Lewat SMS, anak saya memaksa saya hadir di pertunjukan Sendratari kolosal bertajuk Ariah di Monas.
"Pa, cepat datang. Masuknya ke arena 'lesehan'. Gratis," ujarnya.
"Gratis?" tanya saya.
"Iya. Kalo mau bayar juga ada. VVIP Rp 900 ribu. VIP Rp 500 ribu, kelas II Rp 250 ribu," ujar anak saya.
Saya akhirnya datang. Akibat tak punya uang, saya masuk ke arena lesehan, alias yang gratis.
Di dalam arena, ribuan orang telah berkumpul sejak usai Maghrib. Mereka duduk beralas karpet merah, dan berada lebih sedikit di samping panggung.
Di belakang, ada kursi untuk VVIP, VIP, dan Kelas I, dan Kelas II.
Jelang pertunjukan dimulai, petugas lapangan berteriak-teriak ke arah penonton di arena lesehan untuk meminta mereka segera duduk.
"Bapak-bapak, ibu-ibu, tolong secepatnya mencari tempat dan duduk, pertunjukan akan dimulai," demikian sejumlah petugas memberi tahu pengunjung.
Saya secepatnya mencari tempat, dan duduk. Di depan dan belakang, orang-orang masih lalu-lalang mencari tepat di bagian tengah.
Petugas berteriak lagi. "Di tengah sudah penuh. Harap segera duduk," demikian petugas itu berteriak.
Pertunjukan dimulai, tapi penonton masih terus masuk. Setelah babak pertama, arus masuk penonton mulai berkurang.
Namun yang terjadi sebaliknya. Penonton di bagian tengah berbondong-bondong keluar, bukan untuk pulang, tapi mencari jajanan.
Itu berlangsung sampai pertunjukan usai. Hampir tidak ada waktu tanpa orang-orang lalu-lalang, yang membuat saya dan sejumlah orang geleng-geleng kepala.
Jelang pertunjukan usai, saya katakan kepada anak saya; "Nonton gratis itu nggak enak ya."
Anak saya tertawa terbak-bahak. Rupanya dia di kelas II. "Kenapa Pa? Penontonnya berperilaku miskin ya?" tanyanya.
Saya katakan; "Padahal, yang masuk ke arena gratis itu -- dari tampang-tampang mereka -- orang kelas menengah ke atas. Rata-rata membawa BB, IPad, Samsung Galaxy, dan barang mewah, tapi mereka benar-benar nggak ngerti etika nonton pertunjukan."
Anak saya mengatakan; "Kan Papa pernah bilang, soal miskin bukan perkara harta, tapi perilaku."
Jadi, kata anak saya lagi, gratis itu benar-benar nggak enak. Jika ada yang mengatakan gratis itu enak, orang itu mengidap mental orang miskin. Atau dibesarkan di tengah budaya kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar