Syaiful Amri menebar senyum ke semua orang, dan tak
lelah mengucap terima kasih kepada rekan yang menyampaikan selamat atas
sukses Komedi Betawi (Kombet) menampilkan lakon Entong Gendut dari
Condet, 28 Juni 2013 lalu di halaman parkir Taman Ismail Marzuki (TIM).
Sesekali anak Betawi Tanah Abang ini berpose di depan
panggung atas permintaan fotografer media, menjawab pertanyaan reporter, atau
membuat janji ke wartawan yang ingin menggali ‘isi kepala’-nya. Tidak jauh dari
tempatnya, sekitar seribu orang beranjak pulang, dan semua panjak –
istilah Betawi untuk pekerja lenong – sibuk berbenah.
“Alhamdulillah! Penonton bertahan dan menikmati sajian
kami,” ujar sutradara pementasan dan pendiri Kombet itu kepada Republika.
Bukan kali pertama Kombet mengenyam sukses. Tahun
lalu, Kombet menyedot banyak penonton saat menampilkan Si Ayub dari Teluk
Naga di Graha Bhakti Budaya TIM. Tahun 2009, Kombet juga sukses meramaikan
Jakarnaval di Monas.
Kombet adalah lenong rekacipta, dengan Syaiful Amri
sebagai arsiteknya. Tanpa melanggar pakem lenong, Bang Syaiful – demikian
lelaki kelahiran 26 November 1963 itu dipanggil rekan-rekannya – memasukan
pengaruh teater Barat, menambahkan instrument modern pada permainan musik,
memperkaya dialog dengan memunculkan isu kekinian, sarat humor, dan tidak
melulu mengambil cerita dari masa lalu.
“Semua ini saya lakukan sejak 1998,” ujar alumnus
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang lahir dari keluarga anti-berkesenian.
“Tujuannya, menghindarkan lenong dari kepunahan.”
Upaya merekacipta lenong pernah terjadi di masyarakat
Betawi. Menurut Prof Yasmin Z Shahab, lenong adalah produk Betawi pinggiran
tidak bisa diterima masyarakat Betawi tengah. Sejumlah seniman merekrut orang
Betawi tengah menjadi panjak, dan memasukan unsur agama ke dalam dialog, yang
membuat lenong diterima masyarakat Betawi tengah.
Namun rekacipta itu tidak menyentuh perubahan
artistik. Lenong, dimainkan Betawi pinggiran atau tengah, tetap sama. Yang
membedakan adalah stigma bahwa lenong Betawi tengah lebih relijius, dan lenong
pinggiran cenderung sekuler.
Tanpa rekacipta artistik, menurut Syaiful, lenong akan
bernasib sama dengan Topeng Betawi. “Dari dulu sampai saat ini, Topeng Betawi
malulu bercerita soal Si Jantuk yang bertengkar dengan istrinya akibat kepala
ikan peda dimakan kucing,” ujar Syaiful.
Saat Topeng Betawi tumbuh, ikan peda mungkin favorit.
Saat ini, generasi muda Betawi mungkin tidak lagi mengenal ikan peda.
Akibatnya, Topeng Betawi terasing dari masyarakatnya dan memfosil.
“Lenong tidak boleh seperti itu,” lanjut Syaiful.
Namun Syaiful membantah asumsi bahwa lenong tradisi
tidak layak lagi dipertahankan. Menurutnya, lenong tradisi tidak bisa lagi
melulu mengangkat cerita masa lalu, tapi harus menyesuaikan diri. Lenong adalah
tradisi lisan. Sebagai tradisi lisan, lenong tidak boleh dibingkai dan
dikotak-kotakan.
Inilah, demikian Syaiful, yang tidak disadari
kebanyakan lenong tradisi. Seolah, yang melanggar pakem lenong tidak bisa
disebut lenong. Atau, lenong harus dimainkan sesuai pakem, dan melanggar pakem
adalah ‘dosa’.
Syaiful berusaha menularkan pemikirannya ke lebih 50
kelompok lenong di sekujur Jakarta. Caranya, menyelenggarakan workshop,
atau merekrut satu atau dua panjak dari beberapa komunitas untuk terlibat dalam
produksinya. Saat menggelar Entong Gendut dari Condet, Syaiful merekrut
Bachtiar – tokoh Sanggar Si Pitung – sebagai pemain.
“Responnya sangat bagus, karena generasi muda Betawi
yang mencintai lenong selalu ingin bergerak,” ujarnya. “Tapi anak-anak muda yang
bermain dengan senior sering ditakuti-takuti tidak boleh melanggar pakem.”
Memang tidak mudah melakukan perubahan. Syaiful, lewat
Kombet-nya, butuh 15 tahun untuk melihat terjadinya perubahan di sejumlah grup
lenong yang pernah mengikuti workshop dan terlibat dalam pergelarannya.
“Mereka mungkin masih banyak yang mengambil cerita
lama, tapi dialog lebih kaya dengan memunculkan isu aktual,” ujar pria yang
oleh orang tuanya diharapkan menjadi guru ngaji.
Syaiful berusaha menghindari konflik dengan semua
panjak lenong yang menolak perubahan. Ia bahkah menaruh hormat
setinggi-tingginya, sambil terus menularkan virus perubahan.
Penggunaan nama Komedi Betawi, atau Kombet, juga salah
satu upaya menghindari konflik. “Orang Betawi itu kan ‘cegukan’, alias
gampang ngambek,” ujarnya. “Jika saya pakai nama lenong, dan bukan
Kombet, orang-orang lenong tradisi akan mengecam, dengan mengatakan itu bukan
lenong.”
Pilihan tidak menggunakan nama lenong dirasa cukup
ampuh. Di satu sisi, Kombet terhindar dari kecaman. Di sisi lain, kebanyakan
orang tetap akan mengidentifikasi Kombet sebagai lenong, meski dengan banyak
perubahan.
Syaiful tidak hanya menjadikan Kombet sebagai sarana
menyalurkan libido untuk mengubah lenong. Ia menjadikan Kombet sebagai
laboratorium untuk membuktikan teori bahwa lenong harus melewati rekacipta
artistik untuk menyesuaikan diri dengan zaman, tapi dimainkan dengan semangat
teater rakyat Betawi.
Adaptasi dengan zaman tidak bisa dilakukan secara
radikal karena akan menghilangkan esensi lenong sebagai kesenian tradisional,
tapi lewat reproduksi struktur dan persentuhan itensif antara pelaku lenong
tradisi dan teater modern.
“Lewat Kombet saya melakukan penelitian tentang
rekacipta lenong, dan menawarkan solusi bagaimana kesenian ini mempertahankan
diri,” ujarnya. “Saya akan menampilkan Kombet di Universitas Indonesia (UI),
sebagai bagian dari desertasi saya untuk meraih gelar doktor.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar