Kamis, 11 Juli 2013

Komedi Betawi: Lenong Rekacipta



Syaiful Amri menebar senyum ke semua orang, dan tak lelah mengucap terima kasih  kepada rekan yang menyampaikan selamat atas sukses Komedi Betawi (Kombet)  menampilkan lakon Entong Gendut dari Condet, 28 Juni 2013 lalu di halaman parkir Taman Ismail Marzuki (TIM).

Sesekali anak Betawi Tanah Abang ini berpose di depan panggung atas permintaan fotografer media, menjawab pertanyaan reporter, atau membuat janji ke wartawan yang ingin menggali ‘isi kepala’-nya. Tidak jauh dari tempatnya, sekitar seribu orang beranjak pulang, dan semua panjak – istilah Betawi untuk pekerja lenong – sibuk berbenah.

“Alhamdulillah! Penonton bertahan dan menikmati sajian kami,” ujar sutradara pementasan dan pendiri Kombet itu kepada Republika.

Bukan kali pertama Kombet mengenyam sukses. Tahun lalu, Kombet menyedot banyak penonton saat menampilkan Si Ayub dari Teluk Naga di Graha Bhakti Budaya TIM. Tahun 2009, Kombet juga sukses meramaikan Jakarnaval di Monas.

Kombet adalah lenong rekacipta, dengan Syaiful Amri sebagai arsiteknya. Tanpa melanggar pakem lenong, Bang Syaiful – demikian lelaki kelahiran 26 November 1963 itu dipanggil rekan-rekannya – memasukan pengaruh teater Barat, menambahkan instrument modern pada permainan musik, memperkaya dialog dengan memunculkan isu kekinian, sarat humor, dan tidak melulu mengambil cerita dari masa lalu.

“Semua ini saya lakukan sejak 1998,” ujar alumnus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang lahir dari keluarga anti-berkesenian. “Tujuannya, menghindarkan lenong dari kepunahan.”

Upaya merekacipta lenong pernah terjadi di masyarakat Betawi. Menurut Prof Yasmin Z Shahab, lenong adalah produk Betawi pinggiran tidak bisa diterima masyarakat Betawi tengah. Sejumlah seniman merekrut orang Betawi tengah menjadi panjak, dan memasukan unsur agama ke dalam dialog, yang membuat lenong diterima masyarakat Betawi tengah.

Namun rekacipta itu tidak menyentuh perubahan artistik. Lenong, dimainkan Betawi pinggiran atau tengah, tetap sama. Yang membedakan adalah stigma bahwa lenong Betawi tengah lebih relijius, dan lenong pinggiran cenderung sekuler.


Tanpa rekacipta artistik, menurut Syaiful, lenong akan bernasib sama dengan Topeng Betawi. “Dari dulu sampai saat ini, Topeng Betawi malulu bercerita soal Si Jantuk yang bertengkar dengan istrinya akibat kepala ikan peda dimakan kucing,” ujar Syaiful.

Saat Topeng Betawi tumbuh, ikan peda mungkin favorit. Saat ini, generasi muda Betawi mungkin tidak lagi mengenal ikan peda. Akibatnya, Topeng Betawi terasing dari masyarakatnya dan memfosil.

“Lenong tidak boleh seperti itu,” lanjut Syaiful.

Namun Syaiful membantah asumsi bahwa lenong tradisi tidak layak lagi dipertahankan. Menurutnya, lenong tradisi tidak bisa lagi melulu mengangkat cerita masa lalu, tapi harus menyesuaikan diri. Lenong adalah tradisi lisan. Sebagai tradisi lisan, lenong tidak boleh dibingkai dan dikotak-kotakan.

Inilah, demikian Syaiful, yang tidak disadari kebanyakan lenong tradisi. Seolah, yang melanggar pakem lenong tidak bisa disebut lenong. Atau, lenong harus dimainkan sesuai pakem, dan melanggar pakem adalah ‘dosa’.

Syaiful berusaha menularkan pemikirannya ke lebih 50 kelompok lenong di sekujur Jakarta. Caranya, menyelenggarakan workshop, atau merekrut satu atau dua panjak dari beberapa komunitas untuk terlibat dalam produksinya. Saat menggelar Entong Gendut dari Condet, Syaiful merekrut Bachtiar – tokoh Sanggar Si Pitung – sebagai pemain.

“Responnya sangat bagus, karena generasi muda Betawi yang mencintai lenong selalu ingin bergerak,” ujarnya. “Tapi anak-anak muda yang bermain dengan senior sering ditakuti-takuti tidak boleh melanggar pakem.”

Memang tidak mudah melakukan perubahan. Syaiful, lewat Kombet-nya, butuh 15 tahun untuk melihat terjadinya perubahan di sejumlah grup lenong yang pernah mengikuti workshop dan terlibat dalam pergelarannya.

“Mereka mungkin masih banyak yang mengambil cerita lama, tapi dialog lebih kaya dengan memunculkan isu aktual,” ujar pria yang oleh orang tuanya diharapkan menjadi guru ngaji.

Syaiful berusaha menghindari konflik dengan semua panjak lenong yang menolak perubahan. Ia bahkah menaruh hormat setinggi-tingginya, sambil terus menularkan virus perubahan.

Penggunaan nama Komedi Betawi, atau Kombet, juga salah satu upaya menghindari konflik. “Orang Betawi itu kan ‘cegukan’, alias gampang ngambek,” ujarnya. “Jika saya pakai nama lenong, dan bukan Kombet, orang-orang lenong tradisi akan mengecam, dengan mengatakan itu bukan lenong.”

Pilihan tidak menggunakan nama lenong dirasa cukup ampuh. Di satu sisi, Kombet terhindar dari kecaman. Di sisi lain, kebanyakan orang tetap akan mengidentifikasi Kombet sebagai lenong, meski dengan banyak perubahan.

Syaiful tidak hanya menjadikan Kombet sebagai sarana menyalurkan libido untuk mengubah lenong. Ia menjadikan Kombet sebagai laboratorium untuk membuktikan teori bahwa lenong harus melewati rekacipta artistik untuk menyesuaikan diri dengan zaman, tapi dimainkan dengan semangat teater rakyat Betawi.

Adaptasi dengan zaman tidak bisa dilakukan secara radikal karena akan menghilangkan esensi lenong sebagai kesenian tradisional, tapi lewat reproduksi struktur dan persentuhan itensif antara pelaku lenong tradisi dan teater modern.

“Lewat Kombet saya melakukan penelitian tentang rekacipta lenong, dan menawarkan solusi bagaimana kesenian ini mempertahankan diri,” ujarnya. “Saya akan menampilkan Kombet di Universitas Indonesia (UI), sebagai bagian dari desertasi saya untuk meraih gelar doktor.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar