Jumat, 20 Desember 2013

Tak Malu Mengintip Tetangga


Dua pekan sebelum PM Tony Abbott mengatakan Australia tidak akan menghentikan kegiatan mata-matanya di Indonesia, Philip Dorling -- National Affairs and Defence Correspondent untuk The Canberra Times – memilih judul provokatif untuk artikel yang dipublikasikan situs The Sydney Morning Herarld, yaitu Canberra don’t Trust Jakarta.

Di akhir tulisannya, Dorling menulis; “Pengungapan tindakan mata-mata menyebabkan diplomatic embarrassment, namun Australia tidak akan berhenti memati-matai Jakarta.”

Banyak tanggapan atas tulisan ini. Salah satunya mengatakan ketika Indonesia bertindak kekanak-kanakan, diplomasi Autralia gagal total. Canberra membiarkan isu skandal ini terus meningkat.

Banyak pihak di Australia yakin Indonesia hanya mengharapkan dari seseorang di Australia, terutama yang dikenal para elite politik di Jakarta. Bahkan, yang diharapkan Jakarta adalah Australia berpura-pura minta maaf, setelah itu pemerintah dan media di Indonesia akan menyelesaikan sisanya.

Yang paling menyakitkan dari komentar ini, dan seolah mencerminkan cara berpikir kebanyakan orang Australia, adalah Indonesia dan Australia secara kebetulan bertetangga. Indonesia adalah tetangga terbesar Australia yang tidak akan tumbuh menjadi lebih besar dengan segera. Jadi, yang harus dilakukan Australia adalah bagaimana setiap saat harus menenangkan seorang bocah.

Komentar lain yang cukup menyakitkan, Indonesia adalah salah satu negara yang tidak bisa dipercaya. Orang Indonesia hanya tertarik uang. PM Tony Abbott bisa membayar siapa pun di Indonesia untuk melakukan semua yang Australia inginkan.

Memati-matai Indonesia, demkikian komentar lainnya, sangat tepat. Indonesia adalah salah satu negara paling korup di muka bumi. Australia tidak perlu malu dengan pengungkapan skandal penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan akan sangat bodoh jika Australia tidak melakukannya.


Sakit Hati

Indonesia yang diinginkan Australia bukanlah negeri seperti saat ini, tapi sebuah negeri yang terdiri dari Pulau Jawa dan Sumatera. Namun takdir sejarah berkata lain. Indonesia, terhitung sejak 1960-an, menjadi raksasa – dihuni penduduk mayoritas Muslim – berdampingan langsung dengan Australia.

Upaya terakhir Australia adalah menghentikan proses penyatuan wilayah bekas-bekas jajahan Belanda menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi tahun 1960-an, dan gagal. Belanda, setelah menyerahkan seluruh tanah-tanah jajahannya kepada Republik Indonesia, berharap menjadikan Papua sebagai wilayah penampungan seluruh pendukungnya yang akan meninggalkan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, setelah 1949.

Australia, dengan pandangan geopolitiknya sendiri, mendukung upaya Belanda untuk memastikan tidak boleh ada ancaman langsung dari utara. Papua, baik Papua Nugini maupun Papua, harus menjadi buffer zone bagi Australia.

Papua yang dikelola Belanda, dihuni masyarakat primitif dan orang-orang yang terusir dari Hindia-Belanda, akan memberi rasa aman yang cukup panjang bagi Australia. Sayangnya keinginan itu tidak didukung kemampuan militer.

Ketika Soekarno melancarkan operasi militer untuk membebaskan Papua, Canberra hanya bisa menyaksikan Belanda terusir secara menyedihkan dari tanah jajahan terakhirnya di Nusantara. Canberra sama sekali tidak mengirim kapal perang untuk membantu Belanda menghalau kapal-kapal Indonesia.

Sebelumnya, tahun 1950-an, Australia juga menggelar Operasi Claret untuk menghentikan upaya Indonesia mencaplok bekas tanah-tanah jajahan Inggris. Operasi ini relatif berhasil, yang membuat Sarawak dan Sabah tidak menjadi bagian Indonesia.

Setelah kegagalan di Papua, yang tersisa bagi Australia hanya sakit hati dan ketakutan. Publik kulit putih, terutama pemukim asal Britania Raya, tidak bisa melihat salah satu bangsa besar di Asia berada di depan pintu rumah mereka.

Di tahun 1970-an, Australia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Indonesia mencaplok Timor Timur dengan alasan memerangi komunis. AS  memberi ‘restu’ diam-diam, demi kepentingan Perang Dingin.

Tidak aneh Australia melakukan semua cara untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia, setelah Perang Dingin berakhir. Canberra bersedia membayar harga berapa pun, termasuk memberi makan rakyat Timor Timur dan kehilangan penghasilan perdagangan dengan Indonesia, untuk memerdekakan bekas tanah jajahan Portugis dan menjadikannya client state.


Spionase

Sukses Australia melepaskan Timor Timur tidak lepas dari operasi mata-mata yang berlangsung sekian lama, tanpa waktu jeda. Sejak 1950-an, menurut Dorling, Australia secara aktif menjadikan kedutaan besar-nya di Jakarta sebagai pusat operasi intelejen.

Dalam catatan harian tak dipublikasikan, Sir Walter Crocker memaparkan pelanggaran diplomatik yang dilakukan Australia dengan mengoperasikan Defence Signals Directorate (DSD) sejak pertengahan 1950-an, dan seterusnya.

Indonesia bukan tidak melakukannya. Menggunakan Hagelin Cypher Machine buatan Swedia yang ditempatkan di Kedubes Indonesia di Canberra, Indonesia berusaha menyadap pembicaraan elite-elite politik negeri Kanguru itu.

Dorling mengklaim GCHQ, perangkat intelejen untuk membantu Defence Signal, mengacak cara kerja Hagelin. Kegagalan ini tidak bocor ke publik, yang membuat hubungan pemimpin kedua negara berjalan normal.

Australia juga menempatkan Defence Signals Radio Facility di Shoal Bay, di luar Darwin, untuk memonitor komunikasi militer Indonesia, dan memberi peringatan kepada militer Australia akan niat Indonesia mengivasi Timor Timur.

Tahun 1999, intelejen Australia mendulang sukses luar biasa ketika mampu membocorkan rahasia intelejen pertahanan Indonesia. Ini memperlihatkan betapa intelejen Australia memiliki akses yang luas ke komunikasi militer dan sipi.

Ketika terjadi pembakaran Dili oleh militer Indonesia dan milisi pro-Jakarta, September 1999, militer Australia sama sekali tidak terkejut. Australia telah memperingatkan penduduk akan kemungkinan itu.

Sejak Australia dipimpin PM Robert Menzies, seluruh perdana menteri Australia diberi tahu adanya penetrasi DSD secara terus menerus terhadap komunikasi diplomatik, militer, dan sipil, terhadap Indonesia.

Paul Keating, PM Australia paling akrab dengan pemimpin Indonesia, tahu semua pembicaraan Soeharto dengan menteri-menterinya. Terutama yang menyangkut hubungan Indonesia-Australia, dan diplomasi regional.

Tidak hanya itu, Keating juga memberikan banyak informasi kepada Soeharto soal Mahathir Mohamad dan pandangan politik Malaysia terhadap Indonesia, karena Canberra juga menyadap ruang kabinet di Kuala Lumpur.

Pada perkembangan selanjutnya, DSD tidak hanya menyediakan data pembicaraan para petinggi Australia, tapi juga mampu menampilkan gambar-gambar paling pribadi SBY, serta rekan-rekan politiknya. Semua operasi ini tidak hanya dijalankan Australia, tapi juga AS, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris.

Kelima negara ini terlibat dalam program Five Eyes. Setiap hasil penyadapan tersaji sedemikian rupa, dan bisa dibaca di Washington, Wellingkon, Ottawa, dan London. Sandi operasi ini adalah STATEROOM , dan dijalankan di ruang rahasia di Kedubes Australia di Jakarta.

Bagi Australia, terutama saat Perang Melawan Teror, operasi ini memberi kontribusi tak sedikit berkaitan ancaman teroris. Namun, seorang mantan perwira intelejen mengatakan sasaran operasi adalah informasi politik, diplomatik, dan ekonomi.

Sang mantan perwira mengatakan pertumbuhan pesat penggunaan telepon genggam menjadi anugerah bagi Australia. Anugerah lainnya adalah cara berbicara orang Indonesia, tidak hanya masyarakat biasa tapi juga politisi, yang senang berbicara keras di telepon.

Politisi Indonesia bukan tidak tahu dirinya sedang disadap, tapi semua itu tak menghentikannya berbicara hal-hal penting. Tidak hanya di ruang rapat, tapi juga di jalan-jalan.

Di Australia, hampir semua elit politik dan militer negeri itu – serta birokrat dari segala lapisan – hanya bisa tersenyum ketika skandal ini terungkap. Mereka sama sekali tidak menganggap tindakan negaranya sebagai perbuatan kurang ajar.

Di Indonesia, semua orang marah. Hanya sebagian kecil yang mengatakan soal sadap menyadap itu biasa. Yang tidak biasa adalah kapan cerita sukses Indonesia menyadap Australia sekian lama, sampai akhirnya ada orang yang mengungkap.

Jika itu terjadi, apakah orang Australia juga hanya tersenyum? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Tidak Ada kata Maaf dari Australia



Beberapa hari setelah skandal penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terungkap dan Indonesia menuntut melayangkan permintaan maaf secara terbuka, Zareh Ghazarian – dari School of Political and Social Inquiry di Monash Universtiy – mengatakan; PM Tony Abbott tidak akan melakukannya.
Abbott. 

Menurut Ghazarian, tahu pentingnya hubungan Australia-Indonesia. “Namun, Abbott terlanjur menyebut diri ‘lebih kuat’ dari pendahulunya, dan akan berusaha tidak terlihat sebagai pemimpin yang mudah diintimidasi kekuatan luar,” ujar Ghazarian kepada Time.

Bisa dipahami mengapa Abbott, setelah sekian hari skandal penyadapan terungkap dan Indonesia telah menarik duta besar-nya dari Canberra, tidak juga meminta maaf. Abbott yakin melayangkan permintaan maaf kepada Indonesia akan membuat popularitasnya menurun, dan pers Australia akan mengecamnya sebagai pemimpin terintimidasi.

Ghazarian memperkirakan yang akan dilakukan Abbott adalah mengontak SBY secara pribadi dan rahasia, serta menyusun langkah bersama untuk menyelamatkan muka masing-masing di depan rakyatnya. Tidak tahu kapan Abbott akan melakukannya. Yang pasti, masih menurut Ghazarian, Abbott dan SBY belum saling melihat teman baik tiba-tiba menjadi musuh terburuk.

Perkiraan Ghazarian sedikit meleset. Australia memperlihatkan sikap mendua dalam skandal penyadapan. Julie Bishop, dubes Australia untuk Indonesia, mengatakan Canberra sangat menyesali skandal penyadapan itu. Beberapa hari kemudian Abbott memperkeras sikapnya dengan mengatakan pihaknya tidak akan menghentikan kegiatan mata-mata di Indonesia.

Abbott seolah tidak peduli dengan janji yang diucapkan saat kampanye, yaitu more Jakarta, less Geneva. Australia akan fokus memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia, dan negara-negara Asia lainnya, seraya mengurangi hubungan multilateral historis dengan Eropa (Barat).

Abbott hanya sempat memenuhi janjinya pada pekan-pekan pertama tugasnya. Ia, bersama menteri luar negeri dan delegasi bisnis, mengunjungi Jakarta. Ia juga melakukannya lagi sebelum menghadiri pertemuan tahunan Asia-Pacific Economic Co-operation Group di Bali, Oktober lalu.

Arogan, Takut

Bagi pemerhati hubungan Indonesia-Australia, sikap keras Abbott bukan sesuatu yang baru. Hubungan kedua negara kerap mengalami fluktuasi, karena kerap diwarnai sikap – meminjam istilah Chris Trotter dalam The Daily Blog – arogan dan ketakutan. Dalam bahasa yang lain, Richard Tanter menyebut hubungan kedua negara sebagai ambiguous asymmetry.

Sikap ini diperlihatkan Australia sejak kali pertama menjalin hubungan diplomatik dengan Jakarta. Canberra melihat Indonesia sebagai raksasa yang kerap harus ditenangkan, dengan membeli para jenderal korup yang sedang berkuasa, untuk kepentingan jangka panjang. Arogan karena Australia, kendati telah memberikan hak politik kepada orang Aborigin, tetap menyebut diri ‘white’.

Tahun 2010, Australia adalah negara besar dengan penduduk sedikit, yaitu 22,6 juta orang, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) 1.219 miliar dolar AS (peringkat ke-13 di IMF), serta PDB per-kapita 54.869 dolar AS. Tahun yang sama, Indonesia, dengan jumlah penduduk 237,6 juta, memiliki PDB 695 miliar dolar AS (peringkat ke-18 IMF), dan PDB per-kapita 2.963 dolar AS.

Australia adalah negara hasil kolonialisme Eropa, dengan catatan sejarah yang panjang sebagai pembantai penduduk Aborigin. Canberra berusaha membentuk formasi sosial yang kompleks, dan mempertahankan kualitas structural dan budaya dari period pra-kolonial dan kolonial.

Indonesia adalah salah satu negara Asia yang mampu melepaskan diri dari kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, dengan memerdekaan saat terjadi vacuum power dan mempertahankannya lewat peran dan perundingan ketika Belanda berusaha kembali berkuasa.

Kenyataan fundamental yang menguatkan asumsi bahwa Indonesia dan Australia menjalin hubungan asimetris adalah Indonesia sangat penting bagi Australia, tapi Australia tidak terlalu penting bagi Indonesia. Hampir dalam semua aspek, Australia bukan negara penting bagi politik dunia, kendati memiliki kekuatan ekonomi.

Pandangan bahwa Indonesia sangat penting bagi Australia, terutama dari segi keamanan, muncul dari pemikiran geopolitk Nancy Viviani. Menurut Viviani, besaran populasi dan kekuatan militer juga penting dalam hubungan internasional. Artinya, Indonesia jauh lebih berbahaya bagi Australia, dibanding Cina dan Jepang.

Konsekuensi dari hubungan asimetri ini, masih menurut Viviani, Australia harus menanggung biaya yang tidak proporsional jika bersengketa dengan Indonesia. Tidak hanya itu, Canberra juga harus menanggung biaya yang cukup besar untuk mempertahankan hubungannya dengan Jakarta.

Sebagai ancaman masa depan, Australia merasa perlu terus mempelajari Indonesia. Sedangkan Indonesia tidak merasa perlu mempelajari Australia. Indonesia relatif hanya mewaspadai Australia sebagai tetangga yang berniat memecah belah NKRI, yaitu dengan berupaya melepaskan Papua dan menjadikannya client state.

Di bidang pertahanan, intelejen dan urusan luar negeri, Australia sangat menghargai orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam dan berkompeten tentang Indonesia. Dengan kata lain, Australia lebih menghormati ahli Indonesia ketimbang ahli Cina dan Jepang.

Intelejen Australia akan selalu mencari informasi apa saja tentang Indonesia, mulai dari militer sampai urusan pribadi pemimpin-pemimpin Indonesia yang sedang berkuasa. Di era Soekarno, Australia melancarkan Claret Operation, yang di dalamnya mencakup upaya pembunuhan terhadap presiden pertama Republik Indonesia itu.

Arogansi dan ketakutan diperlihatkan Australia dengan sangat gamblang selama Perang Melawan Teror. John Howard, PM Australia saat itu, menjadikan dirinya deputy sheriff  untuk Asia Tenggara. Legitimasi dari AS membuat Howard seenak perut mengontrol Jakarta, dan memaksa pihak keamanan Indonesia memerangi kelompok-kelompok Islam garis keras, dan memaksakan desainnya untuk Papua.

Di sisi lain, Howard juga memaksa Indonesia mencegah pencari suaka dari Irak dan Afghanistan yang menuju Australia lewat perairan Nusantara. Jakarta, entah bagaimana, menuruti kehendak itu. Ratusan pencari suaka ditahan di berbagai kota di Indonesia. Lainnya tenggelam sebelum tertangkap.

Pada saat bersamaan, Howard memperlihatkan phobia terhadap Indonesia dengan mengeluarkan Maritime Identification Zone 1000 Mil. Akibatnya, menurut Tanter, terjadi perubahan persepsi tentang Australia di kalangan perencana militer Indonesia. Australia bukan lagi kawan, tapi ancaman potensial bagi Indonesia.

Yang juga lebih menarik adalah ada saling tidak percaya di kalangan elite kedua negara. Setiap tahun, terhitung sejak 2006, Lowy Institut mengatakan jajak pendapat untuk mengetahui pandangan masyarakat Australia terhadap Indonesia dengan skala 0 sampai 100. Hasilnya, skala rata-rata kepercayaan public Australia terhadap Indonesia di bawah 50.

Tahun 2009 mungkin yang paling mengejutkan. Sebanyak 54 persen penduduk Australia sama sekali tidak mempercayai Indonesia.

Survei yang sama juga dilakukan di Indonesia. Lowy Institute menunjukan hanya tahun 2006 publik Indonesia sedikit mempercayai Australia. Skor-nya adalah 51. Setelah itu, tidak ada lagi. Kedua negara terjerumus ke dalam hubungan saling tidak percaya.


Terus Mengintip

Jika hubungan Indonesia-Australia terlihat mesra, itu lebih disebabkan kedekatan personal sekelompok kecil pemimpin kedua negara. Di era Orde Baru, Soeharto sangat dekat dengan Gough Whitlam dan Paul Keating. Namun, kedekatan mereka sama sekali tidak menghilangkan saling curiga para elite kedua negara.

Di era Keating, misalnya, Australia sama sekali tidak menghentikan aktivitas mata-matanya di Jakarta. Soeharto dan Keating tahu semua itu, tapi sama sekali tidak mengganggu hubungan personal keduanya.

Persoalan akan menjadi berbeda jika aktivitas spionase Australia di Indonesia terungkap ke publik. Soeharto mungkin akan menghadapi tekanan rakyatnya, agar menuntut Keating meminta maaf. Situasi inilah yang dihadapi SBY dan Abbott saat ini.

Di Eropa, Angela Merkel mungkin tidak akan mencak-mencak kasus penyadapan terhadap dirinya, yang dilakukan Amerika Serikat, tidak diketahui publik Jerman dan dunia. Spionase adalah kegiatan rahasia, dan harus diselesaikan secara rahasia. Ketika kegiatan spionase diketahui publik, akan menimbulkan dampak politik bagi para pemimpin.

Padahal, sepanjang sejarah hubungan Indonesia-Australia, Jakarta beberapa kali mendeportasi diplomat Australia yang tertangkap melakukan kegiatan mata-mata. Saat bersahabat dengan Soeharto, Whitlam menempatkan Murray Clapham sebagai kepala Badan Intelejen Australia (ASIS) di Jakarta.

Bersama Geoff Forrester, Clapham kemudian menjadi penasehat sector swasta untuk masalah hubungan dengan Indonesia. Sedangkan Allan Taylor, mantan Dubes Australia di Jakarta dan mantan ketua ASIS, menjadi penasehat dua partai yang saling berebut pengaruh di Australia.

Artinya, spionase telah menjadi bagian kebijakan Australia terhadap Indonesia. Tidak ada tahun-tahun hubungan Indonesia-Australia tanpa aktivitas spionase Canberra. Ini menjadi jelas dengan pernyataan Abbott bahwa Australia tidak akan menghentikan aktivitas mata-matanya di Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana Australia memperbaiki hubungan dengan Indonesia pasca terungkapnya skandal penyadapan? Canberra kemungkinan akan menunggu sampai pemerintahan baru di Indonesia terbentuk usai Pemilu 2014.

Australia tahu orang Indonesia gampang lupa. Mereka akan menunggu sampai situasi lupa orang Indonesia sempurna, dan pemerintahan baru menyediakan suasana untuk memperbaiki hubungan. Jadi, tidak ada kata maaf dari Australia.

Berbagai Pendekatan Australia Terhadap Indonesia

Richard Tanter, dalam  Shared problems, shared interests: reframing Australia-Indonesia security relations, mengelompokan kebijakan keamanan Australia menjadi empat; realisme strategis (strategic realism), pendekatan institusionalis liberal (liberal institutionalist approaches), pendekatan keamanan manusia (human security approach), dan pengelolaan regional (regional stewardship). Setiap pendekatan memiliki sejarah, kerangka teori, kerangka analisis, sekumpulan kebijakan, kebaikan dan keburukan, serta sejauh mana efektivitas setiap pendekatan.


Realisme Strategis

Pendekatan realisme strategis mendominasi kebijakan militer Australia terhadap Indonesia sepanjang periode pasca perang. Selama periode itu, dasar-dasar kebijakan pertahanan Australia dijelaskan secara berkala di depan kabinet dalam dokumen yang disebut Strategic Base Papers.

Dalam realisme strategis, Indonesia selalu menjadi perhatian utama semua perencana militer Australia. Inti dari semua perencanaan saat itu adalah mempertahankan celah laut dan udara sekitar wilayah Negeri Kanguru. Akibatnya, muncul kesan Australia kerap memandang Indonesia sebagai ancaman potensial. Atau, ancaman terhadap Australia akan datang dari kepulauan Indonesia.

Ketakutan terhadap ancaman dari utara tidak muncul begitu saja, tapi tertanam sekian lama dalam budaya politik Australia. Tidak sulit memahami semua ini. Australia adalah negara yang terbentuk dari penaklukan, pemukiman kolonialisme, dan pembantaian penduduk asli.

Kesulitan fundamental pendekatan realisme strategis adalah bagaimana menjelaskan pendekatan ini kepada masyarakat Australia yang demokratis. Pendekatan ini membutuhkan biaya besar, dan perlunya mempertahankan aliansi dengan AS.

Masalah lainnya adalah pendekatan realisme strategis memandang Indonesia sebagai bahaya inheren, yang mengharuskan Australia harus selalu melakukan persiapan militer. Asumsi yang digunakan adalah Indonesia bisa melakukan persiapan militer kapan saja, untuk menyerang Australia.

