Sabtu, 27 Juli 2013

Menggugat PRJ



Pengantar:

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela JIExpo sebagai penyelenggara Pekan Raya Jakarta. Saya hanya berusaha menuliskannya untuk memenuhi libido menulis saya. Namun jika ternyata ada apresiasi lain dari JIExpo, dan menjadikan tulisan ini sebagai pemenang, itu urusan lain. Yang pasti, saya tidak menulis ini untuk ikut lomba.




Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) masih terus menebar daya tarik yang menyedot pengunjung. Di arena lain, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersitegang dengan Murdaya Poo – komisaris JIExpo -- soal penyelenggaraan acara tahunan itu yang dinilai menyimpang dari tujuan awal.

Jokowi, demikian guburnur DKI Jakarta asal Solo itu dipanggil masyarakatnya, membuat PRJ tandingan di Monas. Muncul kesan, Jokowi ingin mengembalikan PRJ ke Monas pada tahun-tahun berikut. Lebih penting lagi, Pemprov DKI berniat mengelola sendiri PRJ dan menjadikannya arena promosi produk dalam negeri, khususnya usaha kecil dan menengah.

Sejenak melihat ke belakang, Djakarta Fair – nama awal Pekan Raya Jakarta – dibuat Gubernur Ali Sadikin sebagai arena promosi produk dalam negeri demi membantu Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama Orde Baru. Tujuan lain, memberi hiburan murah bagi masyarakat Jakarta, terutama kalangan kelas menengah ke bawah.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan DF dan PRJ dari tahun ke tahun?

Sejenak melihat ke belakang, peran industri kecil dan menengah relatif hanya terasa saat Ali Sadikin kali pertama menyelenggarakan Djakarta Fair tahun 1968. Setelah itu tidak lagi. Ini terlihat dari Produk Domestik Bruto tahun 1969 yang dicatat Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta. Saat itu, kontribusi industri kecil dan menengah mencapai Rp 5.755.000.000. Sedangkan industri besar dan sedang Rp 12,7 miliar.

Tahun berikutnya, meski masih mendominasi DF, kontribusi PDRB industri kecil dan menengah naik menjadi Rp 6,5 miliar, tapi industri besar dan sedang Rp 13,5 miliar. Tahun 1971, PDRB industri kecil dan rumahan Rp 7 miliar, sedangkan industri besar dan sedang Rp 19,6 miliar.

Seluruh industri mengalami kenaikan tak signikan di tahun 1972, dengan hanya Rp 7,8 miliar untuk industri kecil dan rumahan, serta Rp 20,8 miliar. Lonjakan hebat terjadi tahun 1973, PDRB industri kecil dan rumahan Rp 12,8 miliar, dan industri besar dan sedang Rp 53,6 miliar.

Pertumbuhan signifikan industri besar dan sedang di sekujur Jakarta setelah 1973, membuat DF sebenarnya relatif telah kehilangan fungsinya sebagai arena promosi bagi industri kecil dan menengah, atau industri rumahan. Industri besar menjadi pemain dominan di DF, dan berlanjut sampai perhelatan itu bernama Pekan Raya Jakarta.

Sinar Harapan edisi Juni 1968 memberitakan DF pertama terselenggara di tengah ambruknya sejumlah industri dalam negeri akibat serbuan produk impor. Industri tekstil, misalnya, kehilangan banyak pemain utamanya setelah tekstil mancanegara membanjiri pasar dalam negeri. Nasib serupa dialami industri keramik. Di sisi lain industri perakitan mulai tumbuh, dan tampil di DF.

Politik pintu terbuka yang dijalankan Soeharto menimbulkan banyak korban di banyak bidang industri. Namun di sisi lain, modal asing masuk dan menjadi pemain penting dalam pembangunan perekonomian Repelita I. Akibatnya, DF – ajang promosi paling efektif bagi semua produk – hanya menyediakan sedikit tempat bagi usaha kecil dan menengah.

Bagi panitia DF, termasuk juga mereka yang bekerja di era Ali Sadikin, kedatangan industri besar dan sedang lebih menguntungkan ketimbang memberi tempat kepada industri kecil dan menengah. Artinya saat itu, DF telah benar-benar dikelola secara bisnis dengan mengedepankan aspek keuntungan.



Produk Impor

Memasuki Repelita II, ketika pertumbuhan ekonomi menjadi ideologi dominan, DF dan PRJ berkembang sesuai pertumbuhan industri dalam negeri, situasi perekonomian regional, dan dunia. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah sukses PRJ dinilai dari keuntungan yang diperoleh.

Keuntungan hanya bisa diperoleh jika panitia PRJ mampu menjual lahan-lahan di arena dengan harga tinggi kepada industri besar, dan hanya menyisakan sedikit lahan untuk industri menengah dan kecil. Industri besar yang hadir di PRJ adalah mereka yang memproduksi barang-barang konsumtif, mulai dari makanan sampai kendaraan.

Akibatnya, PRJ didatangi masyarakat kelas bawah sebagai – meminjam istilah JH Antonisse, yang merancang arsitektur Pasar Gambir 1921 sampai 1930 – sebagai kawasan fantasi; tempat mereka yang berkantong pas-pasan bermimpi memiliki semua barang yang dijajakan, dan menikmati kuliner mancanegara yang disajikan di ruang gemerlap.

DF dan PRJ di era Orde Baru juga merupakan representasi pasar saat ini dan esok. Dari PRJ, pengamat bisnis bisa memperkirakan produk konsumtif apa yang akan menjadi trend pada tahun berikut.

Lambretta, sepeda motor buatan Italia, memperkenalkan helicak lewat Djakarta Fair. Tahun berikutnya, helicak – yang dirakit di Indonesia dan sempat ditumpangi Presiden Soeharto – menghiasi jalan-jalan ibu kota.

Namun entah bagaimana pada tahun berikutnya helicak lenyap dari jalanan ibu kota. Bersamaan dengan itu Lambretta tidak ada lagi. Sebagai gantinya, sepeda motor buatan Jepang mendominasi.

Orang Jakarta mengenal jeans dari Djakarta Fair. Awalnya hanya satu merk. Berikutnya bejibun merk, produk dalam dan luar negeri, meramaikan Djakarta Fair dan memunculkan trend baru berbusana di Jakarta. Produk luar negeri akan selalu lebih menarik, dan menyita perhatian.

Dari DF dan PRJ, setiap orang bisa menyaksikan betapa Jakarta – dan seluruh Indonesia – tidak lebih dari pasar produk impor. Produk-produk dalam negeri relatif terbatas. Yang paling khas, dan ada sejak Pasar Gambir di tahun 1930-an, adalah kecap, jamu, obat gosok, dan lainnya.

Padahal, jika mau jujur dari DF pertama masyarakat diperkenalkan dengan produk dirgantara Indonesia, yaitu pesawat gelatik. Bahkan, salah satu koran Jakarta terbitan Juni 1968, sempat memberitakan bagaimana pesawat gelatik dijajakan ke masyarakat kelas menengah ke atas.

Saat masih bernama Djakarta Fair, perhelatan tahunan ini sebenarnya  kehilangan tujuan utamanya, memberi hiburan kepada masyarakat, ketika harga tiket terus naik. Jika tahun 1968, harga tiket Rp 25, tahun 1974 naik menjadi Rp 50. Bagi Masyarakat Jakarta saat itu, Rp 50 bukan harga yang ringan.

Terdapat asumsi, kenaikan harga tiket dimaksudkan agar mereka yang mengujungi Djakarta Fair adalah yang memiliki kemampuan belanja. Menggunakan kalkulasi bisnis mall, partisipan – pelaku industri yang mempromosikan produk konsumtif-nya – hanya akan menganggap PRJ bernilai ekonomis jika lebih 30 persen pengunjung menghabiskan uangnya untuk belanja.

Jika kurang dari 30 persen, PRJ akan dianggap sepi transaksi dan partisipan akan teriak rugi. Pengelola PRJ harus putar otak menghadirkan pengunjung berdaya beli tinggi untuk hadir di PRJ. Salah satu caranya adalah menaikan harga tiket.

Namun, apakah keliru jika pengelola menempuh cara seperti itu? Tentu saja tidak. Semua itu adalah tuntutan masyarakat industri. Bahkan, PRJ pun telah menjadi industri.


Entitas Rakyat

Menjadi masalah ketika PRJ dibenturkan dengan entitas perekonomian rakyat. Sebelum Joko Widodo menjadi gubernur, PRJ nyaris tanpa masalah. Kalau pun ada, hanya segelintir orang yang usil mempertanyakan apakah Pemprov DKI menikmati bagian keuntungan yang signifikan.

Ketika Jokowi melihat PRJ saat ini dari kacamata ideologi kerakyatan, muncul persoalan. PRJ dianggap tidak lagi mencerminkan entitas perekonomian rakyat. Lebih pelik lagi ketika banyak orang mengatakan PRJ telah kehilangan entitas budaya-nya, seperti ketika masih di Monas.

Suara yang lebih keras didengungkan Ridwan Saidi. Bahwa PRJ di Kemayoran untuk orang borjuis, di Monas – yang dibentuk mendadak oleh Jokowi – untuk rakyat.

Satu hal yang mungkin dilupa adalah PRJ saat ini, mungkin sejak pindah ke Kemayoran, bukan lagi perhelatan sekadar untuk memeriahkan ulang tahun Jakarta. PRJ adalah telah menjadi jelmaan liberalisasi ekonomi.  

Di pasar yang sedemikian liberal, roh budaya kota hanya menjadi tempelan, dan tidak menjelma dalam bentuk arsitektur stand dan pavilion, karena yang terpenting adalah efisiensi. Lebih penting lagi, di pasar tidak ada nasionalisme.

Maka, mengembalikan PRJ kembali ke Monas tidak akan menyelesaikan masalah. PRJ telah tumbuh sedemikian rupa sesuai perkembangan industri dan liberalisasi. Membiarkan PRJ berada di Kemayoran mungkin lebih masuk akal. Sedangkan Pemprov DKI Jakarta bisa membangun pasar festival baru sesuai visinya di Monas, seraya menghidupkan kembali roh budaya kota.

Setelah itu, kembalikan keputusan kepada rakyat Jakarta, kemana mereka akan berkunjung; ke PRJ yang kian menawarkan ‘mimpi’ memiliki produk-produk mewah yang dijajakan, atau ke pasar usaha kecil dan menengah yang lebih dekat ke dirinya.

Persoalannya, jika PRJ dikembalikan ke bentuk semula dan diselenggarakan dengan mengusung tema, siapa yang bisa menjaga kelestariannya.

Bang Ali, Pasar Gambir, dan DF



Gubernur Ali Sadikin tidak pernah ke Pasar Gambir, tapi banyak mendengar tentang pesta rakyat tahunan era kolonial itu dari saudara-saudaranya. Ia membaca Java Bode, salah satu koran beken Hindia-Belanda tahun 1930-an, yang sering menulis laporan tentang Pasar Gambir.

Memori tentang Pasar Gambir, tentu saja dengan segala kemeriah yang digambarkan saudara-saudaranya dan Java Bode, tertanam dalam di benaknya. Suatu hari akhir Januari 1968, saat sedang berkeliling memeriksa kebersihan Monas bersama Rio Tambunan dan Djumatidjin, Bang Ali tiba-tiba mengemukakan gagasan menghidupkan kembali Pasar Gambir.

Ia secara serius membicarakan gagasan ini dan cara mewujudkannya kepada semua orang dekatnya di pemerintahan Daerah Chusus Ibukota (DCI) Jakarta. Ia memberikan gambaran umum sebuah pasar malam yang mirip Pasar Gambir, yang menyajikan hiburan murah untuk masyarakat ibu kota dan sarana promosi industri dalam negeri.

Bang Ali menginginkan pasar malam bentukannya bernilai komersil tinggi, agar pemerintah DCI Jakarta memiliki sumber pendapatan baru. Secara rinci, tujuan pasar malam yang diinginkan Bang Ali tertuang dalam Perda No 8 tahun 1968, pertama pertama mendorong dan memberikan kesempatan promosi bagi usaha-usaha perdagangan, perindustrian, penanaman modal asing, kerajinan rakyat, jasa-jasa, serta kegiatan perekonomian lainnya.

Kedua, sebagai wadah yang mendorong kreasi seni dan budaya yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Ketiga, mendorong dan mengembangkan industri pariwisata. Keempat memberikan rekreasi dan hiburan yang sehat kepada masyarakat. Kelima, mendorong dan mengembangkan kegiatan usaha edukatif dan informatif yang mengarah ke peningkatan kehidupan spiritual masyarakat.

Bang Ali seperti dikejar waktu. Ia ingin Djakarta Fair, demikian dia menyebut pasar malam pertama yang dibangunnya, terselenggara tahun itu juga. Akhir Februari, Bang Ali secara resmi menunjuk Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin) Jaya sebagai penyenggara Djakarta Fair pertama.

Penunjukan Kadin Jaya bukan tanpa alasan. Bang Ali melihat Kadin adalah satu-satunya organisasi pengusaha yang diakui pemerintah, setelah pembubaran Badan Musyawarah Pengusaha Nasional Swasta (Bamunas) tahun 1967.

Kadin Jaya, bersama pemerintah DCI Jakarta, membentuh kepanitian dan menunjuk Syamsudin Mangan sebagai ketua. Brigjen Usman Ismail menjadi wakilnya. Keduanya merangkul banyak unsur ke dalam kepanitiaan, untuk memuluskan kerja cepat mewujudkan gagasan sang gubernur.

Bang Ali memberi target Djakarta Fair harus dibuka pada 15 Juni, atau sepekan sebelum ulang tahun ibu kota. Jadi, panitia hanya punya waktu empat bulan untuk merancang arena, menghimpun partisipan dari kalangan pengusaha besar dan kecil, perusahaan multinasional, pemerintahan propinsi di luar Jakarta, dan perwakilan negara-negara sahabat.



Duit Hwa Hwe

Sampai dua bulan pertama, persiapan tidak ada masalah. Pada 13 April 1968 muncul masalah serius; Syamsudin Mangan meninggal dunia. Dua hari setelah pemakaman sang raja tekstil, Panitia Djakarta Fair menggelar rapat untuk menunjuk Brigjen Usman Ismail sebagai ketua baru.

Untuk mengenang jasa Syamsudin Mangan, Bang Ali memberi gelar warga kehormatan, dan membangun plasa di Djakarta Fair. Plaza juga berfungsi sebagai pintu masuk arena Djakarta Fair.

Djakarta Fair, kemudian dikenal publik Jakarta dengan singkatan DF, dibuka Presiden Soeharto pada 15 Juni di lokasi yang pernah menjadi Pasar Gambir. Ribuan warga Jakarta, yang relatif masih dihantui kengerian Perisitwa 1966, tumplek di Monas.

Dalam pidato sambutannya, Bang Ali mengatakan semoga DF menjadi sumbangan kecil jelang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 1969-1974. Jakarta, demikian Bang Ali, adalah kota berpenduduk 4,5 juta yang kian haus hiburan dan sedang bergerak menjadi kota industri dan perdagangan.

DF pertama diikuti 200 peserta, terdiri dari swasta nasional, departeman, pemerintah propinsi Sumatera Barat dan DCI Jakarta, perwakilan dagang negara sahabat; Jerman Barat, Jepang, India, Malaysia, dan Amerika Serikat (AS). DF tidak hanya sarat hiburan, tapi juga kegiatan promosi perdagangan, jasa, pariwisata, dan lainnya.

Namun DF pertama bukan tanpa kritik. Sejumlah koran menyebut DF pertama adalah gambaran suramnya perekonomian dalam negeri. Tidak satu pun perusahaan tekstil membuka stant, menyusul ambruknya industri tekstil dalam negeri akibat serbuan produk impor.

Industri keramik Indonesia saat itu juga kembang-kempis, menyusul masuknya keramik dari negara-negara Eropa. Di sisi lain, dua perusahaan swasta nasional; PT Gobel dan Tjawang Concern – perakit alat-alata elektronik rumah tangga dan alat-alat pertanian, gencar mempromosikan produknya.

Tidak mudah meyakinkan swasta nasional untuk berpartisipasi dalam event pertama ini. Sejumlah perusahaan ragu-ragu, dan memutuskan tidak ikut serta pada perhelatan DF pertama.

Bang Ali memenuhi janjinya; memberikan hiburan murah kepada masyarakat. Panitia DF mematok harga tiket semurah mungkin, yaitu Rp 25. Jika datang dalam rombongan besar, tiket dipangkas menjadi Rp 10 per orang. Arena DF disesaki berbagai panggung hiburan, mulai dari kesenian tradisional hampir semua etnis yang ada di Jakarta, sampai pergeralan musim paling digemari saat itu, yaitu orkes melayu.

Hiburan lainnya adalah pertunjukan adu gulat, karate, dan pencak silat. Ada pula stan ketangkasan dan judi. Anak-anak dimanjakan oleh berbagai komidi puter, arena bermain, dan go karta. Untuk yang suka dansa, ada arena tari a go go dan varia.

Seperti Pasar Gambir di era kolonial, DF diisi sejumlah restoran yang menyajikan makanan-makanan khas nusantara. Masyarakat juga dimanjakan dengan tersdianya bus non pemanen, yang menjangkau hampir seluruh wilayah pinggir Jakarta.

Pertanyannya, dari mana DCI Jakarta membiayai semua itu. Dalam konferensi pers di Balai Kota, Bang Ali secara terbuka mengatakan DCI Jakarta mengeluarkan Rp 5 juta untuk mewujudkan DF. Uang sebanyak itu diperoleh dari penyelenggaraan judi hwa hwe. Selain itu, DCI Jakarta juga mengeluarkan Rp 10 juta untuk membangun stand-stand.


Arena Bisnis

Sampai 1977, atau masa akhir kekuasaan Bang Ali, DF mengalami sekian banyak perbaikan. Investasi yang digelontorkan DCI Jakarta juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, Bang Ali juga menekankan aspek bisnis dalam perhelatan ini.

Tahun 1969, misalnya, DF berlangsung 71 hari dengan rata-rata pengujung di atas 42 ribu. Ini dimaksudkan untuk menggandakan pemasukan untuk kas daerah, yang akan digunakan untuk perbaikan pada tahun berikut.

Jika pada DF pertama hanya ada satu stand propinsi, yaitu Sumatera Barat, pada tahun berikutnya sebelas propinsi membuka stand promosi pariwisata. Tahun 1970, DF kian menekankan aspek ekonomi, dengan diberlakukannya Hari Niaga – sebuah acara pertemuan para pengusaha yang mendirikan stan.

Semula Hari Niaga berlangsung lima hari. Pada tahun-tahun berikutnya, Hari Niaga menjadi 15 hari. Hari Niaga memberi kesempatan kepada partisipan mengadakan transaksi dan hubungan bisnis di arena DF, yang kemudian dipublikasikan media massa.

Panitia DF hanya memfasilitasi, dan tidak akan nimbrung dalam negosiasi bisnis. Pun tidak setiap transaksi dipublikasikan, karena tidak setiap pengusaha menginginkan kegiatan usahanya diketahui publik.

Tidak ada laporan seberapa efektif Hari Niaga bagi perkembangan ekonomi Jakarta. Yang pasti, Hari Niaga mempertegas tujuah DF untuk memajukan perdagangan dan industri di Jakarta, tapi tidak mengesampingkan fungsinya sebagai arena hiburan masyarakat.

Satu hal yang menarik adalah Hari Niaga lebih mengedepankan transaksi produk dalam negeri, meski tidak mengabaikan produk luar. Namun pada kenyataannya, DF belum kehilangan misinya sebagai acara yang diharapkan membantu pertumbuhan industri dalam negeri.

Perkembangan paling signifikan terjadi tahun 1974, ketika DF menjadi anggota Union des Foires – atau perhimpunan pekan-pekan internasional – di Paris.

Pada perkembangan berikutnya, Bang Ali tidak sekadar mewujudkan obsesi menghadirkan kembali Pasar Gambir. Ia menjadikan DF sebagai salah satu penggerak perekonomian Jakarta, dan tambang uang penghasilan darah. Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta mencata Pendapatan Regional Jakarta tahun 1969 sebesar Rp 214.946.000, tahuh 1977 menjadi Rp 1.652.556.000.

Dari segi sosial budaya, Bang Ali memberikan satu stan penjualan kerak telor – makanan khas Betawi – di dalam arena DF. Ia juga mengisi sebanyak mungkin panggung hiburan dengan kesenian Jakarta. Bang Ali menjadikan budaya Jakarta sebagai tuan rumah di DF, tanpa mengabaikan kehadiran kesenian lain milik masyarakat urban ibu kota.

Pasar Gambir dan PRJ



Banyak orang menulis Pekan Raya Jakarta (PRJ) saat ini adalah kelanjutan dari Pasar Malam Gambir, event tahunan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang digelar di lokasi sekitar Stasiun Gambir sampai Monas pada saat ini. Namun tidak terlalu banyak sumber sejarah yang bisa dijadikan rujukan untuk menggambarkan suasana Pasar Malam Gambir.

Generasi tua yang masih menyimpan kenangan tentang event tahunan itu relatif tinggal sedikit, dan sebagian besar mungkin sudah sulit bercerita. Generasi masa kini yang ingin merasakan suasana Pasar Malam Gambir mungkin hanya bisa membalik-balik Verslag nopens de Pasar-Gambir, atau Laporan Tentang Pasar Gambir, atau Programma van den Pasar Gambir – Program Pasar Gambir – antara tahun 1900 sampai 1930.


Klaim Tjalie

Hampir seluruh teks kolonial Belanda menyebutkan Pasar Gambir digagas pemerintah Hindia-Belanda. Pasar Gambir pertama diselenggarakan tahun 1898 untuk memperingati penobatan Wilhelmina sebagai ratu Belanda. Tahun-tahun berikutnya, dan sampai dihentikan Jepang tahun 1942, Pasar Gambir digelar untuk menyambut hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus.

Pasar Gambir pertama dibuka pada 31 Agustus, bertepatan dengan hari kelahiran dan penobatan Wilhelmina. Berikutnya, Pasar Gambir dibuka pada pekan terakhir Agustus dan berakhir pada pekan pertama September.

Tjalie Robinson, intelektual keturunan Inggris-Belanda-Jawa dan sastrawan yang mengembangkan Bahasa Petjok, mengatakan orang Belanda bukan penggagas pertama penyelenggaraan Pasar Gambir. Tjalie, tanpa menyebut sumber sejarahnya, menulis Sir Thomas Stamford Raffles pernah menyelenggarakan pasar malam tahun 1812 untuk memperingati ulang tahun Raja George III.

Raffles mengajak seluruh penduduk kulit putih, Inggris, non-Inggris, dan penduduk Batavia, berpesta bersama di Pasar Gambir. Setelah Raffles pergi dan Belanda kembali ke Jawa, demikian Tjalie, orang-orang Belanda mengorganisir pasar malam tapi bukan di kawasan Gambir. Orang-orang Belanda lebih suka membuat pasar malam di kawasan Lunapark.

Elsevier Illustrated, majalah bulanan yang terbit di Belanda, membuat catatan menarik tentang Pasar Gambir. Pada dekade pertama tahun 1900-an, Pasar Gambir tidak ubahnya pasar biasa. Stan dan pavilion tidak menarik, dan kawasan sekujur pasar hanya disesaki berbagai atraksi permainan dan hiburan.

Tahun 1921, Pasar Gambir sempat kehilangan daya tariknya. Penduduk kulit putih Belanda menyebutnya sebagai pasar untuk inlander kelaparan. Meski demikian pemerintah Hindia-Belanda tetap menyelenggarakan Pasar Gambir pada tahun berikutnya.

Tahun 1923, Pasar Gambir menjadi sedemikian cantik, dengan gerbang dan seluruh pavilion dibuat semenarik mungkin. Lebih menarik lagi, bangunan pavilion bergaya arsitektur lokal.

Adalah JH Antonisse, arsitek otodidak, yang melakukan semua ini. Antonisse tiba di Batavia tahun 1914 pada usia 26 tahun. Ia tertarik pada arsitektur lokal, dan mempelajarinya. Ia juga mempelajari konstruksi bambu untuk rumah-rumah semipermanen.

Tahun 1920, Antonisse menjadi kepala Departemen Teknik Kotamadya Batavia. Tiga tahun kemudian Anonisse ditugaskan menyulap Pasar Gambir, agar event tahunan itu kembali dikunjungi warga kulit putih Batavia. Antonisse tidak asal sulap. Ia menetapkan tema-tema lokal dari tahun ke tahun. 

Misal, ketika kali pertama dipercaya menyulap Pasar Gambir, ia memilih tema Minangkabau. Mulai dari gerbang, pavailiun utama, sampai stand-stand kecil, dibangun dengan arsitektur Minangkabau. Tahun berikutnya, ia menggunakan tema Batak, Siam, Jawa, Cina, dan lainnya, Ia mencomot mentah-mentah atap Masjid Agung Demak, untuk bagian atas sebuah pavilion utama tidak jauh dari pintu gerbang.

Tidak hanya itu, Antonisse lebih suka menggunakan bahan bangunan paling murah dan mudah didapat, yaitu bambu, untuk konstruksi bangunannya, dan daun kelapa – juga daun enau – sebagai atapnya. Dinding bangunan menggunakan anyaman bambu. Tahun 1931, karya Antonisse mendapat pengakuan dari masyarakat arsitektur Prancis.

Semua itu berlangsung sampai 1930. Memasuki dekade keempat tahun 1900-an, wajah Pasar Gambir berubah. Arsitek berikutnya, menurut majalah itu, lebih menampilkan suasana Eropa.

Kota Fantasi

Laporan lain dalam Elsevier Illustrated menyebutkan Pasar Gambir 1934 tidak ubahnya kota fantasi. Di Pasar Gambir, ayam dan kambing melompat-lompat selama dua pekan, dan burung di tongkat tak berhenti mengalukan suara agar pengunjung terhibur. Orang-orang kulit berwarna berpakaian Jogja dan Solo hilir mudik, orang-orang Arab mengerumuni pusat penjualan furniture, para inlander hanya sempat melihat-lihat bunga sisik mutiara, sedangkan orang Eropa memadati restoran-restoran yang menyajikan kuliner khas Jawa, Sunda, dan Batavia.

Kuliner Belanda yang hadir di Pasar Gambir relatif hanya goreng dan sup kacang, dan tidak diminati. Antonisse tampaknya terlanjur membawa semua warna lokal Hindia-Belanda ke dalam Pasar Gambir. Akibatnya, meski arsitektur pasar telah berubah, semua pernak-pernik yang ditampilkan relatif masih bernuansa lokal.

Tidak ada catatan berapa partisipan yang terlibat di Pasar Gambir antara 1900 sampai 1930. Yang pasti, sekelompok pengrajin topi bambu dari Tangerang adalah partisipan aktif sampai 1930. Selepas 1930, tidak ada lagi stand promosi topi bambu Tangerang. Ketiadaan ini merupakan indikasi nyata berakhirnya masa keemasan kerajinan topi bambu Tangerang.

Produk lokal lainnya yang menonjol adalah kecap Benteng. Bahkan produk rumahan paling beken di Batavia ini masih terus hadir sampai 1942.

Namun Pasar Gambir bukan satu-satunya ‘kota fantasi’ di Hindia-Belanda. Di Cibatu, wilayah sebelah utara Garut, pemerintah setempat membuat event serupa tahun 1912, untuk menghormati ulang tahun ketiga Putri Juliana.

Di Medan, pemerintah setempat menggelar Pasar Malam untuk memperingati seperempat abad pemerintahan Ratu Wilhelmina pada tahun 1923. Tahun yang sama, Tanjungkarang juga menyelenggarakan Pasar Malam untuk merayakan pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard.

Bagaimana dengan Pekan Raya Jakarta? Sebagai kelanjutan dari Pasar Gambir, event tahunan itu nyaris tanpa identitas nasional dan lokal.