Pengantar:
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
membela JIExpo sebagai penyelenggara Pekan Raya Jakarta. Saya hanya berusaha
menuliskannya untuk memenuhi libido menulis saya. Namun jika ternyata ada
apresiasi lain dari JIExpo, dan menjadikan tulisan ini sebagai pemenang, itu
urusan lain. Yang pasti, saya tidak menulis ini untuk ikut lomba.
Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) masih
terus menebar daya tarik yang menyedot pengunjung. Di arena lain, Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo bersitegang dengan Murdaya Poo – komisaris JIExpo -- soal
penyelenggaraan acara tahunan itu yang dinilai menyimpang dari tujuan awal.
Jokowi, demikian guburnur DKI
Jakarta asal Solo itu dipanggil masyarakatnya, membuat PRJ tandingan di Monas.
Muncul kesan, Jokowi ingin mengembalikan PRJ ke Monas pada tahun-tahun berikut.
Lebih penting lagi, Pemprov DKI berniat mengelola sendiri PRJ dan menjadikannya
arena promosi produk dalam negeri, khususnya usaha kecil dan menengah.
Sejenak melihat ke belakang,
Djakarta Fair – nama awal Pekan Raya Jakarta – dibuat Gubernur Ali Sadikin
sebagai arena promosi produk dalam negeri demi membantu Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) pertama Orde Baru. Tujuan lain, memberi hiburan murah
bagi masyarakat Jakarta, terutama kalangan kelas menengah ke bawah.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan
DF dan PRJ dari tahun ke tahun?
Sejenak melihat ke belakang, peran
industri kecil dan menengah relatif hanya terasa saat Ali Sadikin kali pertama menyelenggarakan
Djakarta Fair tahun 1968. Setelah itu tidak lagi. Ini terlihat dari Produk Domestik
Bruto tahun 1969 yang dicatat Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta. Saat
itu, kontribusi industri kecil dan menengah mencapai Rp 5.755.000.000. Sedangkan
industri besar dan sedang Rp 12,7 miliar.
Tahun berikutnya, meski masih
mendominasi DF, kontribusi PDRB industri kecil dan menengah naik menjadi Rp 6,5
miliar, tapi industri besar dan sedang Rp 13,5 miliar. Tahun 1971, PDRB
industri kecil dan rumahan Rp 7 miliar, sedangkan industri besar dan sedang Rp
19,6 miliar.
Seluruh industri mengalami kenaikan
tak signikan di tahun 1972, dengan hanya Rp 7,8 miliar untuk industri kecil dan
rumahan, serta Rp 20,8 miliar. Lonjakan hebat terjadi tahun 1973, PDRB industri
kecil dan rumahan Rp 12,8 miliar, dan industri besar dan sedang Rp 53,6 miliar.
Pertumbuhan signifikan industri
besar dan sedang di sekujur Jakarta setelah 1973, membuat DF sebenarnya relatif
telah kehilangan fungsinya sebagai arena promosi bagi industri kecil dan
menengah, atau industri rumahan. Industri besar menjadi pemain dominan di DF,
dan berlanjut sampai perhelatan itu bernama Pekan Raya Jakarta.
Sinar
Harapan edisi Juni 1968 memberitakan DF
pertama terselenggara di tengah ambruknya sejumlah industri dalam negeri akibat
serbuan produk impor. Industri tekstil, misalnya, kehilangan banyak pemain
utamanya setelah tekstil mancanegara membanjiri pasar dalam negeri. Nasib
serupa dialami industri keramik. Di sisi lain industri perakitan mulai tumbuh,
dan tampil di DF.
Politik pintu terbuka yang
dijalankan Soeharto menimbulkan banyak korban di banyak bidang industri. Namun
di sisi lain, modal asing masuk dan menjadi pemain penting dalam pembangunan
perekonomian Repelita I. Akibatnya, DF – ajang promosi paling efektif bagi
semua produk – hanya menyediakan sedikit tempat bagi usaha kecil dan menengah.
Bagi panitia DF, termasuk juga
mereka yang bekerja di era Ali Sadikin, kedatangan industri besar dan sedang
lebih menguntungkan ketimbang memberi tempat kepada industri kecil dan
menengah. Artinya saat itu, DF telah benar-benar dikelola secara bisnis dengan
mengedepankan aspek keuntungan.
Produk Impor
Memasuki Repelita II, ketika
pertumbuhan ekonomi menjadi ideologi dominan, DF dan PRJ berkembang sesuai
pertumbuhan industri dalam negeri, situasi perekonomian regional, dan dunia.
Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah sukses PRJ dinilai dari
keuntungan yang diperoleh.
Keuntungan hanya bisa diperoleh jika
panitia PRJ mampu menjual lahan-lahan di arena dengan harga tinggi kepada
industri besar, dan hanya menyisakan sedikit lahan untuk industri menengah dan
kecil. Industri besar yang hadir di PRJ adalah mereka yang memproduksi
barang-barang konsumtif, mulai dari makanan sampai kendaraan.
Akibatnya, PRJ didatangi masyarakat
kelas bawah sebagai – meminjam istilah JH Antonisse, yang merancang arsitektur
Pasar Gambir 1921 sampai 1930 – sebagai kawasan fantasi; tempat mereka yang
berkantong pas-pasan bermimpi memiliki semua barang yang dijajakan, dan
menikmati kuliner mancanegara yang disajikan di ruang gemerlap.
DF dan PRJ di era Orde Baru juga
merupakan representasi pasar saat ini dan esok. Dari PRJ, pengamat bisnis bisa
memperkirakan produk konsumtif apa yang akan menjadi trend pada tahun berikut.
Lambretta, sepeda motor buatan
Italia, memperkenalkan helicak lewat Djakarta Fair. Tahun berikutnya, helicak –
yang dirakit di Indonesia dan sempat ditumpangi Presiden Soeharto – menghiasi
jalan-jalan ibu kota.
Namun entah bagaimana pada tahun
berikutnya helicak lenyap dari jalanan ibu kota. Bersamaan dengan itu Lambretta
tidak ada lagi. Sebagai gantinya, sepeda motor buatan Jepang mendominasi.
Orang Jakarta mengenal jeans dari
Djakarta Fair. Awalnya hanya satu merk. Berikutnya bejibun merk, produk dalam
dan luar negeri, meramaikan Djakarta Fair dan memunculkan trend baru berbusana
di Jakarta. Produk luar negeri akan selalu lebih menarik, dan menyita
perhatian.
Dari DF dan PRJ, setiap orang bisa
menyaksikan betapa Jakarta – dan seluruh Indonesia – tidak lebih dari pasar
produk impor. Produk-produk dalam negeri relatif terbatas. Yang paling khas,
dan ada sejak Pasar Gambir di tahun 1930-an, adalah kecap, jamu, obat gosok,
dan lainnya.
Padahal, jika mau jujur dari DF
pertama masyarakat diperkenalkan dengan produk dirgantara Indonesia, yaitu
pesawat gelatik. Bahkan, salah satu koran Jakarta terbitan Juni 1968, sempat
memberitakan bagaimana pesawat gelatik dijajakan ke masyarakat kelas menengah
ke atas.
Saat masih bernama Djakarta Fair,
perhelatan tahunan ini sebenarnya kehilangan tujuan utamanya, memberi hiburan kepada
masyarakat, ketika harga tiket terus naik. Jika tahun 1968, harga tiket Rp 25,
tahun 1974 naik menjadi Rp 50. Bagi Masyarakat Jakarta saat itu, Rp 50 bukan
harga yang ringan.
Terdapat asumsi, kenaikan harga
tiket dimaksudkan agar mereka yang mengujungi Djakarta Fair adalah yang
memiliki kemampuan belanja. Menggunakan kalkulasi bisnis mall, partisipan –
pelaku industri yang mempromosikan produk konsumtif-nya – hanya akan menganggap
PRJ bernilai ekonomis jika lebih 30 persen pengunjung menghabiskan uangnya
untuk belanja.
Jika kurang dari 30 persen, PRJ akan
dianggap sepi transaksi dan partisipan akan teriak rugi. Pengelola PRJ harus
putar otak menghadirkan pengunjung berdaya beli tinggi untuk hadir di PRJ.
Salah satu caranya adalah menaikan harga tiket.
Namun, apakah keliru jika pengelola
menempuh cara seperti itu? Tentu saja tidak. Semua itu adalah tuntutan
masyarakat industri. Bahkan, PRJ pun telah menjadi industri.
Entitas Rakyat
Menjadi masalah ketika PRJ
dibenturkan dengan entitas perekonomian rakyat. Sebelum Joko Widodo menjadi
gubernur, PRJ nyaris tanpa masalah. Kalau pun ada, hanya segelintir orang yang
usil mempertanyakan apakah Pemprov DKI menikmati bagian keuntungan yang
signifikan.
Ketika Jokowi melihat PRJ saat ini
dari kacamata ideologi kerakyatan, muncul persoalan. PRJ dianggap tidak lagi
mencerminkan entitas perekonomian rakyat. Lebih pelik lagi ketika banyak orang
mengatakan PRJ telah kehilangan entitas budaya-nya, seperti ketika masih di
Monas.
Suara yang lebih keras didengungkan
Ridwan Saidi. Bahwa PRJ di Kemayoran untuk orang borjuis, di Monas – yang
dibentuk mendadak oleh Jokowi – untuk rakyat.
Satu hal yang mungkin dilupa adalah
PRJ saat ini, mungkin sejak pindah ke Kemayoran, bukan lagi perhelatan sekadar
untuk memeriahkan ulang tahun Jakarta. PRJ adalah telah menjadi jelmaan
liberalisasi ekonomi.
Di pasar yang sedemikian liberal,
roh budaya kota hanya menjadi tempelan, dan tidak menjelma dalam bentuk
arsitektur stand dan pavilion, karena yang terpenting adalah efisiensi. Lebih
penting lagi, di pasar tidak ada nasionalisme.
Maka, mengembalikan PRJ kembali ke
Monas tidak akan menyelesaikan masalah. PRJ telah tumbuh sedemikian rupa sesuai
perkembangan industri dan liberalisasi. Membiarkan PRJ berada di Kemayoran
mungkin lebih masuk akal. Sedangkan Pemprov DKI Jakarta bisa membangun pasar
festival baru sesuai visinya di Monas, seraya menghidupkan kembali roh budaya
kota.
Setelah itu, kembalikan keputusan
kepada rakyat Jakarta, kemana mereka akan berkunjung; ke PRJ yang kian
menawarkan ‘mimpi’ memiliki produk-produk mewah yang dijajakan, atau ke pasar
usaha kecil dan menengah yang lebih dekat ke dirinya.
Persoalannya, jika PRJ dikembalikan
ke bentuk semula dan diselenggarakan dengan mengusung tema, siapa yang bisa
menjaga kelestariannya.