Pendekatan ini menjadi kontraproduktif, karena Australia terus berupaya menjalin hubungan ekonomi dengan Indonesia, ketika Jakarta menjawab persiapan-persiapan militer Canberra sebagai tindakan tidak bersahabat. Contoh paling menarik adalah deklarasi Zona Identifikasi Maritim 1.000 Mil dan rencana Australia mengakuisisi pertahanan jarak jauh berbasis rudal jelajah yang ditempatkan di atas kapal laut.

mendorong para perencana militer Indonesia untuk mempertimbangkan, dalam batas-batas sumber daya mereka, pencocokan teknologi dan kekuatan struktur.



Institusionalis Liberal

Pendekatan ini mendominasi politik luar negeri Australia sejak dirumuskan oleh tiga diplomat; Sir Garfield Barwick, Thomas Critchley, Sir Keith Charles Owen (Mick) Shann, dalam konteks Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Inti dari pendekatan ini adalah pentingnya menjaga komunikasi dengan pemimpin-pemimpin Indonesia, formal dan informal, serta pembangunan institusi untuk menghindari konflik.

Seiring waktu, pendekatan ini sedikit berubah arah, yaitu dengan lebih mengedepankan komunikasi dan kompromi. Ini terlihat saat Indonesia di bawah Orde Baru. Canberra lebih banyak kompromi dalam isu Timor Timur. Akibatnya, kritikus politik luar negeri Australia menuduh Canberra kehilangan pijakan realisnya, dan lebih menekankan pada kekuatan lobi Jakarta.

Selama empat dekade, hubungan Indonesia-Australia didominasi kehati-hatian kedua pihak. Canberra berusaha menghindari provokasi, dan menerapkan pembatasan. Tindakan kompromi diperlihatkan Richard Woolcott, dubes Australia untuk Indonesia tahun 1975, yang memberikan saran kepada pemerintah Australia untuk menerima invasi Indonesia ke Timor Timur.

Woolcott lebih suka bersikap pragmatis. Karena, kata Woolcott dalam kabelnya ke Canberra, bukankah dengan cara itu Australia bisa menjaga kepentingan nasinalnya. Ia juga menyebut pendekatan realisme strategis sebagai retorika ketangguhan maskulin, dan penilaian politik berdasarkan data intelejen yang buruk.

Adalah Woolcott yang mendukung hubungan kelembagaan kedua negara, dengan memperluas basis pendidikan Bahasa Indonesia, dan pembengunan studi Indonesia di berbagai universitas di Australia. Ia adalah instititusionalist sejati.

Namun pendekatan institusionalis diartikulasikan dengan sangat baik oleh PM Paul Keating, ketika dia mengatakan;  "Tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia daripada Indonesia. Jika kita gagal menjalin hubungan ini dengan benar, memelihara, dan mengembangkannya, hubungan luar negeri kita tidak akan lengkap.”

Sikap hormat berlebihan Keating kepada Soeharto, menutupi cara Orde Baru berdiri dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan di Timor Timur dan Papua. Hasilnya beragam, tergantung cara pandang politisi Australia dan Indonesia.

Yang pasti, setelah Keating kehilangan posisinya, semua peninggalan pemerintahannya lenyap begitu saja. Tidak ada lagi pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Perjanjian keamanan Indonesia-Australia runtuh , menyusul dekolonisasi Timor Timur. Menariknya, John Howard – pengganti Paul Keating – kesulitan menahan gema pentingnya pembangunan kelembagaan warisan pendahulunya pada tahun-tahun terakhir tugasnya.



Keamanan Manusia

Pendekatan ini memiliki akar politiknya sendiri, yaitu sebagai kritik terhadap pendekatan institusionalis liberal yang mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Indonesia di Timor Timur dan Papua. Lebih rinci lagi, akar pendekatan ini adalah campuran kosmopolitanisme dan klaim ketidak-terpisahan hubungan negara dan masyarakat internasional dalam hubungan luar negeri suatu negara.

Pendukung pendekatan ini tidak hanya menekankan pentingnya tanggung jawab moral Australia terhadap umat manusia di mana pun. Artinya, Australia harus memperhatikan keadaan masyarakat Indonesia dan hak asasinya.

Setelah sekian ratus tahun membantai orang-orang Aborigin, penduduk kulit putih Australia seakan memiliki hak moral untuk mengaduk-ngaduk urusan dalam negeri Indonesia dengan isu kemanusiaan. Mereka seolah lupa betapa mereka lupa akan sejarah penuh darah yang dibuatnya sendiri.

Setelah sukses melepaskan Timor Timur dari Indonesia, Australia mengobok-obok Papua. Pendukung kebijakan ini mengatakan selama polisi Indonesia diijinkan mendominasi kebijakan di Papua, untuk melanjutkan kebijakan predator, akan ada kebutuhan untuk pendekatan keamanan untuk kepentingan kemanusiaan.

Berbeda dengan di Timor Timur, Australia memiliki pegangan kelembagaan yang relatif sedikit. Akibatnya, kebijakan keamanan manusia secara dramatis menurunkan kemungkinan Australia bisa melepaskan Papua dari Indonesia.

Setidaknya, ada tiga perbedaan yang relevan antara kasus Papua dan Timor Timur. Pertama, meski Indonesia dan Australia telah berupaya keras, masalah bekas koloni Portugis itu tetap tercantum dalam Komite Dekolonisasi PBB dari 1975 sampai kemerdekaan Timor Lesta.

Artinya, masalah Timor Timur akan selalu bisa dibawa ke Dewan Keamanan , dan tidak pernah terhapus dari agenda public institusi global. Kedua, perlawanan politik dan budaya selama bertahun tahun mampu menggoyahkan posisi Indonesia di Timor Timur. Di Papua, perlawanan terhadap Indonesia tidak pernah mencapai koherensi, karena daya tahan perlawanan di Papua tidak sama dengan di Timor Timur.

Terakhir, kampanye hak asasi manusia berbasis gereja yang dilakukan Australia jauh lebih kotor. Mereka menggunakan isu Jawanisasi dan rasisme, yang secara langsung menimbulkan kemarahan. Akibatnya, pendekatan keamanan manusia sering kali menimbulkan pertanyaan.



Pengelolaan Regional

Pendekatan ini muncul secara jelas sejak intervensi Australia ke Timor Timur tahun 1999. Wilayah operasi perdamaian Australia tidak hanya terbatas di celah laut dan udara yang rawan serangan dari Indonesia, tapi meluas ke Paifik dan Timor Timur.

Pendekatan ini relatif dibenarkan jika terjadi kekhawatiran pemerintah Australia gagal mengamankan wilayah, dan menghentikan pelanggaran hak asasi manusia. Dasar pendekatan ini adalah realisme strategis. Bedanya, pengelolaan regional mensyaratkan campur tangan Australia, sipil atau militer, dalam semua persoalan di Pasifik.

Pendekatan ini dianggap sesuai dengan nilai-nilai Australia, dan merupakan bentuk tanggung jawab lokal dalam konteks aliansi dengan AS melawan teror. Serta, merupakan perpaduan antara kepentingan nasional, moral, dan tanggung jawab.

Sepekan setelah pendaratan Australian Defence Force (ADF) di Dili, September 1999, PM John Howard mengumumkan apa yang kemudian disebut Howard Doctrine, yang merupakan pengesahan pendekatan pengelolaan regional.

Doktrin Howard mencakup istilah Australia sebagai wakil penjaga perdamaian di wilayah sekelilingnya. Peran Australia di Timor Timur memperlihatkan betapa negeri benua itu kuat secara ekonomi, sehingga mampu membiayai operasi militer di luar wilayahnya, dan menjadi kekuatan regional yang harus diperhitungkan.

Jika AS memainkan peran leader of last resort, Australia harus memainkan peran yang unik sebagai negara Barat di Asia dengan link yang kuat dengan AS. Dalam wawancara radio, Howard mengatakan; “Kita bersedia terlibat dalam sengketa dengan tetangga terdekat untuk mempertahankan nilai-nilai. Kita juga mampu membangun asosiasi dengan negara-negara di luar Asia.”

Indonesia memang tidak termasuk dalam daftar yang akan dikelola Australia. Namun seringnya ekspresi nasionalisme yang diperlihatkan rakyat Indonesia, membuat perencana militer di Canberra tetap menganggap Indonesia sebagai ancaman. Hanya saja, Indonesia dianggap sebagai ancaman yang memiliki potensi.

Senin, 16 Desember 2013

10 Nopember 1945, Sebuah Kekonyolan Sejarah

 Surabaya-sector. Gevonden: een gesneuvelde Jap.

Setiap tahun, pada 10 Nopember, kita memperingati Hari Pahlawan. Ada upacara di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan di pemakaman orang-orang yang disebut pejuang.

Di rumah, saya membaca kembali Peristiwa 10 Nopember. Saya sampai pada kesimpulan, inilah satu-satunya perang yang kita punya. Pertanyaan bodoh saya, ideologi apa yang menggerakan perang ini?

Menurut saya ada dua ideologi yang menggerakan rakyat Surabaya, yaitu komunis dan Islam. Saat itu Pancasila belum lahir, karena Soekarno masih sibuk ngurusin kabinet, seraya memikirkan kemungkinan ditangkap sekutu karena kolaborasinya dengan Jepang.

Komunis bergerak di medan perang, dengan Soemarsono -- salah satu tokoh Pesindo -- sebagai komandannya. Bung Tomo tak henti berteriak Allahu Akbar untuk menggerakan kyai mengirim santri-santrinya ke medan pertempuran.

Tidak ada perang besar, yang melibatkan dua kekuatan senjata tak sebanding, tanpa ideologi. Peristiwa 10 Nopember tidak berbeda dengan Pengepungan Stalingrad (kini St Petersburg) dan Dien Bien Phu.

Di Stalingrad, pada Perang Dunia II, pasukan Uni Soviet yang minim persenjataan harus mempertahankan kota dari serbuan Nazi Jerman. Dari peristiwa ini muncul istilah 'taktik banjir manusia'.

Stalin tidak peduli berapa orang Rusia yang mati, yang penting kota bisa dipertahankan. Nikita Kruschev berpesan kepada seluruh kamerad-nya, tugas kita bukan untuk memenangkan perang, tapi membuat lawan kelelahan menekan pelatuk, kehabisan peluru, dan mundur.

Cara serupa diterapkan Jenderal Vo Nguyen Giap ketika menaklukan Prancis di Dien Bien Phu, dalam perang kemerdekaan Vietnam 1954. Jenderal Giap (baca zhap) memerintahkan 48 ribu pasukannya menggempur 16 ribu tentara Prancis di parit-parit Dien Bien Phu selama dua pekan tanpa henti.

Perang Dien Bien Phu terhenti setelah Prancis mengibarkan bendera putih. Prancis meninggalkan Dien Bien Phu dengan 3.000 kantong mayat. Vietnam menguburkan 25 ribu serdadunya. Perbedaan jumlah korban mencerminkan ketidak-seimbangan persenjatan kedua pihak.

Vietnam juga melakukan hal sama ketika mengusir AS dari Vietnam Selatan. Sejarah mencatat Vietnam kehilangan tiga juta orang, AS hanya membawa pulang 50 ribu kantong mayat.

Di Surabaya, Inggris mungkin hanya kehilangan kurang dari 1.000 serdadu. Sedangkan di kubu PRI dan rakyat Surabaya, korban tewas mencapai belasan -- atau mungkin puluhan -- ribu.

Inggris meratap ke Soekarno, meminta perang dihentikan. Soekarno, entah atas pertimbangan apa, menginstruksikan rakyat Surabaya menghentikan serangan.

Sebuah kekonyolan sejarah. Peristiwa 10 Nopember tak seharusnya dihentikan oleh sebuah instruksi, tapi dibiarkan sampai Inggris mundur atau menyerah.

Di Vietnam, Prancis mendesak Ho Chi Minh menghentikan pengepungan Dien Bien Phu. Bak Ho, demikian Ho Chi Minh dipanggil rakyatnya, tak menanggapi.

Di Stalingrad, Kruschev mengabaikan propaganda dan bom-bom Nazi, dengan terus menginstruksikan pasukannya melawan atau mati. Di Moskwa, Stalin memberikan pidato pertamanya -- dalam logat Georgia yang kampungan -- untuk membakar semangat rakyat kota itu.

Kekonyolan Soekarno menghentikan perang Surabaya membuat Indonesia tidak memiliki catatan tentang perang yang dimenangkan secara mutlak, dan menjadi semangat dasar menghadapi perang yang lebih besar. Akibatnya, tidak ada perang besar yang melibatkan rakyat Indonesia dengan Koninklijke Nederlansche Indisch Lager (KNIL), NICA, dan Koninklijke Landmach (KL) selama periode 1946 sampai 1950.

Saya curiga Bak Ho dan Jenderal Giap belajar tentang taktik 'banjir manusia' versi Asia dalam Pertempuran Surabaya. Sedangkan kita tidak pernah melakukannya lagi tatkala menghadapi KNIL dan KL, yang membuat kemerdekaan negeri ini tidak pernah diakui sang penjajah.

Sabtu, 14 Desember 2013

Timor Leste: Lepas dari Indonesia, Diperas Australia



Tahukah Anda berapa harga yang harus dibayar Timor Leste kepada Australia agar bisa merdeka dari Indonesia?

Quinton Temby, freelance correspondent Deutsche Welle dan Radio Australia di Timor Leste pada tahun-tahun awal sejak negeri itu merdeka, punya cerita menarik soal ini. Cerita dimulai dari sebuah ruang konferensi internasional tentang keamanan regional di Dili, dua tahun setelah Australia melepaskan Timor Leste dari pangkuan Indonesia.

Hampir seluruh pejabat tinggi Timor Leste keluar dari ruang sidang dengan wajah frustrasi. Bukan tindakan milisi Indonesia -- yang menghancurkan seluruh infrastruktur dan desa setelah jajak pendapat penuh muslihat melepaskan wilayah itu dari Indonesia -- yang membuat mereka frustrasi, tapi Australia.

Australia memposisikan diri menjadi pihak yang 'harus' menerima manfaat terbesar dari perannya memerdekakan Timor Leste. Caranya, dengan meminta bagian terbesar cadangan minyak dan gas alam Laut Timor.

Seorang pejabat Timor Leste meratap kepada delegasi Australia. "Australia negara kaya, Timor Leste sangat miskin. Pembagian ini sangat tidak adil."

Delegasi Australia tak bergeming. Pejabat Timor Leste itu melanjutkan ratapannya; "Sulit bagi kami memberi tahu rakyat bahwa kolonisasi tidak akan pernah berakhir, bahkan saat kami telah mencapai kemerdekaan."

Kali ini, ratapan pejabat Timor Leste mendapat tanggapan. Allan Dupont, mantan diplomat dan anggota delegasi Australia, mengatakan; "Sayangnya, hubungan internasional tidak didasarkan pada emosi atau ekuitas, tapi pada hard-nose reality (1)."

Orang Timor Timur tidak pernah tahu semua ini. Jika mereka tahu, mungkin mereka akan menolak tutorial politik Australia, dan tidak pernah merdeka, atau memilih tetap bersama Indonesia.

Timor Timur, yang kemudian menjadi Timor Leste, merdeka pada 20 Mei 2002 dan menjadi negara termiskin di Asia. Mereka sama miskinnya dengan Rwanda, dan harus ketergantungan tak sehat kepada bantuan asing.

Kesempatan mereka untuk keluar dari kemiskinan sangat tergantung pada kemampuan mereka mengelola cadangan gas dan minyak di Celah Timor. Namun, Australia ingin menguasai sebagian besar cadangan itu.

Laut Timur adalah wilayah sengketa. Canberra mengklaim dasar Laut Timor sebagai bagian dari landas kontinen Australia, yang membentang ke Palung Timor -- atau hanya 50 mil laut dari bibir pantai Timor Leste. Dili menentang klaim itu, dan berkeras pada prinsip garis tengah antara kedua negara.

Jika klaim Canberra diterima, Australia dipastikan menguasai 70 persen cadangan minyak dan gas bumi Celah Timor, yang membuat Timor Leste tidak memiliki harapan untuk hidup makmur.

Tidak ada kesepakatan yang diteken pada hari pertama konferensi. Namun pada hari yang sama PM Mari Alkatiri mengatakan Timor Leste masih mengklaim hak batas maritim permanen, meski perjanjian telah ditanda-tangani. Perjanjian Laut Timor ini membuat prizefight -- atau hadiah pertarungan memperebutkan sumber daya antara negara miskin dan kaya -- menjadi resmi.

Menerima klaim Australia tidak ubahnya bunuh diri berdaulat bagi Timor Leste. Di sisi lain, Australia menganggap klaim Timor Leste meresahkan Canberra, berkaitan dengan ketakutannya kepada Indonesia.

Ketakutan Australia kepada Indonesia terungkap beberapa hari setelah pembicaraan batas wilayah maritim Timor Leste-Australia. Saat itu Menlu Alexander Downer mengatakan; "Batas maritim Australia-Indonesia mencakup ribuan kilometer. Itu masalah besar, dan kami tidak akan terjerumus ke permainan renegotiating Indonesia."

Australia masih punya alasan lain untuk takut jika menerima klaim Timor Leste. Sebelum perjanjian ditekan, PetroTimor -- sebuah perusahaan minyak yang berbasis di AS -- berupaya mendapatkan hak menambang di Celah Timor. PetroTimor menunjuk Vaughan Lowe, profesor Hukum Internasional Universitas Oxford, dan Cristopher Carleton -- kepala Divisi Hukum laut di kantor Hidrografi Inggis, untuk membentuk opini publik.

Lowe mengatakan perjanjian yang dipaksakan Australia akan mencegah Timor Leste menetapkan batas-batas maritim yang sah sesuai hukum internasional. PetroTimor mendesak Timor Leste membatalkan perjanjian itu dan menyerahkan sengketa Celah Timor ke Mahkamah Internasional. PetroTimor bersedia mendanai perjuangan ini. Sebagai imbalannya, PetroTimor akan memberikan 10 persen dari pendapatan minyak dan gas bumi di Celah Timor jika berhasil.

Pemerintahan Trasisi PBB di Timor Leste menolak tawaran itu. Alasannya, argumen legal kedua pihak atas Celah Timor harus ditangani secara serius.

Dua hari sebelum PetroTimor mempublikasikan tawarannnya di Dili, Australia diam-diam berusaha agar sengketa batas wilayah dengan tetangga miskinnya tidak dibawa ke Pengadilan Hukum Laut Internasional dan Mahkamah Internasional. Australia tahu jika usul PetroTimor dipublikasikan, hampir semua negara akan menyerang Ausralia.

Canberra juga tidak ingin sengketa batas wilayah diselesaikan lewat litigasi, tapi lewat negosiasi. PM Alkatiri frustrasi, dan menyebut tindakan Australia sangat tidak bersahabat.

Di bawah ancaman arbitrase internasional, dan tekanan agar Timor Leste membayar semua dana yang dikeluarkan Bank Dunia dan negara donor selama pemerintahan transisi, Australia secara hebat memaksa Dili menandatangani perjanjian tak adil.

Dili sempat berreaksi dengan menahan dua pengacara yang didanai PBB. Australia memiliki tim pengacara, penasehat, dan perunding hebat. Pada satu kesempatan, di bawah komando Menlu Alexander Downer, menggeruduk gedung pemerintahan Timor Leste dan menerobos masuk ke ruang kabinet.

Dalam transkrip rahasia yang bocor, Downer -- dengan kesombongon tuan kulit putih pembantai Aborigin -- mengatakan; "Jika saya jadi Anda, saya akan fokus bagaimana memperoleh pendapatan untuk negara Anda yang baru dan miskin, tanpa mengkompromikan integritas. Menyebut kami kerbau besar adalah sesuatu yang aneh. Kami mengeluarkan Timor Timur dari Indonesia tanpa memperoleh keuntungan ekonomi."

PM Alkatiri nyaris mengundurkan diri, akibat tidak ada niat Australia menyetujui batas maritim yang diinginkan. Alkatiri mencoba cara lain, yaitu dengan meminta bagian lebih dari hasil eksploitasi minyak dan gas bumi.

Downer menolak dengan, sekali lagi khas kesombongan kulit putih, dengan mengatakan; "Kami tidak harus menggali cadangan minyak itu. Seluruh kekayaan alam itu bisa tidak digali sampai 20, 40, atau 50 tahun. Kami tidak peduli Anda membocorkan informasi ini ke media. Biarkan kami memberikan tutorial politik, bukan kesempatan."

Bagi semua orang Timor Timur, seluruh sejarah mereka -- terhitung sejak invasi Indonesia -- adalah tutorial politik buram yang ditulis Australia. Dimulai ketika Richard Woolcott, saat itu Dubes Australia untuk Indonesia, mendorong Canberra untuk menerima invasi Indonesia ke Timor Timur.

Woolcott, dalam kawat rahasia yang bocor, mengatakan semua itu demi kepentingan ekonomi jangka panjang. Merundingkan batas-batas maritim, terutama Celah Timor, dengan Indonesia akan lebih mudah ketimbang dengan orang Timor Timur.

Prediksi Woolcott benar. Tahun 1989, Australia dan Indonesia menandatangani Perjanjian Celah Timor.

Bagi pendukung kemerdekaan Timor Leste, perjanjian itu merupakan titik terendah dukungan Australia terhadap perjuangan rakyat bekas jajahan Portugis itu. Xanana Gusmao, pemimpin gerilyawan Timor Timur, menyebut perjanjian itu sebagai pengkhianatan Canberra.

"Australia telah menjadi kaki tangan pelaku pembunuhan rakyat Timor Timur. Mereka hanya ingin aman, dengan membiarkan aneksasi Timor Timur," demikian Gusmao.

Bagi Australia, Perjanjian Laut Timor adalah kesepakatan ekonomi yang menguntungkan bagi kedua negara, dan merupakan harga yang layak dibayarkan rakyat Timor Leste kepada Canberra. Di sisi lain, ketika Timor Leste terus menerus mengatakan perjanjian itu tidak adil, Australia menyebut pernjanjian itu sebagai harga yang murah yang harus diterima.

Menurut Canberra, Timor Leste mendapat 90 persen dari pendapatan Bayu Undan -- sumur minyak dan gas yang digali Conoco Phillips. Proyek ini bernilai 3 milyar dolar untuk masa 15 tahun, dan mulai berproduksi pada tahun kedua kemerdekaan Timor Leste.

Penghasilan dari Bayu Undan diperkirakan membuat Dili mampu membayar seluruh utangnya, dan tidak lagi terjerat utang baru.

Namun, di luar Bayu Undan -- atau kawasan pengembangan bersama Timor Leste dan Australia -- ada wilayah yang jauh lebih besar, yaitu Greater Sunrise. Wilayah ini dikelola sendiri oleh Woodside Australian Energy. Sebanyak 82 persen penghasilan Greater Sunrise masuk ke kantong Australia.

Jika minyak bukan motivasi Australia melepas Timor Timur dari Indonesia, Canberra sudah meminta bayaran atas kesediaannya mengirim pasukan perdamaian. Atau, jika memang tidak ada yang diburu Australia, negeri itu seharusnya sudah hengkang ketika jajak pendapat usai.

Banyak pihak mencium niat busuk Australia, mencuri minyak Timor Leste, mengintervensi Timor Timur. Mereka mendapatkannya pada tahun pertama negeri bekas jajahan Portugis itu merdeka, yaitu ketika Woodside memompa minyak di kawasan sengketa, yaitu Laminaria dan Corallina. Nilainya ditaksir mencapai miliaran dollar.

Rincinya, antara 1999 sampai 2002, Australia mengeruk 1,2 miliar dolar AS dari Laminaria dan Corallina, dan memberi bantuan 200 juta kepada Timor Timur. Yang harus diingat, bukan 'bagian', tapi 'bantuan'.

PM Alkatiri mengatakan Perjanjian Laut Timor bersifat sementara, sampai kedua negara menyepakati batas maritim. Sementara adalah kata yang tak jelas, karena tidak ada batas waktu dalam perjanjian itu.

Orang Timor Leste mungkin akan mengatakan batas perjanjian sementara itu adalah sampai seluruh sumur minyak di dasar Laut Timor kering. Selama minyak dari Laut Timor mengalir, Australia akan terus memberikan bantuan jutaan dolar kepada Timor Leste dengan tangan kiri, dan meraup miliaran dolar dengan tangan kanan.

Pada akhirnya, nasib Indonesia dan Timor Leste tidak berbeda. Indonesia harus menebus kemerdekaan dengan membayar seluruh utang Hindia-Belanda ke kreditor asing. Timor Leste membayar mahal kemerdekaannya dengan satu-satunya kekayaan alam yang memberikan janji kemakmuran, sampai waktu tak terbatas.



(1) Hard-nose reality adalah kata lain dari visi bisnis. Hubungan internasional tidak pernah didasarkan pada kepentingan politik, tapi bisnis jangka panjang. Bagi Australia, melepaskan Timor Timur dari Indonesia adalah proyek ekonomi jangka panjang. Canberra bersedia mengeluarkan dana berapa pun untuk mengerahkan pasukan, dan memberi makan rakyat negeri itu, dengan harapan bisa menguasai 90 persen cadangan minyak di Celah Timor.

Minggu, 08 Desember 2013

Mitos-mitos Calon Presiden

Beberapa hari terakhir ini saya kerap berlama-lama di depan televisi untuk menyimak tayangan National Geographic tentang John F Kennedy. Film dokumenter JFK terakhir yang saya saksikan berkisah tentang kesuksesannya mengalahkan Richard Nixon dalam pemilihan presiden, kehidupan glamournya dengan banyak wanita, hubungan tak harmonisnya dengan istri, serta – yang paling mengesankan – kemampuannya mengatasi dua masalah besar; krisis peluru kendali Uni Soviet di Kuba dan politik segregasi etnis di selatan Amerika Serikat.

Khusus yang pertama NatGeo memaparkan bagaimana JFK mengalahkan Nixon dalam debat publik. Sepanjang perdebatan, Nixon sangat tegang dan terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. JFK sebaliknya. Ia santai saat memberikan pidato, dan kamera mengeksploitasi kebeliaan yang terpancar dari wajahnya.

Usai debat publik, ada jajak pendapat. Hasilnya, Nixon dan JFK memiliki peluang sama untuk menjadi presiden AS ke-35. Nixon didukung kelompok konservatif. JFK sepenuhnya didukung kelompok liberal dan para ibu muda yang terpesona dengan wajah belia sang presiden dan kecantikan Jacqueline Kennedy.

Televisi berperan besar membangun mitos kebeliaan dan harapan yang melingkupi JFK. Selama kampanye – dan sampai usai pelantikan dirinya menjadi presiden – JFK tidak pernah mengumbar janji. Yang ada adalah sebaris kalimat terkenal; “Jangan tanya apa yang negara bisa lakukan untuk kalian, tapi tanyalah pada diri sendiri apa yang kalian bisa lakukan untuk Amerika Serikat.”

JFK menjadi presiden AS pertama yang membangun mitosnya lewat televisi. Tidak keliru jika semua penulis biografi menyebutnya ‘presiden televisi’.

Di Indonesia, setiap presiden punya mitos. Soekarno membangun mitosnya lewat aktivitas yang memaksanya berpindah dari satu ke lain sel penjara dan pembuangan. Ketika mitos itu sedemikian melekat, Soekarno menjadi figur tak pernah salah dan layak didaulat sebagai presiden pertama RI.

Orang seolah lupa pada peran Soekarno dalam pengiriman Romusha untuk pembangunan jalan kereta api di Burma, kini Myanmar. Atau tentang keengganannya memproklamirkan kemerdekaan, karena kadung terikat janji menerima kemerdekaan dari Jepang.

Soeharto membangun mitosnya lewat tudingan terhadap komunis sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pembunuhan para jenderal. Tidak cukup. Soeharto merasa perlu melanjutkan pembangunan mitos dengan darah, pengekangan, dan militerisme di hampir semua sendi kehidupan politik.

BJ Habibie memiliki mitosnya sendiri, sebagai satu-satunya presiden dari kalangan teknokrat. Gus Dur dimitoskan orang-orang NU sejak lama, sebagai manusia setengah wali. Megawati menggunakan mitos warisan orang tuanya. Namun entah mengapa ketiganya gagal menggunakan mitos-mitos itu untuk bertahan di puncak kekuasaan.

Penjelasan sederhananya, ini pun hanya satu dari beberapa kemungkinan, masyarakat saat itu bosan dengan mitos-mitos usang. Orang Indonesia kerap menginginkan mitos baru.

Beberapa bulan sebelum Pemilu 2004, muncul sosok ‘teraniaya’ bernama Susilo Bambang Yudohoyono. Pers mengangkat penderitaannya sebagai sosok pejabat yang dikucilkan sang presiden, dan masyarakat menjadikannya wacana diskusi di ruang keluarga, mulut-mulut gang sempit, dan entah di mana lagi.

Partai Demokrat merangkulnya, dan mendaulatnya menjadi calon presiden. Orang-orang partai, memanfaatkan kelebihan fisik SBY untuk membangun mitos ganteng dan harapan untuk melicinkan sang tokoh memenangkan pemilihan presiden. Pers dan media televisi berperan besar dalam pembangunan mitos ini, yang membuat ibu-ibu muda histeris setiap kali menatap SBY dan mereka yang merindukan sosok militer kembali menjadi orang nomor satu tak ragu memilihnya.

Mitos ganteng dan harapan membawa SBY ke Istana Merdeka, dan membuatnya mampu bertahan selama dua periode.

Kini, jelang 2014, sejumlah tokoh yang kelak bakal dicalonkan sebagai presiden sedang membangun mitosnya. Prabowo Subianto, misalnya, kerap tampil di televisi untuk membangun mitos dirinya sebagai pemimpin tegas dan tanpa kompromi untuk membangun rakyat.

Joko Widodo, yang relatif berhasil menggunakan mitos keluguan dan harapan untuk menjadi walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, mungkin yang paling popular. Ia menawarkan wajah ‘ndeso’-nya kepada masyarakat Indonesia – khususnya orang Jawa – yang lima tahun kecewa dengan wajah ‘ngganteng’ SBY.

Pers, dan orang-orang di sekeliling Jokowi, juga terus mebangun mitos ini. Tapi di sisi lain, mitos yang dibawa Jokowi secara tidak langsung menghancurkan mitos Soekarno, yang selama ini digunakan Megawati dan elite PDIP.

Semula saya berfikir Aburizal Bakrie meniru Thaksin Shinawatra, yang sukses memanfaatkan mitos pengusaha sukses untuk bersaing menjadi PM Thailand. Belakangan, setelah dua tahun berturutan tidak disebut Majalah Forbes sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, saya mulai bertanya-tanya mitos apa yang sedang dibangun Ical.

Gita Wirjawan tampaknya akan mengeksploitasi kelebihan fisiknya yang ‘ngganteng’. Pertanyaanya, apakah ini cukup? Saya rasa tidak. Mitos ganteng telah usang, dan bikin kecewa banyak orang.

Jumat, 06 Desember 2013

Diplomasi 'Ngambek' Gaya SBY

Sepagian ini saya memelototi layar laptop putri saya untuk membaca sebanyak mungkin artikel yang mengulas hubungan Indonesia-Australia(*). Banyak hal menarik yang saya temukan, terutama soal penyadapan. Namun, ada satu hal yang membingungkan, yaitu sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Setelah matahari beranjak naik, saya matikan laptop dan ngeloyor ke luar rumah. Di pinggir jalan depan rumah dua bocah lelaki, sebut saja Si A dan Si B terlihat sedang bertengkar. Si A menuduh Si B mengambil layangan miliknya, dan menuntut pengembalian. Si B berkilah tidak mengambil, tapi menemukan layangan itu tergeletak di suatu tempat.

Adu mulut tak berlangsung lama. Si A meninggalkan Si B seraya bersungut-sungut dan terus menyuarakan tuntutannya. Si B tak menjawab sama sekali.

Kepada putri saya yang sedang memanaskan sepeda motornya, saya bertanya; “Apakah Si A marah kepada Si B.” Putri saya mengatakan ya. Saya bilang; “Tidak, Si A ‘ngambek’. Si B sadar dirinya mencuri, tapi tidak ingin kehilangan muka, sehingga tidak tahu harus berbuat apa.”

Jika Si A serius marah, kata saya lagi, dia seharusnya bertahan di tempatnya dan terus memaksa pengembalian layangan seraya mengancam akan memusuhinya. Mungkin akan ada perkelahian, yang memaksa orang lain melerai.

Saya menggunakan ‘pertengkaran’ dua bocah itu untuk melihat panggung diplomasi Indonesia-Australia yang kian memanas akibat skandal penyadapan. Si A adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Si B Tony Abbott, PM Australia.

SBY memainkan diplomasi ‘ngambek’ ketika skandal penyadapan dirinya terungkap. Ia menuntut Australia secara resmi meminta maaf. Abbott tidak ingin kehilangan muka, dan berusaha mencari cara selain minta maaf secara terbuka (**).

Diplomasi ‘ngambek’ diperlihatkan SBY dengan memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Canberra, tapi tidak mengeluarkan tindakan apa pun terhadap Dubes Australia di Jakarta. Jika SBY benar-benar marah, yang kali pertama dilakukannya adalah mengusir Dubes Australia di Jakarta, dengan mengeluarkan pernyataan persona non grata. Setelah itu menarik Dubes Indonesia di Canberra(***).

Yang marah justru rakyat Indonesia. Para hacker menyerbu situs-situs pemerintah Australia, dan sejumlah ormas melempari Kedubes Astralia dengan telur(****). Yang juga menjadi pertanyaan saya, mengapa tidak ada kemarahan kepada SBY, yang lebih suka ngambek ketimbang marah.

Ngambek cenderung tak efektif. Ini terlihat dari ketiadaan respon Australia terhadap tuntutan Indonesia agar Canberra meminta maaf. Surat Abbott ke SBY juga tidak berisi apa-apa kecuali bla…bla…bla, pujian, dan retorika tentang pentingnya hubungan kedua negara.

Hikmahanto Juwana, professor ilmu hukum Universitas Indonesia (UI), sempat menyarankan agar SBY mengusir seluruh diplomat Australia dari Indonesia dalam 24 jam jika surat Abbott tidak berisi apa-apa.

Saya tidak tahu bagaimana cara memahami respon melankolis SBY terhadap Australia. Yang saya tahu, Australia punya banyak lobby, mungkin lebih tepatnya ‘agen’, di pemerintahan Indonesia. Pelobi Australia terus bekerja, dan Canberra cenderung menunggu saat yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Indonesia tanpa pernah mengeluarkan pernyataan maaf.

Kalau pun semua itu harus dilakukan sampai pemilihan presiden 2014, Australia kemungkinan bersedia melakukannya. Pemerintahan baru di Indonesia akan menyediakan suasana baru bagi Canberra. Tentu saja dengan hubungan baru, tapi tidak harus mengubah protokol hubungan luar negeri kedua negara.

Ini dimungkinkan karena hubungan ekonomi Indonesia-Australia relatif tidak terganggu. Buktinya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mendesak parlemen tetap mengijinkan ekspor sapi dari Australia. Artinya, industry pertanian Australia masih akan tetap makmur, dengan tetap menjadikan Indonesia sebagai pasar.

Jadi, tidak akan ada petani Australia yang bangkrut. Juga tidak akan ada kelangkaan daging sapi di Jakarta, yang membuat orang kaya Indonesia tidak bisa menikmati steak.

                                    ---------------------------------------------------

(*) Pers Australia kerap menulis ‘Australia-Indonesia’. Saya harus menulis ‘Indonesia-Australia’. Ini masalah politik bahasa. Orang Australia menganggap dirinya lebih superior dibanding Indonesia, meski di sisi lain memandang hubungan dengan Indonesia sangat penting dalam segala hal; keamanan, ekonomi, dan boat people issue. Indikasi betapa pentingnya Indonesia bagi Ausralia adalah banyaknya ahli Indonesia di Australia. Di Jakarta, sangat sulit menemukan ahli Australia. Sebagai negara yang sangat penting, maka saya harus menuliskan Indonesia lebih dulu.

(**) Saat berkampanye, Abbott mengemukakan dua janji. Pertama More Jakarta, Less Geneve. Artinya, Austraia akan lebih memfokuskan hubungan dengan Indonesia, seraya mengurangi hubungan historis dengan Eropa. Geneve adalah kota multiras, dan Australia adalah negara multiras. Kedua, Abbott menyebut dirinya sebagai orang yang tidak akan bisa diintimidasi pihak luar. Permintaan maaf Indonesia dilihat Abbott sebagai bentuk intimidasi, dan Abbott sebisa mungkin tidak akan meminta maaf.

(***) Lihat Konvensi Wina 1961 Pasal 9.

(****) Sayangnya bukan telur busuk. Demonstrasi menjadi mahal dan mubazir, karena membuang-buang makanan berprotein tinggi.