Jumat, 20 Desember 2013

Tak Malu Mengintip Tetangga


Dua pekan sebelum PM Tony Abbott mengatakan Australia tidak akan menghentikan kegiatan mata-matanya di Indonesia, Philip Dorling -- National Affairs and Defence Correspondent untuk The Canberra Times – memilih judul provokatif untuk artikel yang dipublikasikan situs The Sydney Morning Herarld, yaitu Canberra don’t Trust Jakarta.

Di akhir tulisannya, Dorling menulis; “Pengungapan tindakan mata-mata menyebabkan diplomatic embarrassment, namun Australia tidak akan berhenti memati-matai Jakarta.”

Banyak tanggapan atas tulisan ini. Salah satunya mengatakan ketika Indonesia bertindak kekanak-kanakan, diplomasi Autralia gagal total. Canberra membiarkan isu skandal ini terus meningkat.

Banyak pihak di Australia yakin Indonesia hanya mengharapkan dari seseorang di Australia, terutama yang dikenal para elite politik di Jakarta. Bahkan, yang diharapkan Jakarta adalah Australia berpura-pura minta maaf, setelah itu pemerintah dan media di Indonesia akan menyelesaikan sisanya.

Yang paling menyakitkan dari komentar ini, dan seolah mencerminkan cara berpikir kebanyakan orang Australia, adalah Indonesia dan Australia secara kebetulan bertetangga. Indonesia adalah tetangga terbesar Australia yang tidak akan tumbuh menjadi lebih besar dengan segera. Jadi, yang harus dilakukan Australia adalah bagaimana setiap saat harus menenangkan seorang bocah.

Komentar lain yang cukup menyakitkan, Indonesia adalah salah satu negara yang tidak bisa dipercaya. Orang Indonesia hanya tertarik uang. PM Tony Abbott bisa membayar siapa pun di Indonesia untuk melakukan semua yang Australia inginkan.

Memati-matai Indonesia, demkikian komentar lainnya, sangat tepat. Indonesia adalah salah satu negara paling korup di muka bumi. Australia tidak perlu malu dengan pengungkapan skandal penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan akan sangat bodoh jika Australia tidak melakukannya.


Sakit Hati

Indonesia yang diinginkan Australia bukanlah negeri seperti saat ini, tapi sebuah negeri yang terdiri dari Pulau Jawa dan Sumatera. Namun takdir sejarah berkata lain. Indonesia, terhitung sejak 1960-an, menjadi raksasa – dihuni penduduk mayoritas Muslim – berdampingan langsung dengan Australia.

Upaya terakhir Australia adalah menghentikan proses penyatuan wilayah bekas-bekas jajahan Belanda menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi tahun 1960-an, dan gagal. Belanda, setelah menyerahkan seluruh tanah-tanah jajahannya kepada Republik Indonesia, berharap menjadikan Papua sebagai wilayah penampungan seluruh pendukungnya yang akan meninggalkan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, setelah 1949.

Australia, dengan pandangan geopolitiknya sendiri, mendukung upaya Belanda untuk memastikan tidak boleh ada ancaman langsung dari utara. Papua, baik Papua Nugini maupun Papua, harus menjadi buffer zone bagi Australia.

Papua yang dikelola Belanda, dihuni masyarakat primitif dan orang-orang yang terusir dari Hindia-Belanda, akan memberi rasa aman yang cukup panjang bagi Australia. Sayangnya keinginan itu tidak didukung kemampuan militer.

Ketika Soekarno melancarkan operasi militer untuk membebaskan Papua, Canberra hanya bisa menyaksikan Belanda terusir secara menyedihkan dari tanah jajahan terakhirnya di Nusantara. Canberra sama sekali tidak mengirim kapal perang untuk membantu Belanda menghalau kapal-kapal Indonesia.

Sebelumnya, tahun 1950-an, Australia juga menggelar Operasi Claret untuk menghentikan upaya Indonesia mencaplok bekas tanah-tanah jajahan Inggris. Operasi ini relatif berhasil, yang membuat Sarawak dan Sabah tidak menjadi bagian Indonesia.

Setelah kegagalan di Papua, yang tersisa bagi Australia hanya sakit hati dan ketakutan. Publik kulit putih, terutama pemukim asal Britania Raya, tidak bisa melihat salah satu bangsa besar di Asia berada di depan pintu rumah mereka.

Di tahun 1970-an, Australia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Indonesia mencaplok Timor Timur dengan alasan memerangi komunis. AS  memberi ‘restu’ diam-diam, demi kepentingan Perang Dingin.

Tidak aneh Australia melakukan semua cara untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia, setelah Perang Dingin berakhir. Canberra bersedia membayar harga berapa pun, termasuk memberi makan rakyat Timor Timur dan kehilangan penghasilan perdagangan dengan Indonesia, untuk memerdekakan bekas tanah jajahan Portugis dan menjadikannya client state.


Spionase

Sukses Australia melepaskan Timor Timur tidak lepas dari operasi mata-mata yang berlangsung sekian lama, tanpa waktu jeda. Sejak 1950-an, menurut Dorling, Australia secara aktif menjadikan kedutaan besar-nya di Jakarta sebagai pusat operasi intelejen.

Dalam catatan harian tak dipublikasikan, Sir Walter Crocker memaparkan pelanggaran diplomatik yang dilakukan Australia dengan mengoperasikan Defence Signals Directorate (DSD) sejak pertengahan 1950-an, dan seterusnya.

Indonesia bukan tidak melakukannya. Menggunakan Hagelin Cypher Machine buatan Swedia yang ditempatkan di Kedubes Indonesia di Canberra, Indonesia berusaha menyadap pembicaraan elite-elite politik negeri Kanguru itu.

Dorling mengklaim GCHQ, perangkat intelejen untuk membantu Defence Signal, mengacak cara kerja Hagelin. Kegagalan ini tidak bocor ke publik, yang membuat hubungan pemimpin kedua negara berjalan normal.

Australia juga menempatkan Defence Signals Radio Facility di Shoal Bay, di luar Darwin, untuk memonitor komunikasi militer Indonesia, dan memberi peringatan kepada militer Australia akan niat Indonesia mengivasi Timor Timur.

Tahun 1999, intelejen Australia mendulang sukses luar biasa ketika mampu membocorkan rahasia intelejen pertahanan Indonesia. Ini memperlihatkan betapa intelejen Australia memiliki akses yang luas ke komunikasi militer dan sipi.

Ketika terjadi pembakaran Dili oleh militer Indonesia dan milisi pro-Jakarta, September 1999, militer Australia sama sekali tidak terkejut. Australia telah memperingatkan penduduk akan kemungkinan itu.

Sejak Australia dipimpin PM Robert Menzies, seluruh perdana menteri Australia diberi tahu adanya penetrasi DSD secara terus menerus terhadap komunikasi diplomatik, militer, dan sipil, terhadap Indonesia.

Paul Keating, PM Australia paling akrab dengan pemimpin Indonesia, tahu semua pembicaraan Soeharto dengan menteri-menterinya. Terutama yang menyangkut hubungan Indonesia-Australia, dan diplomasi regional.

Tidak hanya itu, Keating juga memberikan banyak informasi kepada Soeharto soal Mahathir Mohamad dan pandangan politik Malaysia terhadap Indonesia, karena Canberra juga menyadap ruang kabinet di Kuala Lumpur.

Pada perkembangan selanjutnya, DSD tidak hanya menyediakan data pembicaraan para petinggi Australia, tapi juga mampu menampilkan gambar-gambar paling pribadi SBY, serta rekan-rekan politiknya. Semua operasi ini tidak hanya dijalankan Australia, tapi juga AS, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris.

Kelima negara ini terlibat dalam program Five Eyes. Setiap hasil penyadapan tersaji sedemikian rupa, dan bisa dibaca di Washington, Wellingkon, Ottawa, dan London. Sandi operasi ini adalah STATEROOM , dan dijalankan di ruang rahasia di Kedubes Australia di Jakarta.

Bagi Australia, terutama saat Perang Melawan Teror, operasi ini memberi kontribusi tak sedikit berkaitan ancaman teroris. Namun, seorang mantan perwira intelejen mengatakan sasaran operasi adalah informasi politik, diplomatik, dan ekonomi.

Sang mantan perwira mengatakan pertumbuhan pesat penggunaan telepon genggam menjadi anugerah bagi Australia. Anugerah lainnya adalah cara berbicara orang Indonesia, tidak hanya masyarakat biasa tapi juga politisi, yang senang berbicara keras di telepon.

Politisi Indonesia bukan tidak tahu dirinya sedang disadap, tapi semua itu tak menghentikannya berbicara hal-hal penting. Tidak hanya di ruang rapat, tapi juga di jalan-jalan.

Di Australia, hampir semua elit politik dan militer negeri itu – serta birokrat dari segala lapisan – hanya bisa tersenyum ketika skandal ini terungkap. Mereka sama sekali tidak menganggap tindakan negaranya sebagai perbuatan kurang ajar.

Di Indonesia, semua orang marah. Hanya sebagian kecil yang mengatakan soal sadap menyadap itu biasa. Yang tidak biasa adalah kapan cerita sukses Indonesia menyadap Australia sekian lama, sampai akhirnya ada orang yang mengungkap.

Jika itu terjadi, apakah orang Australia juga hanya tersenyum? Hanya waktu yang bisa menjawab.

1 komentar:

  1. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada MBAH BUDI HARTONO yang telah menolong saya dalam kesulitan ini tidak pernah terpikirkan berkat bantuan MBAH yang memberikan pesugihan dana gaib sebesar 1 miliar syukur alhamdulillah kini saya sudah bisa melunasi semua hutang-hutang saya yang ada di BANK BRI kemarin saya takut mengikuti pesugihan ini takuk ada tumbal tapi mau di apa dengan kondisi yang tidak memunkinkan dan akhirnya saya coba minta tolong sama MBAH BUDI HARTONO dan dengan senang hati MBAH BUDI HARTONO membantu saya pesugihan dana gaibnya alhamdulillah semuanya bener-benar terbukti pesugihan dari MBAH ternyata aman tanpa tumbal karna saya sudah membuktikannya tidak ada resiko apapun dan baru kali ini saya menemukan dukun yang jujur yang bisa di percaya jangan anda takut untuk konsultasi jika anda ingin di bantu seperti saya lansung hubungi MBAH BUDI HARTONO di nomor hp 085-256-077-899 untuk info lebih jelasnya buka blog MBAH klik disini -->> PESUGIHAN DANA GAIB

    BalasHapus