dan ‘lu’  untuk menyebut saya dan kamu. Gua, sering pula disebut ‘gue’, dan lu berasal dari kata dalam dialek Hokkian (selatan); owe dan lu.

Bachtiar, pendiri dan pengelola Sanggar Si Pitung di Rawa Belong, mengatakan ciri lain lenong preman pinggiran adalah penggunaan huruf vokal ‘a’ di setiap akhir kata. Misal, ‘ngapa’, ‘mana’, ‘siapa’, dengan pengucapan suku kata terakhir dipanjangkan.

Lenong preman masyarakat pinggiran tidak mengenal teks tertulis. Sutradara hanya sekadar menyampaikan sinopsis secara lisan, dan menentukan aktor dan aktris yang akan memainkan tokoh-tokoh dalam cerita. Aktor dan aktris, utama atau pendukung, mengandalkan improvisasi.

Yang paling khas dari lenong preman adalah selalu ada perkelahian, karena cerita yang dimainkan tentang jawara -- jagoan kampung dalam sistem kekuasaan masyarakat Betawi – versus centeng (tukang kepruk yang bekerja untuk tuan tanah). Cerita-cerita paling populer adalah Si Pitung, Si Jampang, Mat Item, dan lainnya.

Hampir seluruh kelompok lenong terdapat di wilayah Tangerang, dan dimiliki orang Tionghoa. Jakarta Barat pernah memiliki satu kelompok lenong, yaitu milik Bang Samin di Kp Rawa Bengkel. Kelompok ini bubar awal 1970-an, setelah Bang Samin meninggal dunia.

Lenong preman Betawi pinggiran tidak bisa diterima masyarakat Betawi Tengah. Prof Yasmin mengatakan penolakan disebabkan beberapa hal. Pertama, lenong preman pinggiran relatif sekuler, dengan kehidupan panjak-nya yang melanggar norma. Panjak adalah pekerja lenong; aktris, aktor, dan pemain musik gambang kromong.

Kedua, penggunaan Betawi rendahan. Orang Betawi tengah memandang sinis bahasa Betawi rendahan, yang menurut mereka tak santun. Ketiga, adegan dalam lenong preman pinggiran cenderung mengeksploitasi ‘kekerasan’, dan tidak mengajarkan etika.

Namun dalam perkembangannya ada proses, menggunakan istilah Prof Yasmin, rekacipta. Lenong preman pinggiran ditampilkan dengan dialek Betawi tengah yang lebih santun, serta disesaki muatan relijius di setiap drip, bagian dari babak dalam lenong. Misal, penggunaan kata ‘assalamualaikum’ dan tradisi cium tangan dengan orang yang lebih tua.

“Bahasa yang digunakan relatif santun, dengan huruf vocal ‘e’ di akhir kata, dan kental pengaruh Arab,” ujar Bachtiar. “Misal, ‘ane’, ‘ente’, ‘kite’, untuk menyebut saya, kamu, dan kita.”

Rawa Belong dan Kebon Jeruk, dua dari sekian banyak kampung tua Betawi, diketahui sebagai tempat berkembangnya lenong rekacipta, karena kampung itu terletak di perbatasan antara pinggir dan tengah. Secara tradisi, masyarakat kedua kampung cenderung ke pinggir, tapi motivasi keagamaan membetot mereka lebih ke tengah.

Lenong hasil rekacipta pertama bertahan sampai 1985, di bawah asuhan Umar Salbini. Tahun 1995, Bachtiar melanjutkannya dengan membentuk Sanggar Si Pitung tahun 1995.

Krisis petama lenong terjadi selama dekade 1950-1970, ketika tidak ada lagi pergelaran lenong keliling dan orang-orang kaya Betawi tengah enggan ‘nanggap’ lenong untuk memeriahkan pesta perkawinan, khitanan, atau syukuran.

Di pinggir Jakarta, kelompok-kelompok lenong pinggiran masih menerima panggilan sampai sepanjang 1970-an. Memasuki era 80-an, pertunjukan lenong di rumah masyarakat yang berpesta sangat sulit ditemukan.

Penyebabnya, naggap lenong sangat mahal akibat banyaknya sumber daya yang terlibat dalam pementasan. Sejumlah kelompok lenong mengatasi situasi ini dengan menurunkan harga ‘panggilan’, tapi tetap saja kalah bersaing dengan jenis hiburan lain; dangdut dan layar tancap.

SM Ardan, Djaduk Djajakusuma, dan Sumantri Sostrosuwondo, bernisiatif merevitaslisasi lenong dan menampilkannya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ketiganya juga melakukan rekacipta, dengan lebih banyak menekankan aspek humor dan silat, serta memperpendek waktu pertunjukan agar masyarakat Jakarta non-Betawi bisa menikmati.

Sebelum era 70-an, pergelaran lenong di kampung-kampung sekujur pinggir Jakarta berlangsung mulai lepas Isya sampai sebelum subuh. Ada pula yang berlangsung sampai terang tanah, alias setelah matahari terbit.

Proses rekacipta tidak hanya ditampilkan di panggung, tapi juga di TVRI dan radio-radio. Dari sini muncul nama-nama beken; Nasir, Anen, mPok Nori, dan lainnya.

Rekacipta memperpanjang usia lenong. Namun, penyesuaian dengan tuntutan jaman menyebabkan lenong kehilangan format dan pakem tradisionalnya. Lenong menjadi sarat humor, dan minim –bahkan tidak sama sekali -- adegan silat.

Dalam bahasa Ninuk Kleden Probonegoro, lenong menjadi produk budaya pop, bukan lagi tradisi. Terlebih setelah Lenong Bocah dan Lenong Rumpi yang ditayangkan televisi swasta meraih sukses luar biasa. Generasi anak Betawi yang lahir tahun 90-an lebih mengenal ‘genre’ hasil rekacipta ini, ketimbang lenong tradisional.


Gagap Tradisi

Marhasan, satu-satunya orang Betawi yang mempertahankan Topeng Blantek, mengatakan seni tradisionil hanya bisa bertahan jika ada ‘keluarga’ yang setia menjaganya. ‘Teori’ lelaki yang bermukim di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, itu mungkin tidak keliru.

Kecuali Sanggar Si Pitung di Rawa Belong, komunitas lenong yang muncul di Jakarta Barat tidak lahir di masyarakat yang mewariskan lenong tradisional. Gema Beta Daya, kelompok lenong yang berdiri 2010, salah satunya.

“Gema Beta Daya adalah kependekan Gerakan Masyarakat Betawi Cinta Budaya,” ujar Tahyudin Aditya, ketua Gema Beta Daya. “Kecintaan kami terhadap budaya Betawi yang membuat kami bertekad melestarikan lenong, dan semua kesenian Betawi.”

Gema Beta Daya tidak punya pelatih lenong, tapi rutin berlatih. Waktu latihan lenong dibarengi latihan beksi, salah satu aliran dalam silat Betawi, yang diikuti warga sekitar berusia antara 11 sampai 40 tahun.

Hanya sesekali Gema Beta mengundang pelatih, karena ketiadaan biaya. Jika kebetulan ada kelompok lenong dari Tangerang sedang manggung, Tahyudin mengerahkan anak buahnya untuk nonton bareng.

“Iulah yang bisa saya lakukan,” ujar lelaki usia 44 tahun yang terdaftar sebagai calon legislatif (caleg) DPRD DKI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). “Tapi beksi, lenong, dan budaya Betawi adalah hidup saya.”

Bachtiar bukan pewaris generasi panjak yang mempelopori lenong preman hasil rekacipta. Seperti Tahyudin, ia juga merasa punya tanggung jawab moral untuk mempertahankan lenong tradisi masyarakat Betawi tengah.

“Sanggar ini saya bentuk setelah munculnya lenong-lenong masyarakat pinggiran,” ujar ayah lima anak yang banyak tampil di acara-acara Pemprov DKI Jakarta itu. “Saya juga sebel dengan banyaknya kelompok sandiwara humor yang menyebut diri lenong.”

Dibanding kelompok lain, Sanggar Si Pitung lebih dulu muncul. Mereka cepat belajar, dan menemukan pakem lenong preman, dan meneruskan jejak pendahulunya; menjadikan lenong sebagai media dakwah. Kalau pun ada yang baru, Sanggar Si Pitung tidak melulu memunculkan cerita masa lalu, tapi bertutur tentang persoalan saat ini.

“Saya ingin memperlihatkan inilah lenong,” ujar lelaki tak tamat sarjana itu. “Lenong tidak sekadar hiburan, tapi juga media dakwah Islam yang efektif.”

Menurut Bachtiar, lenong tradisi saat ini sedang mengalami krisis serius. Banyak kelompok lenong memahami bagaimana lenong dimainkan. Sebelumnya, Syaiful  mengkritik penggunaan bahasa Betawi yang campur aduk, dan kostum yang tidak sesuai cerita.

“Pakem lenong kan jelas. Lagu pembuka Pobin Kong Ji Lok, lalu aktor utama keluar dari kanan panggung, memperkenalkan diri, bermonolog, dan meninggalkan panggung dari kiri,” ujarnya. “Saat perkelahian musik dibikin cepat, dan saat jeda pemain musik memainkan lagu-lagu sayur.”

Menurut Syaiful, perlu ada satu workshop bagi semua kelompok lenong yang baru tumbuh, agar lenong tradisi terjaga. Namun, lanjutnya, penganut lenong tradisi juga tidak bisa menutup mata dari segala perubahan.

“Lenong adalah bagian dari tradisi lisan. Tradisi lisan berkembang sesuai jaman. Jadi, lenong tidak bisa menolak perkembangan di sekitarnya,” Syaiful Amri mengakhiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar